Semua ajaran agama menyatakan bahwa korupsi (termasuk menerima suap dan menyogok) adalah tindakan tercela yang tidak dapat dibenarkan, apapun alasannya. Bahkan dalam agama Islam ada hadist yang berbunyi: “Pemberi suap dan penerima suap tempatnya di neraka”.
Pada hari Rabu (1/6/2011), KPK menangkap tangan Hakim Syarifuddin di rumahnya (hakim pengawas kepailitan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat)
dengan dugaan menerima suap dari Puguh Wiryawan, kurator dalam perkara kepailitan PT Skycamping Indonesia. Turut disita dalam penangkapan tersebut uang 116.128 dollar AS, 245.000 dollar Singapura, 20.000 yen Jepang, 12.600 riel Kamboja, dan Rp 392 juta.
Penangkapan Hakim Syarifuddin ini semakin menambah daftar panjang Hakim yang telah ditangkap karena menerima suap. Sebelumnya ditangkap Hakim Muhtadi Asnun (Ketua Pengadilan Negeri Tangerang) dengan dakwaan menerima suap dari Gayus Tambunan sebesar 40 ribu dolar AS dalam kasus penggelapan pajak. Juga Hakim Ibrahim (Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara DKI Jakarta) karena menerima suap Rp 300 juta dari pengusaha Darianus Lungguk Sitorus melalui pengacara Adner Sirait.
Kasus suap ini semakin mencoreng dunia peradilan Indonesia. Kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan, terutama Hakim dan jajarannya sekarang berada di titik nadir. Selama beberapa hari ini semua media, baik itu media cetak maupun elektronik, mengangkat kasus ini sebagai headline. Semua pakar berbicara, mencela dan menista Hakim, seakan-akan dengan adanya kasus ini maka seluruh Hakim di Indonesia mempunyai sifat yang sama.
Terkait dengan suap yang diterima karena gaji Hakim yang minim, Trimedya Pandjaitan, Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, mengatakan bahwa para hakim kini mengantongi pendapatan resmi sekitar Rp15 juta hingga Rp20 juta per bulan, sehingga tidak ada alasan lagi bagi Hakim untuk melakukan korupsi, menerima suap, dan semua tindakan tercela lain.
ICW juga urun bicara, melalui Emerson Yuntho (Koordinator Bidang Hukumnya) menyatakan bahwa kenaikan gaji atau remunerasi di Mahkamah Agung untuk para Hakim tidak efektif karena ternyata kasus korupsi masih ada, sehingga gaji atau remunerasi bukanlah senjata ampuh untuk pemberantasan korupsi.
Ada beberapa hal dari paraghrap diatas yang benar, dan ada beberapa yang tidak. Fakta bahwa Hakim Syarifuddin (termasuk Hakim Muhtadi Asnun dan Hakim Ibrahim) menerima suap dan bertindak tercela adalah benar, tidak terbantahkan. Tapi untuk masalah penghasilan Hakim perbulan seperti yang dijelaskan Trimedya Panjaitan diatas adalah tidak benar, bahkan jika ditambah remunerasi sekalipun tidak akan tercapai bilangan itu.
Bagaimanapun, seperti yang sudah dijelaskan di paragraph pertama tulisan ini, bahwa korupsi, menerima suap, apapun alasannya tidak dapat dibenarkan. Bahkan gaji yang kecil dan kesejahteraan yang minim pun tidak dapat dijadikan alasan pembenar untuk itu. Hanya saja pertanyaannya sekarang adalah: “Bagaimana mencegah tidak terjadi hal yang sama di masa yang akan datang?”
Mas Achmad Santosa (anggota Satgas Pemberantasan Mafia Hukum) mengatakan ada 6 faktor yang harus dilakukan untuk memberantas mafia peradilan (4/6/2011), yaitu:
1. Strong leadership pada pucuk pimpinan MA
2. Perbaikan remunerasi dan kesejahteraan hakim dan pegawai;
3. Sistem pengawasan internal yg kuat;
4. KY yang kuat dan mampu bersinergi dengan MA;
5. Sistem rekruitmen dan promosi yang memberi bobot pada soal profesionalitas dan integritas;
6. Terapi kejut (shock therapy) berupa tindakan dan sanksi keras dari pimpinan MA terhadap hakim nakal yang harus dilakukan secara konsisten dan transparan.
Dengan kata lain, untuk memberantas praktik mafia peradilan secara total, harus dipahami penyebab timbulnya mafia peradilan dan dibutuhkan strategi yang komprehensif dan menyeluruh untuk memberantas itu.
Apabila kita kerucutkan, ada 4 hal yang harus dipenuhi untuk memotong jalur lingkaran setan korupsi dan suap di peradilan, yaitu: Kepemimpinan, integritas, kesejahteraan, dan reward & punishment. Ke empat hal ini adalah satu kesatuan terpadu, yang tidak dapat dipisahkan, dan harus diperjuangkan secara efektif dan konsekuen oleh segenap penyelenggara negara, termasuk yudikatif dan eksekutif.
1. Faktor Kepemimpinan.
Dalam Undang-undang Dasar 1945 telah dibentuk lembaga Komisi Yudisial yang berwenang untuk menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta prilaku Hakim. Komisi Yudisial juga memiliki wewenang untuk menyeleksi Calon Hakim Agung, menjadi “batu pengasah” insan calon pemimpin Mahkamah Agung. Semua Calon Hakim Agung harus menempuh fit and proper test di kawah candradimuka Komisi Yudisial. Semua aspek dilihat dari para calon tersebut: rekam jejak, riwayat hidup, pendidikan, kemampuan, dan segala aspek teknis maupun non teknis seorang calon Hakim Agung, yang notabene adalah Calon Ketua Mahkamah Agung masa depan.
Kepemimpinan Mahkamah Agung saat ini pun tidak bisa dipandang sebelah mata, karena banyak kebijakan-kebijakan telah ditempuh guna mewujudkan dunia peradilan yang agung, bermartabat, terbuka dan akuntabel melalui SEMA, PERMA, maupun KMA. Mungkin memang masih ada kekurangan di sana-sini, tapi bukan untuk dihujat dan dicari kesalahannya, akan tetapi untuk dilengkapi dan diberi masukan yang memadai demi kemajuan bersama.
2. Faktor Integritas
Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial telah mengeluarkan keputusan bersama nomor 047/kma/sk/iv/2009 Tentang Kode Etik Hakim, sebagai pedoman bagi Hakim seluruh Indonesia dalam menjalankan tugas dan profesinya sebagai Hakim. Ada sepuluh prinsip dalam kode etik Hakim yang harus dipedomani oleh hakim, yaitu: berperilaku adil, jujur, arif dan bijaksana, mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, rendah hati, dan profesional.
Pelatihan dan sosialisasi kode etik Hakim ini rutin terus menerus dilakukan oleh Mahkamah Agung, lewat pengadilan tingkat banding yang secara berkala diikuti bergantian oleh para Hakim tingkat pertama di Indonesia, untuk membentuk Hakim ideal yang didambakan.
Mahkamah Agung bersama Komisi Yudisial juga telah membentuk Majelis Kehormatan Hakim, untuk “mengadili” para Hakim yang dianggap melanggar Kode Etik Hakim, atau tindakan tidak terpuji lain. Sebagai tindak lanjut dari hal tersebut, setiap pegawai peradilan (termasuk Hakim) yang diberi sanksi diumumkan melalui web resmi Mahkamah Agung setiap 3 bulan sekali.
Hakim di Indonesia mencapai jumlah 6000 orang lebih, mayoritas di antara mereka adalah Hakim-hakim yang jujur, bersih dan berintegritas. Jika dilihat dari jumlah Hakim yang mendapat sanksi, maka tidak mencapai bilangan 1% dari total jumlah Hakim, sehingga sangat tidak bijak jika momentum tertangkapnya Hakim Syarifuddin justru dijadikan justifikasi bahwa seluruh Hakim di Indonesia mempunyai sifat yang sama.
3. Faktor Kesejahteraan.
Prof. Satjipto Rahardjo (Sosiolog hukum Indonesia) pernah menyampaikan bahwa hakim perlu diberikan gaji yang cukup agar tidak terbebani oleh "urusan duniawi" sehingga dapat banyak membaca, menimbang, dan merenungkan dengan seksama persoalan yang dihadapi guna menjatuhkan putusan dan memberikan keadilan yang berkualitas, oleh karena pekerjaan menegakkan hukum dan keadilan itu tidak segampang dan sejelas seperti dikatakan oleh undang-undang tetapi sarat dengan berbagai intervensi baik itu sosial, ekonomi maupun politik.
Untuk faktor yang ini, sepertinya masih jauh panggang daripada api. H. A. Dardiri SH, (Tenaga Ahli Komisi Yudisial) mengatakan bahwa perbandingan gaji hakim di Indonesia dengan gaji Hakim di Negara tetangga Malaysia adalah 1:50, ini sangat jauh. Sebagai gambaran awal, maka dapat kita lihat di PP No. 10 Tahun 2007 yang mengatur tentang Gaji Hakim. Berdasarkan PP tersebut, gaji hakim terendah adalah Rp 1.796.900 (hakim III/a dengan masa kerja 0 tahun). Sedangkan gaji hakim tertinggi adalah Rp 4.525.400 (hakim IV/e dengan masa kerja 32 tahun). Besaran ini tidak berubah sampai sekarang, karena apabila ada kenaikan gaji tahunan PNS, gaji Hakim tidak ikut naik, sehingga Hakim III/a dan Hakim III/b saat ini gajinya kalah besar daripada PNS biasa golongan III/a dan III/b dengan masa kerja sama.
Sedangkan remunerasi diatur dalam Perpres 19/2008, tunjangan itu dibuat berjenjang hingga 16 jenjang. Jenjang terendah adalah hakim di pengadilan kelas II. Tunjangan yang diterima berjumlah Rp 4.200.000. Sementara itu, jenjang tertinggi adalah Ketua MA. Tunjangannya mencapai Rp 31.100.000. Namun remunerasi itu masih diterima 70% sehingga Hakim pengadilan kelas II menerima hanya Rp. 2.900.000/bulan. Itupun tidak turun rutin tiap bulan, sebagai contoh remunerasi tahun 2011 ini, untuk bulan Januari-Maret baru diterima akhir bulan Mei kemarin.
Lalu berapa Gaji Hakim Malaysia? Silahkan kalikan 50 semua perhitungan diatas.
4. Faktor Reward & Punishment.
Saat ini sedang alot pembahasan Rancangan Undang-undang Komisi Yudisial di DPR masalah penyadapan Hakim dan kewenangan Komisi Yudisial untuk menghukum Hakim. Saya tidak ingin berdebat masalah dua kewenangan itu, saya hanya ingin mengambil titik tekan bahwa semua pihak ternyata hanya tertarik untuk punishment saja, semua merasa berkepentingan untuk mengawasi dan menghukum Hakim yang nakal, tapi saya belum menemukan ada yang tertarik untuk memberi reward kepada Hakim yang berprestasi. Alih-alih memberi reward, semua menuntut agar Hakim harus memenuhi kewajibannya dengan berintegritas dan penuh keikhlasan tanpa harus peduli kepada haknya. Padahal, antara hak dan kewajiban itu harus berjalan seiring, tidak bisa sendiri-sendiri.
Keempat hal diatas harus dilaksanakan secara utuh, menyeluruh dan konsekuen, demi menghindari munculnya “Hakim Syarifuddin-Hakim Syarifuddin” lain di masa yang akan datang. Baik legislatif maupun eksekutif melaksanakan segala fungsi dan kewenangannya secara maksimal demi menghilangkan praktek mafia peradilan di unsur yudikatif, yang pada muaranya akan menghasilkan penegakan hukum yang adil, luhur dan bermartabat untuk segenap elemen masyarakat dan kenegaraan.
Jika salah satu dari empat hal itu tidak terpenuhi, maka mungkin dalam Undang-undangan Kekuasaan Kehakiman kelak perlu dimasukkan syarat tambahan menjadi Hakim yaitu: harus memiliki jiwa malaikat, harus tidak memiliki kebutuhan materi dunia, harus mendahului keadilan menurut masyarakat dengan cara melakukan polling terlebih dahulu, dan harus meminta saran saran dan nasehat Komisi Yudisial sebelum memutus perkara.
Tapi, apakah harus seperti itu? Saya kira tidak.
Dan jika memang benar Gaji Hakim itu 15jt-20jt/bulan seperti yang telah dijelaskan pak Trimedya Panjaitan diatas, maka perlu dimasukkan pasal baru dalam rancangan Undang-undangan Komisi Yudisial, atau RKUHP: “Mendirikan tiang gantungan di tiap halaman peradilan se-Indonesia untuk menggantung Hakim yang korupsi”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar