Eksepsi menurut bahasa adalah tangkisan, biasanya diartikan juga dengan keberatan (exception/plead). Secara istilah eksepsi diartikan tangkisan, keberatan, atau sanggahan mengenai formalitas surat dakwaan/gugatan/permohonan dan tidak menyinggung materi pokok perkara. Eksepsi diajukan dengan harapan Hakim menjatuhkan putusan N.O. (Niet Onvankelijk Verklaard)/Tidak Dapat Diterima terhadap dakwaan/gugatan/permohonan tersebut.
Dalam Hukum Pidana, eksepsi diajukan oleh terdakwa/kuasa hukumnya pada sidang pertama setelah pembacaan surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (Pasal 156 ayat (1) KUHAP). Sedangkan dalam Hukum Perdata, walaupun tidak ada ketentuan yang mewajibkan Tergugat/Termohon menjawab surat gugatan/permohonan, namun Tergugat/Termohon/Kuasa Hukumnya dapat menjawab surat gugatan/permohonan (yang sekaligus berisi eksepsi) pada sidang pertama setelah pembacaan surat gugatan/permohonan (Pasal 121 ayat (2) HIR/Pasal 145 ayat 92) RBg).
Adapun eksepsi yang diajukan selain di waktu yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan diatas, baik dalam Hukum Pidana ataupun perdata adalah eksepsi yang berkaitan dengan kewenangan mengadili/kompetensi absolut (Pasal 156 ayat (7) KUHAP, Pasal 134 HIR, dan Pasal 160 RBg). Untuk eksepsi yang berkaitan dengan kewenangan mengadili, Hakim dapat secara ex officio memutuskan tentang wewenang tersebut tanpa harus menunggu jawaban dari dari pihak JPU atau Tergugat.
A. Hukum Acara Pidana
Dalam Hukum Acara Pidana, ada beberapa hal yang dapat diajukan eksepsi, yang secara garis besar dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Eksepsi Kompetensi/Kewenangan Mengadili.
Eksepsi kompetensi dibagi menjadi dua, yaitu Kompetensi absolut (wewenang mengadili 4 lingkungan peradilan, Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer) dan kompetensi relatif (wilayah hukum dari suatu pengadilan dalam satu lingkungan peradilan yang sama
2. Eksepsi Tuntutan Gugur.
Tuntutan gugur dapat dituntut dalam beberapa perkara, diantaranya:
a. Nebis in idem (dakwaan utk perkara sama yg telah diputus n berkekuatan hukum tetap)
b. Perkara Kadaluarsa/telah lewat waktu. (Pasal 78-82 KUHP)
c. Terdakwa meninggal dunia.
3. Eksepsi Syarat formil.
Syarat Formil berkaitan dengan prosedur tata cara pemeriksaan, penyelidikan, ataupun penyidikan. Putusan yang dijatuhkan adalah N.O. (Niet Onvankelijk Verklaard)/Tidak Dapat Diterima:
a) Tersangka atau terdakwa dengan ancaman pidana mati atau pidana penjara minimal 5 tahun tidak didampingi oleh penasihat hukum, jika tersangka/terdakwa tidak memiliki penasihat hukum maka pejabat yang berwenang harus menunjuk penasihat hukum untuk mereka. (putusan MA No 1565 K/Pid/1991, 16 September 1991).
b) Tindak pidana merupakan delik aduan akan tetapi dakwaan terhadap terdakwa dilakukan tanpa ada pengaduan dari korban atau tenggang waktu pengaduan tidak dipenuhi (Pasal 72–75 KUHP).
c) Tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa sedang dalam pemeriksaan di pengadilan negeri lain.
d) Terdakwa yang diajukan di persidangan keliru (salah orang).
e) Tindak pidana yang didakwakan mengandung sengketa perdata yang harus diselesaikan secara perdata
f) Jaksa Penuntut Umum keliru dalam merumuskan dakwaan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa.
4. Eksepsi Dakwaan Batal Demi Hukum
Eksepsi yang menuntut Dakwaan Batal Demi Hukum dapat diajukan dengan anggapan dakwaan dianggap kabur, membingungkan, sekaligus menyesatkan yang berakibat sulit bagi terdakwa untuk melakukan pembelaan diri karena (Pasal 142 ayat (2) KUHAP):
a) Dakwaan tidak memuat tanggal dan tanda tangan JPU (Pasal 143 ayat (2) KUHAP).
b) Dakwaan tidak memuat identitas lengkap terdakwa (baik itu nama lengkap, tempat lahir, tanggal lahir atau umur, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan (Pasal 143 ayat (2) KUHAP).
c) Dakwaan tidak menyebut locus delicti/tempat dan waktu kejadian tindak pidana tersebut terjadi (Pasal 143 ayat (2) huruf (b) KUHAP).
d) Dakwaan tidak disusun secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai uraian tindak pidana yang didakwakan dalam artian semua unsur delik dirumuskan dalam pasal pidana yang didakwakan harus cermat disebut satu persatu serta menyebut dengan cermat, lengkap, dan jelas mengenai cara tindak pidana dilakukan secara utuh
e) Dakwaan dengan terdakwa anak dibawah umur tidak didampingi oleh pengacara sehingga semua surat-surat (termasuk BAP) ditandatangani oleh tersangka yang dibawah umur tersebut (Pasal 1330 KUHPer, Pasal 51 UU No. 3 Tahun 1997, dan Pasal 56 ayat (1) KUHAP).
B. Hukum Acara Perdata
Dalam Hukum Acara Perdata, ada beberapa hal yang dapat diajukan eksepsi, yang secara garis besar dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Eksepsi Kompetensi
a. Tidak berwenang mengadili secara Absolut
Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan absolut 4 Lingkungan peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer), Peradilan khusus (Arbitrase, Peradilan Niaga, P4D, dst)
b. Tidak berwenang mengadili secara Relatif.
Kompetensi Relatif berkaitan dengan wilayah hukum dari suatu pengadilan dalam satu lingkungan peradilan yang sama (pasal 118 HIR). Eksepsi jenis ini dapat diakibatkan beberapa hal:
a) Pengadilan yang berwenang adalah dimana Tergugat bertempat tinggal (Actor Sequitur Forum Rei)
b) Pengadilan yang berwenang adalah pengadilan dimana debitur bertempat tinggal (Actor Sequitur tanpa hak opsi)
c) Pengadilan yang berwenang adalah pengadilan dimana Penggugat bertempat tinggal, dengan catatan tergugat tidak diketahui keberadaannya.
d) Pengadilan yang berwenang adalah pengadilan dimana Harta sengketa (tidak bergerak) berada (Forum Rei sitae)
e) Pengadilan yang berwenang adalah pengadilan di salah satu tempat dari beberapa harta sengketa (tdk bergerak) berada (Forum Rei Sitae dengan hak opsi)
Eksepsi yang berkaitan dengan kompetensi diajukan pada tahap jawaban setelah pembacaan gugatan/permohonan bersamaan dengan pokok perkara 9 Cara pengajuan Pasal 136 HIR dan 160 RBg) dan diputus sebelum pokok perkara. Putusan berbentuk putusan sela jika ditolak dan berbentuk putusan akhir jika dikabulkan.
2. Eksepsi Syarat Formil
a. Surat kuasa khusus tidak sah.
Surat kuasa khusus dapat dinyatakan tidak sah karena sebab-sebab tertentu, diantaranya:
1) Surat kuasa bersifat umum (Putusan MA no.531 K/SIP/1973).
2) Surat kuasa tidak mewakili syarat formil sebagaimana disebut dalam pasal 123 HIR, SEMA no.1/1971 23 Januari 1971 jo SEMA no.6 tahun 1994, yaitu tidak disebutkan secara spesifik ingin berperkara di peradilan tertentu, tidak menyebut obyek perkara dan tidak tercantum tanggal dan tanda tangan pemberi kuasa.
3) Surat kuasa dibuat bukan atas nama yang berwenang. Misalnya, dalam sebuah Perusahaan Terbuka (P.T.), yang memberi kuasa adalah komisaris dari perusahaan tersebut dan bukan direksi perusahaan (Putusan MA no.10 K/N/1999).
b. Error in Persona
Suatu gugatan/permohonan dapat dianggap error in persona apabila diajukan oleh anak di bawah umur (Pasal 1330 KUHPer), mereka yang berada di bawah perwalian/curatele (Pasal 446 dan 452 KUHPer), tidak memiliki kedudukan hukum/legal standing untuk mengajukan gugatan (persona standi in judicio).
Dapat juga dianggap error in persona apabila pihak yang ditarik sebagai Tergugat/Termohon keliru/salah (Putusan MA No.601 K/SIP/1975), atau pihak Penggugat/pemohon atau Tergugat/Termohon yang tercantum dalam surat gugatan/permohonan tidak lengkap (Plurium Litis Consorsium, Putusan MA 156 K/Pdt/1983)
c. Nebis In Idem.
Nebis in idem adalah sebuah perkara para pihak yang sama, dengan obyek sama, dan materi pokok perkara yang sama tidak dapat diperiksa lagi. Jika ada perkara obyek dan materi perkara yang sama, akan tetapi pihak-pihaknya berbeda tidak termasuk nebis in idem (Pasal 1917 KUHPerd, putusan MA No. 588 K/SIP/1973, dan putusan MA No. 647 K /SIP/1973). Dengan demikian, suatu perkara dapat dikatakan Nebis In Idem apabila:
1) Pernah diperkarakan sebelumnya (putusan MA No. 1743 K/SIP/1983)
2) Telah berkekuatan hukum tetap (putusan MA No. 647 K/SIP/1973)
3) Telah tertutup upaya hukum biasa (banding dan kasasi)
4) Telah diajukan banding dan kasasi.
5) Telah lewat waktu banding dan kasasi.
6) Tidak diajukan upaya hukum.
Akan tetapi, kita ada perkara sama yang telah diputus tidak dapat diterima/N.O. karena tidak memenuhi syarat formil, maka itu tidak termasuk nebis in idem dan dapat digugat kembali untuk kedua kalinya (putusan MA No. 878 k/ Sip/ 1977).
Putusan perkara nebis in idem bersifat positif, berisi amar mengabulkan.
d. Gugatan prematur
Suatu gugatan/permohonan disebut prematur jika ada faktor hukum yang menangguhkan adanya gugatan/permohonan tersebut, misalnya
gugatan warisan disebut prematur jika pewaris belum meninggal dunia, atau hutang yang belum jatuh tempo tidak dapat dituntut untuk ditunaikan.
gugatan warisan disebut prematur jika pewaris belum meninggal dunia, atau hutang yang belum jatuh tempo tidak dapat dituntut untuk ditunaikan.
e. Obscuur Libel
Obscuur secara sederhana disebut “tidak jelas”. Misal tidak jelas dasar hukum yang menjadi dasar gugatan, tidak jelas obyek gugatan (jika itu berupa tanah maka batas2, letak, ukuran), Petitum tidak jelas (tidak rinci), atau ada kontradiksi antara posita dan petitum.
Salah satu contoh kontradiksi antara posita dan petitum adalah antara tuntutan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum (artikel tentang ini pernah saya dibahas di blog ini dengan artikel berjudul “Antara Wan Prestasi dan Perbuatan Melawan Hukum).
Untuk mengingatkan, bahwa tuntutan wan prestasi dan perbuatan melawan hukum tidak dapat dijadikan satu, sehingga apabila positanya menjelaskan masalah wan prestasi, petitum tidak dapat berisi tuntutan perbuatan melawan hukum. Hal ini terjadi karena beberapa hal:
a) Segi sumber hukum
- Wanprestasi berdasarkan pasal 1243 KUHPerd yang timbul dari persetujuan, tuntutan terjadi karena perjanjian tidak dipenuhi sama sekali/tidak tepat waktu/tidak dipenuhi secara layak.
- Melawan hukum berdasarkan pasal 1365 KUHPerd, terdapat unsur perbuatan melanggar hukum dan dapat dituntut sekaligus secara pidana dan perdata.
b) Segi hak menuntut
- Wanprestasi memerlukan proses atas pernyataan lalai, apabila ada klausul debitur langsung wanprestasi, namun jika tidak ada klausul maka harus somasi terlebih dahulu.
- Perbuatan Melawan Hukum tidak diperlukan somasi
c) Segi tuntutan ganti rugi
- Tuntutan ganti rugi untuk Wanprestasi dihitung sejak terjadi kelalaian (1237 KUHPerd), meliputi kerugian yang dialami dan keuntungan yang akan diperoleh (1236 & 1243 KUHPerd)
- Tuntutan ganti rugi Perbuatan Melawan Hukum dapat tidak dirinci, dan dapat dituntut ganti rugi immateriil dan materiil tanpa ada standar tertentu (1365 KUHPerd).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar