Upaya hukum yaitu upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki keliruan dalam suatu putusan. Upaya hukum dibedakan menjadi upaya hukum biasa dan upaya hukum istimewa. Upaya hukum biasa terbuka untuk setiap putusan selama tenggat waktu yang ditentukan oleh Undang-undang. Wewenang untuk menggunakannya terhapus apabila putusan diterima. Upaya hukum bersifat menghentikan pelaksanaan putusan untuk sementara. Upaya hukum biasa adalah perlawanan (verzet), banding dan kasasi. Upaya hukum istimewa adalah
upaya hukum yang dipergunakan apabila putusan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Upaya hukum ini hanya dibolehkan dalam hal-hal tertentu yang disebut dalam Undang-undang. Upaya hukum istimewa adaah request civil (peninjauan kembali) dan derdenverzet (perlawanan) dari pihak ketiga.
upaya hukum yang dipergunakan apabila putusan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Upaya hukum ini hanya dibolehkan dalam hal-hal tertentu yang disebut dalam Undang-undang. Upaya hukum istimewa adaah request civil (peninjauan kembali) dan derdenverzet (perlawanan) dari pihak ketiga.
1. Perlawanan (verzet).
Perlawanan merupakan upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya tergugat (verstek, ps. 125 ayat 3 jo. 129 HIR 149 ayat 3 jo. 153 Rbg). Pada asasnya perlawanan ini disediakan bagi pihak tergugat yang dikalahkan. Bagi penggugat yang dengan putusan verstek dikalahkan tersedia upaya hukum banding (ps. 8 ayat 1 UU 20/1947, 200 Rbg)
2. Banding.
Apabila salah satu pihak dalam suatu perkara perdata tidak menerima suatu putusan Pengadilan karena merasa hak-haknya terserang oleh adanya putusan itu atau menganggap putusan itu kurang benar atau kurang adil, maka ia dapat mengajukan permohonan banding. Ia dapat mengajukan perkara yang telah diputuskan itu kepada pengadilan yang lebih tinggi untuk diminta pemeriksaan ulang. Yang mengajukan permohonan banding adalah yang bersangkutan (ps. 6 UU 20/1947, 199 Rbg, 19 UU 14/1970), dan banding hanya diperuntukkan bagi pihak yang dikalahkan atau merasa dirugikan.
Permohonan banding harus diajukan kepada panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan dalam empat belas hari terhitung mulai hari berikutnya hari pengumuman putusan kepada yang berkepentingan (ps. 7 UU 20./1947, 199 Rbg) atau diberitahukannya putusan kepada pihak yang bersangkutan. Kalau dalam batas waktu empat belas hari telah lewat dan kemudian diajukan permohonan banding oleh salah satu pihak, maka Pengadilan Negeri tidak boleh menolaknya akan tetapi wajib meneruskanya ke Pengadilan Tinggi, sebab yang berhak menolak atau menerima permohonan banding hanyalah Pengadilan Tinggi.
Dalam tingkat banding, hakim tidak boleh mengabulkan lebih daripada yang dituntut atau memutuskan hal-hal yang tidak dituntut. Jadi hakim harus membiarkan putusan dalam tingkat peradilan pertama sepanjang tidak dibantah dalam tingkat banding (tantum devolatum quantum apellatum).
3. Prorogasi.
Prorogasi adalah mengajukan suatu sengketa berdasarkan suatu persetujuan kedua belah pihak kepada hakim yang sesungguhnya tidak berwenang memeriksa sengketa tersebut, yaitu kepada hakim dalam tingkat peradilan yang lebih tinggi (Pengadilan Tinggi). Pengadilann bandingg yang memeriksa sengketa dalam Prorogasi bertindak sebagai badan pengadilan dalam tinkat peradilan pertama. Semua ketentuan yang berlaku bagi pengadilan tingkat pertama berlaku bagi pengadilan banding yang sedang melakukan pemeriksaan dalam Prorogasi. Pengadilan banding yang memeriksa Prorogasi itu memeriksa dan memutus dalam tingkat pertama dan terakhir, sehingga putusannya hanya dapat dimintakan kasasi.
4. Kasasi
Terhadap putusan-putusan yang diberikan dalam tingkat akhir oleh pengadilan-pengadilan lain daripada mahkamah agung demikian pula terhadap putusan pengadilan yang dimintakan banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang berkepentingan (ps. 10 ayat 3, 20 UU 14/1970, 43 UU no. 14 tahun 1985). Kasasi hanya mungkin dan diijinkan terhadap putusan yang diambil dalam lingkungan peradilan umum biasa.
Permohonan kasasi dapat diajukan kepada panitera dari pengadilan yang menjatuhkan putusan yang dimohonkan (ps. 113 ayat 1 UU 1/1950) dan biasanya Pengadilan Tinggi, akan tetapi dapat juga diajukan kepada kepaniteraan pengadilan yang memutus perkara yang bersangkutan dalam peradilan tingkat pertama. Permohonan kasasi dapat diajukan baik secara lisan maupun tulisan dalam tenggat waktu 14 hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon (ps. 46 UU no. 14 tahun 1985). Dalam tenggat waktu 14 hari setelah permohonan yang dimaksud dalam buku daftar pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi (ps. 47 UU no. 14 tahun 1985). permohonan kasasi yang melampaui tenggat waktu yang telah ditentukan atau penerimaan memori kasasi yang melampaui tenggat waktu yang ditentukan harus dinyatakan tidak dapat diterima. Tidak mengajukan risalah kasasi akan menyebabkan tidak diterimanya permohonan kasasi. Dalam risalah kasasi harus dimuat keberatan-keberatan atau alasan-alasan yang berhubungan dengan pokok persoalan perkara.
Dalam meninjau alasan-alassan hukum yang dipergunakan dalam permohonan kasasi, dipakai sebagai dasar pasal 30 UU no. 14 tahun 1985, yaitu karena:
a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan-perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Yang dianggap sebagai saat mengajukan kasasi ialah saat penerimaan permohonan kasasi (ps. 113 UU 1/1950). Pemeriksaan perkara dalam tingkat kasasi didasarkan pada waktu penerimaan permohonan kasasi, walaupun risalah kasasi telah diterima lebih dahulu. Yang dimaksud sebagai tanggal permohonan kasasi ialah tanggal pada waktu biaya perkara diterima oleh pantiera yang berangkutan. Sedang apabila biaya perkara diterima melampaui tenggat waktu, maka permohonan kasasi dianggap tidak ada.
5. Peninjauan kembali.
Putusan yang dijatuhkan dalam tingkat terakhir dan putusan yang dijatuhkan di luar hadir tergugat (verstek) dan yang tidak lagi terbuka kemungkinan untuk mengajukan perlawanan dapat ditinjau kembali atas permohonan orang yang pernah menjadi salah satu pihak di dalam perkara yang telah diputus dan dimintakan peninjauan kembali (request civil). Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan baik secara tertulis maupun lisan (UU no 14 tahun 1985 ps. 71) oleh para pihak sendiri (UU no 14 tahun 1985 ps. 68 ayat 1) kepada MA melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama (UU no 14 tahun 1985 ps. 70). Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan dan dapat dicabut selama belum diputus serta hanya dapat diajukan hanya satu kali saja (UU no 14 tahun 1985 ps. 66). 14 hari setelah Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama menerima permohonan peninjauan kembali maka panitera mengirimkan salinan permohonan kepada pihak lawan.
Adapun alasan-alasan peninjauan kembali adalah (UU no 14 tahun 1985 ps. 67):
a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
b. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang ada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan.
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut.
d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan yang belum diputus tanpa mempertimbangkan sebab-sebabnya.
e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah diberikan putusan yang bertentangan satu sama lain.
f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
6. Perlawanan pihak ketiga.
Pada asasnya suatu putusan itu hanyalah mengikat para pihak yang berperkara dan tidak mengikat pihak ketiga (ps. 1917 BW). Akan tetapi apabila pihak ketiga hak-haknya dirugikan oleh suatu putusan, maka ia dapat mengajukan perrlawanan terhadap putusan tersebut (ps. 378 Rv). Perlawanan ini diajukan kepada hakim yang menjatuhkan putusan yang dilawan itu dengan menggugat para pihak yang bersangkutan dengan cara biasa (ps. 379 Rv). Pihak ketiga yang hendak mengajukan perlawanan terhadap suatu putusan tidak cukup hanya mempunyai kepentingan saja, tetapi harus nyata-nyata telah dirugikan hak-haknya. Apabila perlawanannya dilabulkan, maka putusan yang dilawan itu diperbaiki sepanjang tidak merugikan pihak ketiga (ps. 382 Rv).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar