Setiap orang yang disangka atau diduga melakukan tindak pidana wajib dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya oleh suatu putusan pengadilan melalui sidang peradilan yang terbuka, bebas dan tidak memihak (asas praduga tidak bersalah), dengan kata lain, sebelum jatuh putusan, tersangka/terdakwa harus tetap dijunjung
dan dilindungi hak asasinya, termasuk harus dipenuhi syarat-syarat formil dan materiil seorang tersangka/terdakwa dalam proses penangkapan dan penahanan.
dan dilindungi hak asasinya, termasuk harus dipenuhi syarat-syarat formil dan materiil seorang tersangka/terdakwa dalam proses penangkapan dan penahanan.
Herziene Indische Reglement (HIR) tidak mengatur tentang pengawasan dan penilaian terhadap upaya paksa penangkapan atau penahanan. Pada jaman dulu hanya ada pengawasan oleh hakim, yakni dalam hal perpanjangan waktu penahanan sementara yang harus dimintakan persetujuan hakim. Namun pengawasan hakim ini kurang bermanfaat dan tidak efektif mengingat urusan perpanjangan penahanan oleh hakim itu bersifat tertutup dan semata-mata dianggap sebagai urusan birokrasi. Semua surat permohonan perpanjangan penahanan secara serta merta tanpa diperiksa lagi langsung saja ditandatangani oleh hakim ataupun petugas yang ditunjuk oleh hakim. Akibatnya banyak penahanan yang sampai bertahun-tahun dan tersangka hanya pasrah pada nasib, dan menunggu belas kasihan dari hakim untuk membebaskannya kelak di muka pemeriksaan persidangan pengadilan.
Untuk menghindari adanya kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam proses penahanan dan penangkapan tersebut, juga untuk melindungi hak tersangka dalam memperjuangkan hak-haknya sebelum proses pemeriksaan sidang dilaksanakan, maka dalam draft RUU KUHAP pada tahun 1974 dicantumkanlah Hakim Komisaris sebagai lembaga yang akan mewadahi semua masalah tersebut.
Hakim Komisaris sebenarnya pernah diberlakukan dalam Reglement op de Strafvoerdering (dengan istilah Van de regter-commissaris) yang berfungsi pada tahap pemeriksaan pendahuluan sebagai pengawas (examinating judge) untuk mengawasi apakah tindakan upaya paksa (penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat-surat) dilakukan dengan sah atau tidak. Diatur juga disana bahwa Hakim Komisaris memiliki wewenang untuk memanggil orang (para saksi atapun tersangka), juga memeriksa langsung para saksi/tersangka (Pasal 46-56). Hakim Komisaris ini mulai dihapus sejak HIR diberlakukan (Staatsblad No. 44 Tahun 1941).
Terdapat banyak pro dan kontra terhadap pencantuman Hakim Komisaris dalam draft RUU KUHAP tahun 1974. Kejaksaan misalnya, berpendapat bahwa dalam tahap pemeriksaan pendahuluan, pengawasan mutlak adalah wewenang Kejaksaan (HIR, Undang-undang Pokok Kepolisian, dan Undang-undang Pokok Kejaksaan). Alasan penolakan lain juga karena dengan adanya Hakim Komisaris maka prosedur peradilan akan semakin rumit, karena adanya tumpang tindih kewenangan antara instansi-instansi yang terkait (Polisi dan Kejaksaan).
Mereka yang mendukung Hakim Komisaris berpendapat bahwa tahap penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, serta penuntutan, tidak hanya dibutuhkan pengawasan secara vertikal saja(struktural, dari atasan kepada bawahan), tetapi juga dibutuhkan pengawasan secara horizontal oleh lembaga lain. Fungsi dan kewenangan Hakim Komisaris yang terdapat dalam draft Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana tahun 1974, dapat kita lihat pada Pasal 99 sampai dengan Pasal 103 dalam draft Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tahun 1974 tersebut.
Akhirnya muncullah gagasan tentang lembaga pra-peradilan yang terinspirasi dari hak Habeas Corpus Act (memberikan hak pada seseorang, melalui suatu surat perintah pengadilan, menuntut pejabat yang melakukan penahanan atapuan penangkapan atas dirinya untuk membuktikan bahwa penahanan tersebut tidak melanggar hukum dan telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku) dalam sistem Anglo Saxon.
Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya pra-peradilan disahkan sebagai lembaga pengawasan dan penilaian terhadap upaya penangkapan dan penahanan sebagaimana tercantum dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Dengan Pra Peradilan, tersangka/terdakwa/keluarganya/kuasanya dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk memanggil pihak penyidik atau jaksa penuntut umum yang telah melakukan upaya paksa agar mempertanggungjawabkan tindakannya di depan sidang apakah benar-benar beralasan dan berlandaskan hukum, sehingga tersangka atau terdakwa mepunyai hak untuk melawan penahanan dan penangkapan yang dianggapnya dilakukan secara sewenang-wenang oleh pihak penyidik ataupun penuntut umum.
Pada prinsipnya, tujuan utama Pra Peradilan adalah untuk melakukan ”pengawasan horisontal” atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka selama ia berada di dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang ( M. Yahya Harahap, 2002:4 ).
Saat ini, lembaga Hakim Komisaris kembali diwacanakan dalam RUU KUHAP yang baru untuk menggantikan lembaga pra peradilan. Kembali muncul pro dan kontra terhadap masalah ini. Sehingga ada baiknya kalau kita bisa melihat dan memperbandingkan antara Hakim Komisaris (dalam RUU KUHAP) dan pra peradilan (dalam KUHAP) secara head to head untuk mendapatkan gambaran yang obyektif dan menyeluruh.
1. Masalah Kewenangan
a. Pra Peradilan (Pasal 77 dan Pasal 78 ayat (1) KUHAP)
Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini tentang (Pasal 77 KUHAP):
1) Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan;
2) Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Yang melaksanakan wewenang Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 77 adalah Pra Peradilan (Pasal 78 ayat (1)).
b. Hakim Komisaris (Pasal 111 ayat (1) RUU KUHAP)
Hakim Komisaris berwenang menetapkan atau memutuskan (Pasal 111 ayat (1));
1) Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, atau penyadapan;
2) Pembatalan atau penangguhan penahanan;
3) Bahwa keterangan yang dibuat tersangka atau terdakwa dengan melanggar hak tidak memberatkan diri sendiri;
4) Alat bukti dan penyataan yang didapat secara tidak sah dapat dijadikan alat bukti;
5) Ganti kerugian dan atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap atau ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian untuk setiap hak ilik yang disita secara tidak sah;
6) Tersangka atau terdakwa berhak atau diharuskan didampingi oleh pengacara;
7) Bahwa penyidikan atau Penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang tidak sah;
8) Penghentian Penyidikan atau penghentian Penuntutan tidak berdasarkan asas oportunitas;
9) Layak atau tidaknya suatu perkara dilakukan Penuntutan ke pengadilan;
10)Pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama tahap Penyidikan.
Dilihat dari sisi kewenangan, Hakim Komisaris memiliki tugas dan wewenang yang lebih luas dan lebih lengkap terhadap tindakan-tindakan penegak hukum, sedangkan dalam Pra Peradilan tidak semua upaya paksa dapat diajukan Pra Peradilan, hanya sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sedangkan mengenai penggeledahan dan penyitaan tidak dapat diajukan Pra Peradilan.
2. Susunan
a. Pra Peradilan (Pasal 78 ayat (2) KUHAP )
Pra Peradilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang penitera (Pasal 78 ayat (2)).
b. Hakim Komisaris (Pasal 117 sampai dengan Pasal 123 RUU KUHAP)
Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Komisaris, seorang hakim harus memenuhi syarat (Pasal 117):
1) Memiliki kapasitas dan integritas moral yang tinggi;
2) Bertugas sebagai hakim di Pengadilan Negeri sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun;
3) Berusia serendah-rendahnya 35 (tiga puluh lima) tahun dan setinggi-tingginya 57 (lima puluh tujuh) tahun;
4) Berpangkat serendah-rendahnya golongan III/C.
Pasal 118
1) Hakim Komisaris diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Pengadilan Tinggi yang daerah hukumnya meliputi Pengadilan Negeri setempat.
2) Hakim Komisaris diangkat untuk masa jabatan selama 2 (dua) tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan.
Pasal 119
1) Hakim Komisaris diberhentikan dengan hormat dari jabatannya, karena:
a) Telah habis masa jabatannya;
b) Atas permintaan sendiri;
c) Sakit jasmani atau rohani secara terus menerus;
d) Tidak cakap dalam menjalankan tugasnya;
e) Meninggal dunia.
2) Penilaian mengenai ketidakcakapan Hakim Komisaris dalam menjalankan tugasnya sebaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh Tim Pengawas sebagaimana mekanisme pengawasan di Pengadilan Tinggi.
Pasal 120
Hakim Komisaris diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya karena:
1) Dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
2) Melakukan perbuatan tercela;
3) Terus–menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas dan wewenangnya;
4) Melanggar sumpah jabatan;
5) Merangkap jabatan sebagaimana dilarang dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 121
1) Selama menjabat sebagai Hakim Komisaris, hakim Pengadilan Negeri dibebastugaskan dari tugas mengadili semua jenis perkara dan tugas lain yang berhubungan dengan tugas pengadilan negeri.
2) Setelah selesai masa jabatannya, Hakim Komisaris dikembalikan tugasnya ke Pengadilan Negeri semula, selama belum mencapai batas usia pensiun.
Pasal 122
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian Hakim Komisaris diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 123
1) Hakim Komisaris berkantor di atau dekat Rumah Tahanan Negara.
2) Hakim Komisaris merupakan hakim tunggal, memeriksa, menetapkan, atau memutus karena jabatannya seorang diri.
3) Dalam menjalankan tugasnya, Hakim Komisaris dibantu oleh seorang panitera dan beberapa orang staf sekretariat.
Dilihat dari susunan, semua hakim pengadilan dapat diangkap menjadi Hakim Tunggal dalam proses Pra Peradilan sesuai dengan perintah Ketua Pengadilan, sedangkan Hakim Komisaris diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas rekomendasi dari Pengadilan Tinggi, dan selama menjabat menjadi Hakim Komisaris, hakim yang bersangkutan dari tugas mengadili semua jenis perkara dan tugas lain yang berhubungan dengan tugas pengadilan negeri.
Untuk susunan, pra peradilan tidak akan mengalami masalah yang berarti dalam praktek di lapangan. Sedangkan untuk Hakim Komisaris akan menimbulkan masalah yang sangat komplek di lapangan, mengingat penyebaran hakim yang belum merata di seluruh Indonesia, juga mobilitas hakim yang tinggi akan menimbulkan masalah baru. Belum lagi jika dilihat dari syarat 10 tahun bertugas dan minimal III/c serta harus minimal berumur 35 tahun tidak akan bisa dipenuhi oleh kebanyakan pengadilan kelas II di luar jawa, karena kebanyakan Hakim yang bertugas disana adalah Hakim Junior dengan masa kerja kurang dari 6-8 tahun, dan (biasanya) Hakim yang telah memenuhi kriteria tersebut telah menjabat sebagai wakil atau ketua di pengadilan yang bersangkutan.
Syarat ini mungkin kelihatan sederhana dan pasti dapat dipenuhi oleh seluruh pengadilan di pulau Jawa, akan tetapi akan menjadi masalah baru untuk (hampir semua) pengadilan kelas II di luar pulau Jawa.
3. Permohonan Pengajuan
a. Pra Peradilan ( Pasal 79, 80, 81, 95 ayat (2) dan (3), Pasal 97 ayat (3) KUHAP )
Pasal 79
Permintaan Pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya.
Pasal 80
Permintaan untuk memeriksan sah atau tidaknya suatu penangkapan penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya.
Pasal 81
Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebut alasannya.
Pasal 95 ayat (2)
Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-ungdang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagimana dimaksudkan dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri, diputus sidang Pra Peradilan sebaimana dimaksud dalam Pasal 77.
Pasal 97 ayat (3)
Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri diputus oleh hakim Pra Peradilan yang dimaksud dalam
Pasal 77.
b. Hakim Komisaris (Pasal 111 ayat (2) dan ayat (3) RUU KUHAP )
Pasal 111 ayat (2) dan ayat (3):
2) Permohonan mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh tersangka atau penasihat hukumnya atau oleh penuntut umum, kecuali ketentuan pada ayat (1) huruf I hanya dapat diajukan oleh Penuntut Umum.
3) Hakim Komisaris dapat memutuskan hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas inisiatifnya sendiri, kecuali ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i.
Hakim Pra Peradilan bersifat menunggu adanya permohonan dari para pemohon yang merasa bahwa haknya dilanggar dalam hal pengujian upaya paksa maupun permohonan ganti kerugian dan rehabilitasi dan tidak dapat melakukan persidangan tanpa adanya suatu permohonan, sedangkan Hakim Komisaris memiliki tambahan kewenangan inisiatif dimana tanpa perlu adanya suatu permohonan dari pemohon, seorang Hakim Komisaris dapat memutusakan atau menetapkan sendiri mengenai hal-hal yang termasuk dalam tugasnya pada Pasal 111 ayat (1) RUU KUHAP.
Untuk yang ini, akan menimbulkan masalah baru ketika dikaitkan dengan kewenangan Hakim Komisaris yang sangat luas yang niscaya berbenturan dengan pengawasan melekat/vertikal instansi yang bersinggungan (polisi/jaksa). Harus ada pengaturan teknis yang lebih lanjut agar tidak terjadi benturan yang tidak diinginkan dalam praktek di lapangan. Dan hal ini sangat terkait dengan subyektifitas Hakim Komisaris yang bersangkutan, sehingga harus juga dibuat suatu standar baku seperti apa inisiatif yang dapat dilakukan dan “ditabrak” oleh Hakim Komisaris.
4. Acara Pemeriksaan
a. Pra Peradilan (Pasal 82 ayat (1) KUHAP )
Pasal 82 ayat (1)
1) Acara pemeriksaan Pra Peradilan untuk hal sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81 ditentukan sebagai berikut:
a) Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang:
b) Dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang;
c) Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya;
d) Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada Pra Peradilan belum selesai, maka permintaan itu gugur;
e) Putusan Pra Peradilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan Pra Peradilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru.
b. Hakim Komisaris (Pasal 114, Pasal 116, Pasal 112, dan Pasal 113 RUU KUHAP )
Pasal 114
1) Hakim Komisaris memberikan keputusan dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari terhitung sejak menerima permohonan sebaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2).
2) Hakim Komisaris memberikan keputusan atas permohonan berdasarkan hasil penelitian salinan dari surat perintah penangkapan, penahanan, penyitaan, atau catatan lainnya yang relevan.
3) Hakim Komisaris dapat mendengar keterangan-keterangan dari tersangka atau penasihat hukumnya, penyidik, atau penuntut umum.
4) Apabila diperlukan, Hakim Komisaris dapat meminta keterangan dibawah sumpah dari saksi yang relevan dan alat bukti surat yang relevan.
5) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2) tidak menunda proses Penyidikan.
Pasal 116
1) Hakim Komisaris melakukan pemeriksaan atas permohonan ganti kerugian atau rehabilitasi dengan ketentuan sebagai berikut:
a) Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah menerima permohonan, harus mulai menyidangkan permohonan;
b) Sebelum memeriksa dan memutus, wajib mendengar Pemohon, Penyidik, atau Penuntut Umum;
c) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah menyidangkan, harus sudah memberikan putusan;
d) Dalam hal perkara sudah diperiksa oleh Pengadilan Negeri, permohonan ganti kerugian atau rehabilitasi tidak dapat diajukan kepada Hakim Komisaris.
Pasal 112
1) Untuk pembuktian perkara di Indonesia, saksi yang bertempat tinggal di luar negeri diperiksa oleh pejabat yang berwenang di negara tersebut, dan keterangan diserahkan kepada pemerintah Indonesia, dalam hal Indonesia mempunyai perjanjian bilateral dengan negara tersebut atau berdasarkan asas resiprositas.
2) Keterangan sebagai mana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan kepada penyidik atau penuntut umum di Indonesia sesuai dengan tahapan pemeriksaan perkara, melalui instansi yang berwenang.
3) Permintaan kepada pemerintah negara lain untuk memeriksa saksi yang berada di negara tersebut harus dilengkapi dengan daftar keterangan yang diperlukan yang harus dijawab oleh saksi.
4) Dalam hal keterangan sebagimana dimaksud pada ayat (2) dilimpahkan ke Pengadilan, maka keterangan tersebut mempunyi kekuatan pembuktian sebagai alat bukti yang sah.
Pasal 113
1) Jika ada permintaan dari negara lain untuk mengambil keterangan saksi atau melakukan tindakan hukum lain di Indonesia untuk kepentingan perkara yang ada di negara peminta, permintaan tersebut dipenuhi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2) Tata cara pengambilan keterangan dari saksi atau tindakan hukum lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.
Untuk proses ini, tidak ada perbedaan yang signifikan antara Hakim Komisaris dan Pra Peradilan, hanya terdapat beberapa kecil tentang teknis pelaksanaan.
5. Putusan
a. Pra Peradilan (Pasal 82 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP )
Pasal 82 ayat (2) dan (3)
2) Putusan hakim dalam acara pemeriksaan Pra Peradilan mengenai hal sebaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81, harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya.
3) Isi putusan selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) juga memuat hal sebagai berikut:
a) Dalam hal putusan menetapakan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka;
b) Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;
c) Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya kerugian dan rehabilitasi yang diberikan sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangka tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya;
d) Dalam hal putusaan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita.
b. Hakim Komisaris (Pasal 115 RUU KUHAP )
Pasal 115
1) Putusan dan penetapan Hakim Komisaris harus memuat dengan jelas dasar hukum dan alasannya.
2) Dalam hal Hakim Komisaris menetapkan atau memutuskan penahanan tidak sah, penyidik atau penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus mengeluarkan tersangka dari tahanan.
3) Dalam hal Hakim Komisaris menetapkan atu memutuskan penyitaan tidak sah, dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari setelah ditetapkan atau diputuskan, benda yang disita harus dikembalikan kepada yang paling berhak kecuali terhadap benda terlarang.
4) Dalam hal Hakim Komisaris menetapkan atau memutuskan bahwa penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tidak sah, Penyidik atau Penuntut Umum harus segera melanjutkan Penyidikan atau Penuntutan.
5) Dalam hal Hakim Komisaris menetapkan atau memutuskan bahwa penahanan tidak sah, Hakim Komisaris menetapkan jumlah pemberian ganti kerugian dan/atau rehabilitasi.
6) Ketentuan lebih lanjut mengenai jumlah pemberian ganti kerugian dan/atau rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Putusan Pra Peradilan merupakan putusan yang bersifat declaratoir, yang pada dasarnya merupakan suatu putusan yang menegaskan bahwa seseorang mempunyai hak, sedangkan putusan yang dijatuhkan oleh Hakim Komisaris bersifat declaratoir dan konstitutif. Putusan yang bersifat declaratoir dapat dilihat pada Pasal 115 ayat (2) sampai dengan ayat (4), sedangkan yang bersifat konstitutif dapat dilihat pada Pasal 115 ayat (5) RUU KUHAP tahun 2008.
6. Upaya Hukum
a. Pra Peradilan ( Pasal 83 KUHAP)
Pasal 83
1) Terhadap putusan Pra Peradilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam hal Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding.
2) Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan Pra Peradilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke Pengadilan Tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan.
b. Hakim Komisaris (Pasal 124 RUU KUHAP)
Pasal 124
Menetapkan atau putusan Hakim Komisaris tidak dapat diajukan upaya hukum banding dan kasasi.
Pasal 83 ayat (2) KUHAP ditetapkan bahwa apabila hakim Pra Peradilan menetapkan bahwa penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, maka penyidik atau penuntut umum diberikan kesempatan untuk mengajukan banding kepada pengadilan tinggi sesuai dengan daerah hukumnya, dan putusan ini merupakan putusan akhir. Sedangkan putusan yang dijatuhkan oleh Hakim Komisaris telah secara tegas dan jelas dinyatakan tidak dapat diajukan upaya hukum biasa. Adapun mengenai pengajuan upaya hukum luar biasa atas putusan atau penetapan Hakim Komisaris tidak diatur lebih lanjut dalam RUU ini.
Penutup
Adnan Buyung Nasution, salah satu advokat senior Indonesia, menyatakan bahwa konsep Pra Peradilan jauh lebih baik daripada konsep Hakim Komisaris, dengan alasan Hakim Komisaris dianggap lebih bersifat administratif, tertutup, dan tergantung pada Hakim Komisaris yang bersangkutan saja, sehingga tidak ada pengawasan dari partisipasi publik, sedangkan Pra Peradilan bersifat terbuka dan disidangkan. (Newsletter KHN, April 2002).
Satu kritik lagi, bahwa kewenangan Hakim Komisaris yang sangat luas dapat menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan, hal ini adalah sebuah keniscayaan karena seluruh kewenangan tersebut berada di tangan seorang hakim.
Bagaimanapun, terdapat kelebihan dan kekuarangan dalam masing-masing lembaga, baik itu pra peradilan maupun Hakim Komisaris. Alangkah baiknya jika kekurangan dan kelebihan tersebut dapat dipadukan secara serasi, sehingga terwujud lembaga pra peradilan yang disempurnakan dengan tambahan beberapa kewenangan dan keistimewaan dari Hakim komisaris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar