Salah satu asas peradilan adalah Hakim tidak boleh menolak setiap perkara yang diajukan kepadanya, apapun perkaranya, dan apapun yang dituntut oleh para pihak berperkara. Untuk memutuskan perkara tersebut, maka Hakim mutlak dituntut untuk mencari kebenaran dan kenyataan dari perkara yang diajukan kepadanya. Salah satu proses beracara yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan itu adalah pembuktian. Pembuktian bertujuan untuk mendapatkan kebenaran suatu peristiwa atau hak yang diajukan kepada Hakim.
Dalam hukum perdata, kebenaran yang dicari oleh hakim adalah kebenaran formal, sedangkan dalam hukum pidana, kebenaran yang dicari oleh hakim adalah kebenaran materiil. Dalam praktek peradilan, Sebenarnya seorang hakim dituntut mencari kebenaran materiil terhadap perkara yang sedang diperiksanya, karena tujuan pembuktian itu adalah meyakinkan hakim atau memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa peristiwa tertentu, sehingga Hakim dalam mengambil keputusan berdasarkan kepada pembuktian tersebut. (Abdul Manan, 2008:228)
Kebenaran yang formal yang dicari oleh hakim dalam arti bahwa hakim tidak boleh melampuai batas-batas yang diajukan oleh pihak berperkara. Intinya, kebenaran formal dan materiil perkara harus dicari, demi terpenuhinya social justice dan legal justice.
Jika ditarik kepada ajaran agama, yang kebetulan banyak dipegang dalam perkara perdata agama, asas pembuktian ini bersesuaian dengan Ayat Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 6 dan hadist nabi: نحن نحكم بالظواهر والله يتولى السرائر
Artinya:”Kami memutuskan perkara dengan apa yang terbukti, Allah yang menguasai apa yang masih tertutup”
Pengertian Pembuktian
Menurut M. Yahya Harahap (1991:01), dalam pengertian yang luas, pembuktian adalah kemampuan Penggugat atau Tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa yang didalilkan atau dibantahkan dalam hubungan hukum yang diperkarakan. Sedangkan dalam arti sempit, pembuktian hanya diperlukan sepanjang mengenai hal-hal yang dibantah atau hal yang masih disengketakan atau hanya sepanjang yang menjadi perselisihan di antara pihak-pihak yang berperkara.
Menurut R. Subekti (1978:5), yang dimaksud dengan pembuktian adalah suatu daya upaya para pihak yang beperkara untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dail yang dikemukakannya di dalam suatu perkara yang sedang dipersengkatakan dimuka pengadilan, atau yang diperiksa oleh hakim.
Semua alat bukti yang disampaikan oleh salah satu pihak yang berperkara harus diuji/dikonfrontir oleh pihak lawan. Hakim juga harus mempertimbangkan:
1. Syarat formil alat bukti,
2. Syarat materiil alat bukti, dan
3. Kekuatan hukum alat bukti
Peristiwa yang harus dibuktikan di muka sidang harus memenuhi syarat2 berikut:
1. Peristiwa atau kejadian tersebut harua merupakan peristiwa atau kejadian yang disengketakan, sebab pembuktian merupakan cara untuk menyelesaikan sengketa.
2. Peristiwa atau kejadian tersebut harus dapat diukur, terikat dengan ruang waktu (logis).
3. Peristiwa atau kejadian tersebut harus berkaitan dengan hak yang disengketakan.
4. Peristiwa atau kejadian itu efektif untuk dibuktikan.
5. Peristiwa atau kejadian tersebut tidak dilarang oleh hukum dan kesusilaan. (H. Taufiq SH, 1995:3)
Tujuan dan Fungsi Pembuktian
Acara pembuktian dalam proses peradilan mempunyai tujuan:
1. Memperoleh kepastian secara hukum bahwa suatu peristiwa atau fakta yg dijadikan fietelijk gronden dlm posita yang diajukan itu benar2 terjadi
2. Memperoleh kebenaran ttg data obyek sengketa (perkara), guna menjadi dasar bagi hakim dalam menyusun pertimbangan dan putusan yang benar dan adil
Adapun fungsi pembuktian:
1. Memperoleh kebenaran hukum obyek sengketa yg berupa “kepastian hukum”
2. Memperoleh kebenaran data obyek sengketa, baik “data fisik” maupun “data yuridis”
3. Melindungi “hak-hak perdata” para pihak utk terwujudnya kedamaian
4. Menjamin proses peradilan agar berjalan secara “tertib” dan “adil”
5. Menjamin “obyektifitas proses peradilan”
6. Menghindari putusan yg “unprofesional”. (Mukti Arto)
Apabila telah dapat diketahui kapan, dimana, dan bagaimana peristiwa/fakta itu terjadi melalui alat-alat bukti yang sah dan berdasarkan hukum pembuktian, maka untuk selanjutnya yang berwenang menilai alat-alat bukti, kekuatan pembuktiannya dan kesimpulan hasil pembuktian adalah hakim sesuai hukum pembuktian.
Urgensi Pembuktian
Karena tujuan pembuktian adalah untuk memberikan kepastian kepada Hakim tentang adanya peristiwa tertentu, maka yang harus diktikan adalah peristiwa atau kejadian yang dikemukakan oleh para pihak dalam hal sesuatu yang belum jelas atau yang menjadi sengketa. Adapun tentang hukumnya tidak perlu dibuktikan, karena hakimlah yang akan menetapkan hukumnya, karena hakim dianggap tahu hukum (ius curia novit) yang secara ex officio dianggap melekat kepada Hakim tersebut (178 (1) HIR/189 (1) R.Bg).
Beban Pembuktian
Prof. DR. Sudikno Mertokusumo, SH (1988:11) menjelaskan bahwa ada beberapa teori tentang beban pembuktian dalam ilmu hukum:
1. Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloat affirmed) à siapa yang mengajukan suatu hal maka ia harus membuktikannya, bukan apda pihak yang mengingkari atau yang menyangkal dalil yang diajukan oleh orang yang mengajukan suatu hal itu.
2. Teori hukum subyektif à Siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai suatu hak maka ia harus membuktikannya tentang adanya hak itu. Penggugat berkewajiban membuktikan dalil gugatannya, dan Tergugat wajib membuktikan dalil bantahannya. (163 HIR/283 R.Bg dan 1865 BW)
3. Teori hukum obyektif à Mengajukan gugatan atau tuntutan hak ke pengadilan berarti meminta kepada Hakim agar menerapkan ketentuan undang-undang hukum obyektif kepada peristiwa yang diajukan.
4. Teori hukum publik à Kebenaran suatu peristiwa terhadap suatu gugatan yang diajukan oleh Penggugat dilaksanakan berdasarkan kepentingan publik.
5. Teori hukum acara à Kedudukan hukum yang sama-sama dari pihak-pihak yang berperkara di muka Majelis Hakim. Pembebanan pembuktian adalah sama diantara para pihak (audi et alteram partem).
Fakta yang menurut hukum harus dibuktikan meskipun tidak disengketakan:
1. Fakta yg berkaitan dengan kepastian hukum
2. Fakta yg dijadikan alasan cerai, itsbat nikah dan pembatalan nikah (Pasal 27 ayat (4) PP Nomor 9 Tahun 1975)
3. Obyek perkara yg memerlukan eksekusi
Adapun Fakta yang menurut hukum yang tidak perlu dibuktikan:
1. Dalam hal dijatuhkan putusan verstek, kecuali dlm perkara perceraian, itsbat nikah dan pembatalan nikah
2. Dalam hal tergugat mengakui dalil-dalil gugat penggugat
3. Dalam hal telah dilakukan sumpah decisoir atau sumpah li’an
4. Dalam hal bantahan pihak lawan kurang cukup atau referte (mis: dengan perkataan “Saya terserah pak Hakim saja”).
5. Dalam hal apa yang dikenal sebagai peristiwa notoir feiten (peristiwa yang diketahui umum, mis: Api itu panas, Es itu dingin (Yahya Harahap 1991:3)
6. Dalam hal yang termasuk dalam pengetahuan tentang pengalaman
7. Dalam hal peristiwa yang terjadi di persidangan/pengetahuan Hakim.
8. Dalam hal yang bersifat negatif
Barang siapa yang mengatakan ia mempunyai hak, atau menyebutkan suatu perbuatan/ peristiwa untuk menguatkan haknya atau untuk membantah hak orang lain, maka ia harus membuktikan adanya hak atau perbuatan/peristiwa itu, dengan kata lain:
1. Penggugat wajib mengajukan bukti ttg kebenaran dalil2nya dalam posita, ia wajib membuktikan bahwa ia mempunyai hak, atau membuktikan peristiwa yg menjadi dasar adanya hak, jika tidak dapat membuktikan maka ia dikalahkan dlm perkara.
2. Tergugat wajib membuktikan dalil bantahannya guna membantah hak-hak penggugat, atau melumpuhkan dalil2 atau bukti2 dari penggugat, jika tidak dapat membuktikan maka ia dikalahkan dlm perkara.
Fungsi hakim dalam sidang pembuktian
1. Memerintahkan/mempersilahkan pihak yg berkompeten mengajukan alat-alat bukti
2. Memeriksa syarat-syarat administratif, syarat formil dan materiil isi alat bukti
3. Mengatur jalannya sidang pembuktian
4. Mengorek isi alat bukti
5. Mengkonfrontir alat bukti kepada lawan
6. Menilai dan menyimpulkan pembuktian
Sikap hakim perdata dlm sidang pemeriksaan
1. Hakim bersikap menunggu, yakni menunggu diajukannya perkara. Hakim tdk mencari-cari perkara
2. Hakim bersikap pasif dalam menentukan ruang lingkup perkara. Ruang lingkup perkara menjadi hak para pihak yang dituangkan dalam petitum, kecuali UU menentukan lain.
3. Hakim bersikap aktif memimpin persidangan dan membantu para pihak utk tercapainya peradilan yg sederhana, cepat dan biaya ringan dgn memberi penjelasan tentang:
Macam-macam alat bukti
1. Alat bukti surat (alat bukti tertulis)
a. a. Akta Otentik (165 HIR, 285 R.Bg, 1868 BW)
Akta otentik mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian:
1) Pembuktian formal, bahwa para pihak mereka sudah melaksanakan apa yang tertulis dalam akta tersebut.
2) Pembuktian materiil, bahwa peristiwa yang tertulis dalam akta tersebut telah terjadi.
3) Pembuktian mengikat, kepada kedua belah pihak.
Akta Otentik harus memenuhi unsur: Dibuat dibuat oleh atau dihadapan pejabat resmi/berwenang, akta tersebut sengaja dibuat untuk surat bukti, bersifat partai, atas permintaan partai, mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat. Dilihat dari unsur2nya, maka ada dua jenis Akta Otentik yang dikenal: Akta pihak dan Akta pejabat
Akta Otentik memiliki kekuatan bukti sempurna dan telah cukup menjadi bukti tanpa membutuhkan alat bukti lain. Hakim terikat dengan alat bukti tersebut, kecuali jika dapat dibuktikan bahwa akta palsu, dengan kata lain alat bukti ini hanya dapat dilumpuhkan dengan alat bukti sebaliknya.
b. b. Akta Bawah Tangan
Kekuatan pembuktian Akta di bawah Tangan jika diakui tanda tangannya oleh pihak2 maka ia berkuatan hukum “sempurna”, akan tetapi jika tidak diakui tanda-tangannya, maka tidak berkekuatan hukum. Adapun jika diakui tandatangannya tetapi tidak diakui isinya, maka harus dibuktikan adanya proses yang melawan hukum dalam pembentukan akta tersebut, apabila terbukti ada proses yg melawan hukum dan merugikan para pihak maka akta menjadi tidak berkekuatan hukum, dan sebaliknya.
Salinan, turunan dan petikan resmi merupakan akta otentik, berbeda hal dengan fotocopy yang bukan merupakan akta resmi dan tidak dapat dijadikan alat bukti secara mandiri, kecuali jika ditunjukkan dan telah dicocokkan dengan aslinya. Fotokopi & surat-surat lain yg bukan akta bukan merupakan alat bukti melainkan hanya sbg petunjuk
c. c. Surat Sepihak
Surat sepihak adalah surat pengakuan yang berisi pernyataan akan kewajiban sepihak dari yang membuat surat bahwa dia akan membayar sejumlah uang atau akan menyerahkan sesuatu atau akan melakukan sesuatu kepada seseorang tertentu (Pasal 1875 KUHPer dan Pasal 291 R.Bg).
Jika akta sepihak tanda tangan dan tulisan dipungkiri atau disangkal oleh pihak lawan, maka nilai kekuatan pembuktian sama dengan bukti permulaan. Jika dijadikan alat bukti maka harus ditambah dengan bukti lain.
d. d. Surat lain non akta (mis: catatan harian, surat biasa, dll).
Untuk kekuatan pembuktian surat non akta ini (Pasal 294 ayat (2) R.Bg dan Pasal 1881 ayat (2) KUHPer) kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada Hakim.
2. Alat bukti saksi
Alat bukti saksi harus memenuhi syarat formil sebagaimana tercantum dalam Pasal 169-172 HIR dan Pasal 306-309 R.Bg. Keluarga dan orang yang dekat dengan suami istri sebagai saksi atas suatu peristiwa rumah tangga atau hubungan keluarga, harus disumpah. Keterangan saksi harus memenuhi syarat materiil (Pasal 171-172 HIR/Pasal 308-309 R.Bg).
Terkadang ditemui saksi yang memberikan kesaksian dari apa yang tidak dia dengar/alami langsung (testimonium de auditu), kesaksian seperti ini tidak mempunyai kekuatan pembuktian dan hanya bernilai sebagai petunjuk.
Sedangkan apabila hanya ada satu saksi, sedangkan saksi yang diperlukan dalam perkara perdata adalah dua orang, maka satu saksi bukanlah saksi (Unus testis nullus testis) dan masih harus dikuatkan dengan bukti lain (mis: Sumpah Supletoir)
3. Alat bukti persangkaan
Persangkaan dibedakan menjadi dua: persangkaan UU dan persangkaan hakim
Persangkaan hakim merupakan penalaran induktif hakim, yakni berdasarkan fakta2 yg telah terbukti, krn satu sama lain saling berkaitan, bersesuaian dan saksama mk dpt disimpulkan adanya fakta baru sbgmn dimaksud dlm posita
Persangkaan hakim dapat dipakai apabila berdasarkan fakta-fakta yg telah terbukti, minimal dua fakta yg sudah terbukti dan fakta tersebut memiliki akibat yang serupa. Persangkaan harus bersifat penting, saksama, tertentu dan ada hubungan satu sama lain, dan persangkaan ini hanya dpt dilakukan dlm hal yang UU membolehkan pembuktian dengan saksi
4. Alat bukti sumpah
Macam-macam sumpah yang dikenal dalam hukum acara perdata adalah:
a. a. Sumpah suppletoir: melengkapi alat bukti yang sudah ada agar memenuhi syarat.
- Sumpah decisoir: pemutus sengketa
- Sumpah li’an: dlm perkara tuduhan zina atau pengingkaran atas dasar tuduhan zina
- Sumpah penaksir: sumpah penggugat tentang nilai ganti rugi obyek sengketa
- Sumpah istidhar: untuk meneguhkan dalil2 gugat yang tidak dibantah karena tergugat ghaib
5. Alat bukti pengakuan
Pengakuan terbagi menjadi beberapa macam:
a. a. Pengakuan murni di depan sidang
- Pengakuan dengan kualifikasi
- Pengakuan dengan klausula
- Pengakuan tertulis
- Pengakuan lewat kuasa hukum
- Pengakuan lisan di luar sidang
- Pengakuan dlm perkara perceraian
6. Pemeriksaan setempat
Pemeriksaan setempat dilakukan dalam perkara perdata yang mempunyai obyek sengketa. Pemeriksaan setempat dilakukan untuk memastikan kebenaran data fisik obyek sengketa yg tdk mungkin diajukan di muka sidang. Pemeriksaan ini dapat dilakukan atas permintaan penggugat, tergugat, atau atas inisiatif hakim dan dibuat berita acara pemeriksaan yg nantinya harus dibacakan di dlm sidang sebagai bagian dari persidangan. Pemeriksaan setempat mempunyai nilai pembuktian sempurna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar