Ide agar koruptor diperlakukan seperti teroris, disepakati negara-negara peserta konferensi internasional antisuap di dunia bisnis internasional. Berbagai kalangan setuju perlu ada tindakan keras agar pelaku korupsi benar-benar jera.
"Memang tidak berarti koruptor sama dengan teroris. Persamaannya dalam hal korupsi ini kan bentuk merusak suatu bangsa dan negara. Kalau demikian, ini bentuk teror juga. Kalau teroris meneror dengan bom, kalau koruptor ini di bidang
pembangunan. Ini bisa merusak tatanan perekonomian dunia," kata pengamat hukum pidana, Prof Bara Nawawi Arief.
pembangunan. Ini bisa merusak tatanan perekonomian dunia," kata pengamat hukum pidana, Prof Bara Nawawi Arief.
Berikut ini wawancara detikcom dengan staf pengajar Universitas Diponegoro Semarang, Selasa (10/5/2011):
Sejumlah negara sepakat koruptor diperlakukan seperti teroris. Bagaimana pendapat Anda?
Ini kebijaksanaan pemerintah atau negara dalam melihat apakah masalah itu sangat membahayakan dan merugikan. Korupsi adalah masalah dunia, karena itu wajar jika ada kesepakatan yang sifatnya internasional semacam ini. Kalau negara lain mau melarang koruptor masuk ke negaranya, itu memang kebijakan negara itu. Kalau Indonesia, sepanjang mengetahui latar belakangnya dan sifatnya untuk pencegahan, juga bisa saja dilakukan. Ini memang lebih ke pencegahan, bukan penindakan karena tidak ada sanksi.
Kesepakatan yang layak didukung?
Kalau itu bagian kebijakan publik, bisa-bisa saja. Kalau level internasional memberantas korupsi saja ada United Nations Convention against Corruption (UNCAC). Kalau sudah jadi kesepakatan, bisa saja.
Anda yakin ini adalah pencegahan korupsi yang ampuh?
Ampuh atau tidak, kita harus lihat kondisi di lapangan. Dalam hal ini dilihat juga, apakah ada syarat tambahannya. Kalau itu merupakan langkah semacam perlakuan terhadap kejahatan tertentu bisa saja direalisasikan.
Jadi nanti dalam praktik, ada ketentuan apa saja. Mungkin harus benar-benar diatur kalau yang tidak boleh masuk ke suatu negara adalah seorang terpidana korupsi alias ada keputusan dari negara asal. Harus ada informasi yang jelas. Sedangkan sebaliknya, kalau itu di Indonesia maka itu terkait pencekalan, dan itu bisa diatur.
Jadi nanti dalam praktik, ada ketentuan apa saja. Mungkin harus benar-benar diatur kalau yang tidak boleh masuk ke suatu negara adalah seorang terpidana korupsi alias ada keputusan dari negara asal. Harus ada informasi yang jelas. Sedangkan sebaliknya, kalau itu di Indonesia maka itu terkait pencekalan, dan itu bisa diatur.
Menurut catatan Anda, sudah adakah negara lain yang menerapkan hal semacam ini?
Saya kurang tahu pasti. Namun sekali lagi, ini wajar dilakukan karena korupsi dianggap kejahatan internasional yang berpotensi mengganggu perekonomian dunia dan kestabilan negara.
Anda setuju jika koruptor disamakan dengan teroris?
Kalau perlakuan disamakan (koruptor dan teroris) demi pengamanan dengan pertimbangan perlindungan masyarakat bisa saja. Kalau dalam arti lebih luas dilakukan untuk pembangunan bangsa, maka hal ini wajar.
Memang tidak berarti koruptor sama dengan teroris. Samanya dalam hal merusak suatu bangsa dan negara. Kalau demikian, ini bentuk teror juga. Kalau teroris meneror dengan bom, kalau koruptor ini di bidang pembangunan. Ini bisa merusak tatanan perekonomian dunia.
Jika semakin dipinggirkan akan membuat orang semakin berpikir ulang untuk korupsi?
Itu dampak. Akibat ini tergantung pada yang bersangkutan. Banyak faktor untuk jera dan tidak.
Bagaimana membuat seseorang jera korupsi? Dengan hukuman seberat-beratnya?
Ini sepele-sepele saja. Misalnya seseorang tidak usah dijatuhi pidana berat, seperti seumur hidup dan mati. Menurut saya, untuk kasus seperti penyuapan itu kan hukumannya sekitar 5 tahun, nah si pelaku ini tidak hanya berada di dalam penjara saja. Bisa dilakukan, beberapa hari sekali dibawa keluar ke publik sambil dikasih label koruptor.
Jadi setiap orang yang lewat ini bisa melihat. Mungkin ada masyarakat yang mencibir dan mencaci maki sambil bilang, 'oh ini tho koruptor yang sudah mengambil uang rakyat'. Tampilkan saja 5-10 menit di depan publik. Ini tentu akan membuat mereka malu. Mereka yang dulunya mungkin pejabat kemudian mendapat perlakuan seperti itu Tentu ini masih dalam batas-batas yang manusiawi, jangan sampai mendapat penyiksaan fisik dari publik.
Atau bisa saja, disuruh nyapu jalanan dan membersihkan sampah di sungai. Ini hukuman yang ringan, tapi berat bagi yang menanggung. Hanya masalahnya, bentuk sanksi seperti itu tidak menjadi keleluasaan hakim. Bentuk vonis yang bisa dipilih hakim hanya penjara atau denda. Kalau cuma dipenjara saja enak koruptornya, malah dapat makan lagi.
Atau bisa saja, disuruh nyapu jalanan dan membersihkan sampah di sungai. Ini hukuman yang ringan, tapi berat bagi yang menanggung. Hanya masalahnya, bentuk sanksi seperti itu tidak menjadi keleluasaan hakim. Bentuk vonis yang bisa dipilih hakim hanya penjara atau denda. Kalau cuma dipenjara saja enak koruptornya, malah dapat makan lagi.
Anda yakin memperlakukan koruptor bisa menjadi terobosan?
Hal-hal yang sepele ini dalam hal-hal tertentu bisa efektif karena mereka jadi malu. Saya pernah baca di internet ada seseorang yang melihat pidana cambuk dan mengatakan 'lebih baik saya dicambuk 6 kali sebagai hukuman, karena setelah itu selesai hukumannya'. Efektivitas sanksi memang beda-beda, tapi kalau seperti koruptor yang dipamerkan ke publik itu bisa efektif saya kira.
Sebenarnya, kalau soal kesepakatan tidak boleh masuk ke negara lain itu. Ini juga ada pengaruh bagi dia (koruptor). Misal, dia ada bisnis di negara lain atau ingin membawa lari hartanya, meski dia sudah bebas, namun ini bisa dicegah. Kesepakatan ini bisa mencegah secara fisik seseorang tidak bisa masuk suatu negara tetapi juga uang dan barang yang dibawanya.
Hukuman memamerkan koruptor ke publik ini apakah sudah bisa dilihat realisasinya di negara lain?
Saya kira jangan selalu melihat ke negara lain. Kalau untuk komparasi, bisa melihat ke negara lain. Tapi jika melihat efek psikologisnya, maka ini dimungkinkan. Pernah ada di satu negara, bagi orang yang melakukan tindak pidana hukumannya adalah dengan mencabut surat izin mengemudi (SIM). Hal ini dianggap efektif karena SIM penting dipakai untuk mengendarai kendaraan dan bisa dijadikan jaminan mengajukan kredit.
Tapi itu dia, pilihan mengambil sanksi itu tidak diletakkan pada hakim, tetapi diletakkan pada uu. Jadi kalau mau memasukkan pilihan lainnya, maka diserahkan pada pembuat uu. Bukankah hakim lebih tahu apa yang bisa membuat seseorang jera, jadi kenapa tidak diberi kebebasan untuk memilih dalam menjatuhkan sanksi.
(Sumber: http://www.detiknews.com/read/2011/05/10/191806/1636723/158/prof-barda-nawawi-korupsi-juga-bentuk-teror-pelaku-harus-dibuat-jera)
(Sumber: http://www.detiknews.com/read/2011/05/10/191806/1636723/158/prof-barda-nawawi-korupsi-juga-bentuk-teror-pelaku-harus-dibuat-jera)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar