Kalimat ex aequo et bono adalah kalimat yang umum terdapat dalam petita subsidair dalam sebuah surat gugatan/permohonan, dan biasanya digabung dengan kalimat “kalau majelis hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)”. M Yahya Harahap (2008), memasukkan mohon keadilan ex aequo et bono sebagai petitum subsidair, Tuntutan subsidair diajukan sebagai antisipasi jika seandainya tuntutan primair tidak dikabulkan hakim, oleh karenanya kalimat ini karakternya tidak mutlak, bersifat alternatif, dan sangat tergantung pada kebebasan hakim.
Ex aequo et bono berasal dari bahasa Latin yang berarti “Menurut Keadilan”. Di Wikipedia disebutkan bahwa ex aequo et bono adalah "according to the right and good" or "from equity and conscience". Sesuatu yang diputuskan menurut ex aequo et bono adalah sesuatu yang diputuskan “by principles of what is fair and just”.
Karena Ex aequo et bono merupakan keputusan subsidair, bukan primair, maka dalam putusan ex aequo et bono sekaligus merupakan putusan ultra petita. Ultra Petita adalah penjatuhan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau meluluskan lebih dari pada yang diminta, dengan kata lain ultra petita adalah penjatuhan putusan oleh hakim atas perkara yang tidak dituntut atau mememutus melebihi dari pada yang diminta.
Prof. Bagir Manan menyatakan bahwa Putusan Ultra Petita boleh dilakukan, dengan syarat dalam petitum subsidair harus tercantum permohonan Ex aequo et bono atau “Jika Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (atau kalimat yang senada dengan itu)”.
Ultra petita diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR dan Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg yang melarang seorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut (petitum). Ultra petita dilarang, sehingga putusan judec factie yang dianggap melanggar atau keluar dari norma dan asas kepatutan atau kebenaran dengan alasan ”salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku” dapat diupayakan kasasi (Pasal 30 UU MA) oleh para pihak, dan dasar upaya peninjauan kembali (Pasal 67 dan Pasal 74 ayat (1) UU MA). Di dalam hokum perdata berlaku asas hakim bersifat pasif atau hakim ”tidak berbuat apa-apa”, dalam artian ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasanya ditentukan para pihak yang berperkara. Hakim hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya (iudex non ultra petita atau ultra petita non cognoscitur). Hakim hanya menentukan, adakah hal-hal yang diajukan dan dibuktikan para pihak itu dapat membenarkan tuntutan hukum mereka. Ia tidak boleh menambah sendiri hal-hal yang lain, dan tidak boleh memberikan lebih dari yang diminta.
Keputusan hakim pada asasnya memang tidak boleh bersifat ultra petita (melebihi tuntutan penggugat), akan tetapi karena dimungkinkan adanya reformatio in peius (membawa penggugat dalam keadaan yang lebih buruk), maka Hakim dapat memutus Ultra Petita, dan inilah yang menjadi dasar untuk mengeluarkan putusan yang melebihi petitum (Jimly Ash-Shiddiqy). Namun Yahya Harahap memberikan batasan tertentu bahwa putusan Ultra Petita itu tidak boleh sampai berakibat merugikan tergugat dalam melakukan pembelaan kepentingannya.
Mahfud MD mengibaratkan putusan Ultra Petita sebagai “anugrah dan kemurahan dari seorang hakim kepada pihak berperkara”. Jadi putusan Ultra Petita yang berdasarkan kepada Ex aequo et bono benar-benar murni berdasarkan pertimbangan dan kebijaksanaan Judex Factie sebagai penghargaan terhadap suatu kenyataan di depan sidang.
Yurisprudensi No. 140 K/Sip/1971 (tanggal 12 Agustus 1972) dalam perkara Mertowidjojo Cs vs B. Mertodirdjo menyebutkan kaidah: “Putusan hakim yang mengabulkan ex aequo et bono harus masih terkait dalam kerangka petitum primair”. Tidak tepat bila amar putusan atas tuntutan subsidair melebihi hal-hal yang tidak dituntut penggugat dalam petitum primairnya, atau melebihi.
Pengadilan Indonesia tercatat sudah beberapa kali memutus berdasarkan ex aequo et bono. Pada Agustus 2008 silam, majelis hakim PN Jakarta Pusat memutuskan hak pedagang Pasar Tanah Abang untuk mendapatkan prioritas membeli kios atas dasar ex aequo et bono. Atas nama keadilan, majelis menilai para pedagang adalah pemilik sah dari kios yang dibongkar Pemda. Karena itu, pedagang tetap berhak mendapatkan ruko semula.
Sudah banyak contoh tentang putusan-putusan Ex aequo et bono, diantaranya perkara Gugatan rekonvensi Sukri Tabrani Daeng vs PT Pilar Nusanrata, (2345 K/Pdt/2008) yang bahkan berhak atas aset dan rumah yang ia miliki setelah melunasi harta tanah yang telah disepakati sebelumnya, kemudian hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta memutus hak-hak karyawan demi keadilan, juga putusan tentang pengabulan sebagian gugatan Tim Advokasi Korban Ujian Nasional.
JGTFF2PPU25H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar