Pembatalan berasal dari kata batal, yaitu menganggap tidak sah/menganggap tidak pernah ada (Kamus Umum Bahasa Indonesia). Pembatalan perkawinan berarti menganggap perkawinan yang telah dilakukan sebagai peristiwa yang tidak sah atau dianggap tidak pernah ada.
Pasal 22 UU No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa pembatalan
perkawinan dapat dilakukan, bila para pihak tidak memenuhi syarat melangsungkan perkawinan.
perkawinan dapat dilakukan, bila para pihak tidak memenuhi syarat melangsungkan perkawinan.
Syarat melangsungkan perkawinan adalah hal-hal yang harus dipenuhi jika anda akan melangsungkan sebuah perkawinan. Yaitu (Pasal 6 UU No. 1 tahun 1974):
1. Ada persetujuan dari kedua belah pihak
2. Untuk yang belum berumur 21 tahun, harus mendapat ijin dari kedua orang tua. Atau jika salah seorang dari kedua orangtua telah meninggal atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka ijin dapat diperoleh dari orangtua yang masih hidup atau orangtua yang mampu menyatakan kehendaknya.
3. Bila orangtua telah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas.
Bagi yang beragama Islam, dalam Perkawinan harus ada (Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam):
1. Calon Isteri
2. Calon Suami
3. Wali nikah
4. Dua Orang Saksi
5. Ijab dan Kabul
Pihak-pihak Yang Dapat Mengajukan Permohonan Pembatalan Perkawinan
Menurut Pasal 23 UU no. 1 tahun 1974, pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah:
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri;
2. Suami atau istri;
3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
4. Pejabat pengadilan.
Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah:
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri
2. Suami atau isteri
3. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang
4. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67
Alasan Pembatalan Perkawinan
Perkawinan dapat dibatalkan, bila:
1. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum (pasal 27 UU No. 1/1974).
2. Salah satu pihak memalsukan identitas dirinya (pasal 27 UU No. 1/1974). Identitas palsu misalnya tentang status, usia atau agama.
3. Suami/istri yang masih mempunyai ikatan perkawinan melakukan perkawinan tanpa seijin dan sepengetahuan pihak lainnya (pasal 24 UU No. 01 tahun 1974).
4. Perkawinan yg tidak sesuai dengan syarat-syarat perkawinan (pasal 22 UU No. 01 tahun 1974)
Sementara menurut Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan dapat dibatalkan apabila:
1. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
2. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud (hilang);
3. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain;
4. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang No 1 Tahun 1974;
5. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
6. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan;
Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan ke Pengadilan (Pengadilan Agama bagi Muslim dan Pengadilan Negeri bagi Non-Muslim) di dalam daerah hukum di mana perkawinan telah dilangsungkan atau di tempat tinggal pasangan (suami-istri). Atau bisa juga di tempat tinggal salah satu dari pasangan baru tersebut.
Cara Mengajukan Permohonan Pembatalan Perkawinan
1. Para pihak atau Kuasa Hukumnya mendatangi Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi Non Muslim (UU No.7/1989 pasal 73)
2. Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada Ketua Pengadilan (HIR pasal 118 ayat (1)/Rbg pasal 142 ayat (1)), sekaligus membayar panjar biaya perkara kepada Bendaharawan.
3. Pemohon, dan suami (atau beserta istri barunya) sebagai Termohon harus datang menghadiri sidang Pengadilan berdasarkan Surat Panggilan dari Pengadilan, atau dapat juga mewakilkan kepada kuasa hukum yang ditunjuk (UU No.7/1989 pasal 82 ayat (2), PP No. 9/1975 pasal 26, 27 dan 28 Jo HIR pasal 121,124 dan 125).
4. Pemohon dan Termohon secara pribadi atau melalui kuasanya wajib membuktikan kebenaran dari isi (dalil-dalil) permohonan pembatalan perkawinan/tuntutan di muka Sidang Pengadilan berdasarkan alat bukti berupa surat-surat, saksi-saksi, pengakuan salah satu pihak, persangkaan hakim atau sumpah salah satu pihak (HIR pasal 164/Rbg pasal 268). Selanjutnya hakim memeriksa dan memutus perkara tersebut.
5. Pemohon atau Termohon secara pribadi atau masing-masing menerima salinan putusan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap.
6. Pemohon dan Termohon menerima Akta Pembatalan Perkawinan dari Pengadilan
7. Setelah menerima akta pembatalan, sebagai Pemohon anda segera meminta penghapusan pencatatan perkawinan di buku register Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil (KCS).
Batas Waktu Pengajuan
Pembatalan perkawinan tidak dapat dilakukan sewaktu-waktu, akan tetapi harus diajukan dalam waktu tertentu. Apabila pembatalan perkawinan diajukan oleh salah satu pihak suami atau istri, (misalnya karena salah satu pihak memalsukan identitasnya atau karena perkawinan terjadi karena adanya ancaman atau paksaan), pengajuan itu dibatasi hanya dalam waktu enam bulan setelah perkawinan terjadi. Jika waktu enam bulan telah lewat, maka hak untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dianggap gugur (pasal 27 UU No. 1 tahun 1974).
Sedangkan untuk pembatalan perkawinan dengan alasan salah satu pihak menikah lagi tanpa sepengetahuan pihak lain tidak ada batas waktu kadaluarsa pengajuan.
Pemberlakuan Pembatalan Perkawinan
Batalnya perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Keputusan tidak berlaku surut terhadap. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu, dan Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 28 UU No. 1 Tahun 1974).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar