Minggu, 15 Mei 2011

Risalah Sidang Permohonan Judicial Review UU Nomor 17 Tahun 2003 (Perkara No. 28/PUU-IX/2011)

RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 28/PUU-IX/2011
PERIHAL
Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
PEMOHON
- Teguh Satya Bhakti

ACARA
Pemeriksaan Pendahuluan (I)
Jumat, 6 Mei 2011 Pukul 14.04 – 14.36 WIB
Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI,
Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat
SUSUNAN PERSIDANGAN
1) Achmad Sodiki (Ketua)
2) Harjono (Anggota)
3) Anwar Usman (Anggota)
Wiwik Budi Wasito Panitera Pengganti
Pihak yang Hadir:
Pemohon:
- Teguh Satya Bhakti
SIDANG DIBUKA PUKUL 14.04 WIB
1. KETUA: ACHMAD SODIKI
Sidang Perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-IX/2011 dengan ini saya nyatakan dibuka dan terbuka untuk umum.
KETUK PALU 3X
Baik, assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, selamat sejahtera untuk kita semua.
Kami persilakan Saudara Pemohon untuk mengenalkan diri terlebih dahulu.
2. PEMOHON: TEGUH SATYA BHAKTI
Bismillahirahmanirrahim, assalamualaikum wr. wb.
3. KETUA: ACHMAD SODIKI
Waalaikumsalam wr. wb.
4. PEMOHON: TEGUH SATYA BHAKTI
Yang Mulia, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Kami Hormati. Perkenalkan kami Teguh Satya Bhakti, pekerjaan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang, dalam hal ini sebagai Pemohon Prinsipal. Terima kasih.
5. KETUA: ACHMAD SODIKI
Baik, selanjutnya Saudara saya persilakan untuk memaparkan pokok-pokok dari permohonan Saudara. Saya persilakan Saudara Teguh.
6. PEMOHON: TEGUH SATYA BHAKTI
Terima kasih, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi. Pemohon dengan ini mengajukan permohonan pengujian Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang dimuat dalam lembaran negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1986, selanjutnya disebut undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dalam hal ini etentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, ”Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”
Bahwa Pasal Merdeka yang ada di dalam ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, apabila dikaitkan dengan arti merdeka yang ada di dalam Kamus Bahasa Indonesia yang disusun oleh tim penyusun Kamus Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta 2008, halaman 1015 dapat diartikan sebagai bebas dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya atau berdiri sendiri atau tidak terkena atau lepas dari tuntutan atau tidak terikat atau tergantung pada pihak tertentu atau leluasa.
Dengan demikian dapatlah dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan kekuasaan yang merdeka adalah kekuasaan yang bebas berdiri sendiri dan tidak tergantung pada pihak tertentu.
Bahwa selanjutnya, ketentuan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
Bahwa apabila ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dikaitkan dengan pengertian merdeka menurut Kamus Bahasa Indonesia diatas, maka dapat dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan kehakiman yang bebas berdiri sendiri dan tidak tergantung pada pihak tertentu dalam hal organisasi, administrasi, dan finansial.
Bahwa dalam hal finansial, anggaran Mahkamah Agung diatur dalam ketentuan Pasal 81A ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, menyatakan bahwa anggaran Mahkamah Agung dibebankan pada mata anggaran tersendiri dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Jadi secara eksplisit pasal ini menunjukkan bahwa Mahkamah Agung Memiliki otonomi pengelolaan anggaran, meliputi hak kewenangan dan kewajiban dalam pengelolaan anggaran.
Bahwa Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 berbunyi, ”Presiden selaku kepala pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.” Penjelasannya, kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam ayat ini meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Kewenangan yang bersifat umum meliputi penetapan arah kebijakan umum, strategi, dan prioritas dalam pengelolaan APBN, antara lain penetapan pedoman pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBN, penetapan pedoman penyusunan rencana kerja kementerian negara atau lembaga, penetapan gaji dan tunjangannya serta pedoman pengelolaan penerimaan negara.
Kewenangan yang bersifat khusus meliputi, keputusan atau kebijakan teknis yang berkaitan dengan pengelolaan APBN, antara lain keputusan Sidang Kabinet di bidang pengelolaan APBN, keputusan rincian APBN, keputusan dana perimbangan dan penghapusan aset dan piutang negara. Sedangkan ayat (2)-nya menyatakan, ”Kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
a. Dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan.
b. Dikuasakan kepada menteri atau pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran atau pengguna barang kementerian negara, atau lembaga yang dipimpinnya.
c. Diserahkan kepada gubernur, bupati, walikota, selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
d. Tidak termasuk kewenangan di bidang moneter yang meliputi antara lain; mengeluarkan dan mengedarkan uang yang diatur dengan undang-undang.
Bahwa ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) huruf a Undang-Undang Keuangan Negara tersebut, telah mengesampingkan esensi kemandirian kekuasaan kehakiman dalam mengelola anggarannya tersendiri. Hal ini disebabkan karena frasa kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) tersebut, yang mana telah membuka penafsiran bahwa semua pengelolaan anggaran kementerian negara atau lembaga negara, termasuk Mahkamah Agung berada di bawah kekuasaan presiden. Padahal sangat jelas dan nyata dari sudut sistem katatanegaraan maupun ketentuan peraturan perundang-undangan kedudukan Mahkamah Agung, yudikatif merupakan lembaga negara yang berbeda dengan kementerian negara sebagai badan yang berada di bawah presiden atau eksekutif.
Bahwa dengan berlakunya ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Keuangan Negara tersebut, ternyata tidak memberi ruang dan atmosfir yang kondusif bagi independensi anggaran Mahkamah Agung. Hal ini dapat dilihat dari besarnya proporsi kewenangan Pemerintah dalam menentukan pagu anggaran Mahkamah Agung. Wewenang pengelolaan anggaran oleh Pemerintah, baik dalam perencanaan dan penganggaran maupun dalam pembahasannya dengan DPR secara esensial tidak menepatkan Mahkamah Agung secara khusus dalam anggaran pendapatan dan belanja negara, sebagai salah satu lembaga yang menerima anggaran. Selain itu, walaupun demikian baiknya perencanaan yang dibuat oleh Mahkamah Agung, bukan jaminan bahwa anggaran yang dialokasikan untuk Mahkamah Agung akan memadai karena apa yang sudah direncanakan belum tentu akan disetujui oleh Pemerintah dan DPR.
Oleh karenanya dapat dipastikan bahwa minimnya anggaran Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya disebabkan karena penetapan anggaran oleh Pemerintah kepada lembaga yudikatif, dalam hal ini Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya semata-mata hanya berdasarkan asumsi-asumsi kebutuhan Pemerintah, dan hanya berdasarkan itikad baik (good will) dari DPR selaku pemegang kedaulatan di bidang budget, hak background think.
Bahwa asumsi-asumsi Pemerintah terhadap anggaran kekuasaan kehakiman, merupakan mekanisme monopoli pengelolaan anggaran badan-badan peradilan oleh Presiden yang tidak sejalan dengan pelaksanaan fungsi dan kewajiban Mahkamah Agung, sebagaimana yang diamatkan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan.” Hal ini disebakan dengan berlakunya ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Keuangan Negara tersebut, telah menimbulkan ketergantungan Mahkamah Agung pada presiden dalam hal penetapan anggaran Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya.
Ketergantungan ini mengakibatkan minimnya anggaran yang disediakan negara kepada Mahkamah Agung. Hal ini secara langsung berdampak  sistemik pula terhadap anggaran yang diberikan kepada pengadilan-pengadilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, termasuk Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang, tempat Pemohon bertugas. Keadaan ini selanjutnya menyebabkan kerugian bagi Pemohon ketika menjalankan tugas dan fungsinya sebagai seorang hakim.
Bahwa kedudukan hakim diatur dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi, “Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.”
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan (2) juncto Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut, dapat dipahami bahwa kebebasan atau kemerdekaan kekuasaan kehakiman diberikan kepada institusi pelaku kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Agung beserta badan peradilan dibawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Selain itu, ketentuan-ketentuan tersebut juga menunjukkan bahwa Mahkamah Agung sebagai institusi hanya dapat melaksanakan kewenagannya melalui para hakimnya. Dengan demikian, hakim sebagai jabatan untuk dapat bertindak dipersonifikasikan oleh Pemohon sebagai pemangku jabatan. Dan oleh karenanya Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Bahwa dengan demikian berdasarkan uraian di atas, telah nyata terdapat kepentingan langsung Pemohon sebagai seorang hakim terhadap anggaran peradilan dalam hubungan dengan bekerjanya sistem kekuasaan kehakiman, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Bahwa berdasarkan seluruh argumentasi tersebut di atas, maka adalah sangat tepat apabila Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 a quo merupakan pasal yang potensial dikualifikasi melanggar prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka. Dalam hal ini, kedudukan dan fungsi keuangan dari Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya, termasuk juga Mahkamah Konstitusi.
Dengan perumusan pasal yang demikian, maka pasal a quo tidak proposional dan berlebihan, dan dengan sendirinya melanggar Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”
Bahwa apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat dan menanggap Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat dan berlaku. Mohon agar Majelis Hakim Konstitusi dapat memberikan tafsir konstitusional terhadap Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dengan menyatakan konstitusional bersyarat. Diartikan bahwa kewenangan Presiden, selaku kepala Pemerintahan yang memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara, merupakan turunan dari Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 juncto Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang mewajibkan Presiden secara konstitusional untuk memenuhi atau mengalokasikan hak anggaran Mahkamah Agung dalam Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sebagaimana yang diamanatkan oleh ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 81A ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1945 tentang Mahkamah Agung.
Demikian Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia, kami kembalikan.
Terima kasih.
7. KETUA: ACHMAD SODIKI
Ya, baiklah. Jadi, Saudara mengajukan untuk diuji konstitusionalitasnya Pasal 6 ayat (1), ya? Presiden, selaku kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara, sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, gitu ya?
Kemudian yang sebagai alat uji, itu Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, ya, “Kekuasaan merupakan kuasa yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna penegakan hukum.”
Ya di sini, beberapa hal yang…, catatan Majelis, catatan saya ialah Pemohon ini kapasitasnya sebagai warga negara Indonesia yang menduduki jabatan sebagai Hakim yang mendalilkan mengalami kerugian konstitusional. Namun, Pemohon menggunakan batu uji Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang mengatur kekuasaan kehakiman yang dijalankan salah satunya oleh Mahkamah Agung. Maka, jika Pasal 24 ayat (1) 1945 yang dijadikan sebagai batu uji, Pemohon harus lebih meyakinkan kembali bahwa Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 itu mengatur Hak Konstitusional Pemohon.
Ini kan yang diatur kan kekuasaan Kepala Negara, ya. Pasal 2…, eh, ya kekuasaan. Jadi, Pasal 24 itu Mengatur Hak Konstitusional. Di mana itu? Karena kerugian konstitusional itu, hak konstitusional itu berbeda dengan kerugian, karena Kewenangan Konsitusional. Yang diatur Pasal 24 ayat (1) adalah Kewenangan Lembaga yang memegang kekuasaan kehakiman Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi.
Yang kedua, dalam posita Saudara, itu banyak menguraikan Kewenangan Konstitusional yang dimiliki oleh Mahkamah Agung yang tidak diperhatikan di dalam Undang-Undang a quo.
Pemohon tidak jelas menguraikan kerugian Pemohon sebagai perseorangan yang mempunyai hak konstitusional yang dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang itu. Jadi Pasal itu, teksnya itu saja, mana yang menyatakan bahwa Saudara itu dirugikan dari itu?
Yang ketiga, nah, sebaiknya Pemohon itu mengonstruksikan kembali permohonannya, utama tentang legal standing. Apakah batu uji Pasal 24 ayat (1) itu sudah tepat? Kan karena itu akan mengatur tentang…, ya Kewenangan Lembaga, ya. Karena untuk mengajukan permohonan ke Mahkamah dapat dilakukan oleh perorangan warga negara atau juga oleh lembaga negara.
Warga Negara yang mengajukan harus mengalami atau potensial mengalami kerugian, hak konstitusionalnya. Jika kedudukan Pemohon sebagai lembaga negara, maka yang dialami adalah kerugian karena kewenangan konstitusionalnya.
Norma di dalam UUD 1945 yang ada mengatur tentang hak konstitusional warga negara, ada yang mengatur mengenai kewenangan konstitusional suatu lembaga negara. Ini harus dibedakan oleh Pemohon, ya.
Saudara ini, mewakili Mahkamah Agung atau kerugian Saudara sendiri? Itu sebagai Pemohon, sebagai warga negara, ya.
Nah, kemudian yang juga perlu…, apa ini peruraian yang logis begitu, ya. Ini kok Saudara di dalam petitum itu ada frasa yang mengatakan, “Pasal a quo bertentangan dengan Undang-Undang Dasar selama anggaran Mahkamah Agung belum tercantum dalam APBN setiap tahunnya.” Ini maksudnya apa ini, lalu Mahkamah Agung itu mendapat anggaran dari mana itu?
Yang kelima, petitum Pemohon yang meminta dilakukan tafsir konstitusional untuk mengartikan bahwa Presiden selaku kepala pemerintahan yang memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara itu, berkewajiban untuk mengalokasikan anggaran MA dalam Undang-Undang APBN di kemudian hari. Ini yang dimaksud apa ini, di kemudian hari itu…, apakah anggaran MA ini tidak pernah diatur atau ada di dalam APBN? Lalu di mana letak kedudukan Pemohon sebagai Hakim mewakili MA untuk meminta adanya pengaturan anggaran dalam APBN? Ini urut-urutan pikiran yang saya konstruksikan itu begitu, supaya nanti Saudara itu jelas legal standing-nya, kemudian pasal itu juga cocok dengan Saudara yang ingin maksudkan itu, ya. Tidak ada missing link-nya itu, baik pasal yang diuji maupun tolak ukur pasal yang menjadi batu uji, ya. Lalu kok melompatnya kok…, selama anggaran Mahkamah Agung belum tercantum dalam APBN.
Apa Saudara mendapati memang begitu anggaran Mahkamah Agung itu, tidak ada dalam APBN? Ini, ini, ndak usah Saudara jawab.
Nanti bahan saja, supaya nanti Saudara…, dari mana itu, ya. Saya kira itu dulu, ya. Silakan, Pak Dr. Harjono, Bapak ada? Silakan…, ya, boleh.
Silakan, Pak Harjono.
8. HAKIM ANGGOTA: HARJONO
Baik, Saudara Pemohon, ya? Ini baru pertama kali ini, baru bersidang di Mahkamah Konstitusi? Dan saya kira tidak terlalu sering dan barangkali ini sekali ini saja karena bukan pengacara, kan begitu. Kalau pengacara bisa berulang kali beracara di sini.
Persidangan Pendahuluan ini maksudnya adalah untuk memberikan nasihat kepada Anda. Dan nasihat itu dimaksudkan untuk supaya Anda menyempurnakan permohonan ini. Namun demikian, nasihat itu tidak mengikat. Artinya, kalau kemudian Anda masih bersikukuh pada permohonan yang sudah Anda sampaikan, itu hak Anda. Nanti kemudian Mahkamah akan memeriksa apa yang tidak Anda ubah itu, kalau, kalau memang Anda tetap mempertahankan permohonan yang sudah disusun.
Dalam rangka penasihatan inilah, tiga Hakim ini akan memberikan pandangannya untuk menyempurnakan apa yang sudah Anda sampaikan kepada Kepaniteraan.
Pertama, ada persoalan…, yang persoalan itu tidak dikatakan kemudian menyebabkan itu…, permohonan Anda kemudian ditolak di awal, itu tidak. Tapi, perlu suatu usaha bagi Anda untuk meyakinkan bahwa kemudian itu…, apa…, bernilai untuk diperiksa dan bernilai untuk diperhatikan pendapat Anda.
Persoalannya adalah…, yang tadi yang dimasalahkan yang sebagai batu uji itu Pasal 24. Pasal 24 itu bunyinya sebagaimana dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar, “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menegakkan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”
Kalau dilihat Pasal 24 itu, maka kemerdekaan itu…, kekuasaan yang merdeka itu adanya pada kekuasaan kehakiman, ya kan?
Nah, Pasal 24 ayat (2)-nya, “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung…,” bla, bla, bla, itu. Berarti bisa dijelaskan bahwa kekuasaan yang merdeka itu ada pada Mahkamah Agung, badan peradilan di bawahnya, dan kemudian pada Mahkamah Konstitusi, ya.
Merdeka itu kan terikat di sana. Lalu Anda akan mengkonstruksi hukum yang sebetulnya Anda tadi sudah berusaha untuk mengkonstruksi hukum itu. Bagaimana sebuah kekuasaan, sebuah kekuasaan kehakiman yang merdeka itu, yang kalau kita bicara lembaga negara, maka, itu sebetulnya kewenangannya…, lalu kok jatuhnya…, Anda. Yang Anda juga sebagai hakim yang Anda sebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh hakim, itu Anda mengkonstruksi bahwa hakim mestinya juga merdeka. Itu yang saya katakan Anda sudah berusaha untuk melink-kan antara Pasal 24 dengan kedudukan Anda. Hanya pada saat mengkonstruksi legal standing, Anda memposisikan sebagai perorangan warga negara indonesia. Padahal yang di sini yang diberikan kemerdekaan itu kekuasan kehakiman, bukan perorangan warga negara indonesia. Kalau toh akan mengkaitkan dengan itu, kedudukan Anda sebenarnya bukan sebagai perorangan, tetapi sebagai Hakim, ya. Baru sebagai Hakim, Anda bisa mencantolkan dengan ketentuan Pasal 24. Ini baru konstruksi mengenai hubungan antara Pasal 24 dengan posisi Anda sebagai Pemohon. Nanti Anda uraikan sendiri dengan konstruksikonstruksi yang masuk akal, yang kemudian nanti Anda bisa meyakinkan Hakim Mahkamah Konstitusi bahwa posisi Anda sebagai Hakim itu ada kaitannya langsung dengan Pasal 24, ini baru persoalan mengenai kedudukan hukum Saudara…, legal standing.
Yang lain saya sudah apresiasi, Anda sudah bisa mengkonstruksi apa yang dimaui oleh hukum Acara dan hukum Mahkamah Konstitusi untuk penyusunan sebuah permohonan pengujian undang-undang.
Hanya saja apa yang Anda baca tadi dengan apa yang ada di sini, agaknya agak beda itu. Beda enggak itu tadi? Saya tadi enggak, enggak begitu…, tapi kira-kira kok ada perbedaan terutama di dalam petitum angka 4 itu?
9. PEMOHON: TEGUH SATYA BHAKTI
Ya, Pak. Itu di situ ada berbeda.
10. HAKIM ANGGOTA: HARJONO
Berbeda kan?
11. PEMOHON: TEGUH SATYA BHAKTI
Ya, Pak.
12. HAKIM ANGGOTA: HARJONO
Beda itu berarti Anda nanti pasti harus memperbaiki ini kan?
13. PEMOHON: TEGUH SATYA BHAKTI
Ya, Pak.
14. HAKIM ANGGOTA: HARJONO
Itu beda. Coba nanti bedanya itu bagaimana Anda rumuskan kembali. Cuma yang menggangu adalah petitum angka 4 itu bunyinya, “Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat.” Itu biasanya bukan satu petitum, itu baru tambahan itu. Itu kan permohonan untuk putusan ex aquo et bono itu, “Apabila” itu ya? Padahal di sini Anda adalah mintanya…, adalah minta conditionally constitutional. Conditionally constitutional itu kenapa tidak dipositifkan saja? Bahwa ketentuan pasal sekian adalah konstitusional…, sepanjang itu ditafsirkan. Nah, itu biasanya demikian rumusannya.
Jadi angka 4 itu jangan mulai “Apabila” 4 itu dipositifkan saja bahwa Anda memohon Mahkamah Konstitusi melakukan tafsir conditional, sehingga pasal yang Anda masalahkan itu bunyinya bla, bla, bla, gitu. Baru kemudian nanti setelah angka 5 itu, “Apabila Mahkamah Konstitusi yaitu”, permintaan biasa mengenai putusan ex aequo et bono itu, ya? Itu penyusunan.
Kemudian, pada petitum angka 2 itu Anda mengatakan seperti ini, “Selama anggaran Mahkamah Agung belum tercantum dalam APBN setiap tahunnya.” Kalau itu bunyinya seperti itu yang jadi persoalannya adalah persoalan Anda itu di Undang-undang Keuangan Nasional ya, undang-undang tentang apa? KN itu? Keuangan Negara ataukah masalahnya di APBN? APBN itu juga undang-undang, ya kan? Undang-undang APBN. Jangan-jangan masalahnya bukan di Undang-undang Keuangan Negara, tapi di APBN. Begitu APBN itu ada mencantumkan anggaran Mahkamah Agung, itu enggak jadi persoalan APBN-nya. Ya, kan?
Coba dipikir kembali, apa masalahnya memang di Undang-undang Keuangan Negara atau justru di Undang-undang APBN-nya? Kalau melihat konstruksinya seperti itu. Nanti Anda pikirkan dulu, tidak berarti bahwa ini salah, tergantung bagaimana Anda memberi alasan bahwa yang tepat memang di Undang-undang Keuangan Negara. Tapi kalau saya tanggap ini, yang masalah adalah di Undang-undang APBN. Anda bisa pilih, mungkin dalam memperbaiki, pindah yang digugat bukan masalah Undang-undang Keuangan Negara, tetapi APBN-nya. Itu bisa saja, seperti itu.
Yang berikutnya, angka 3 itu begini, “Selama anggaran Mahkamah Agung belum dicantumkan.” Yang persoalan adalah kata “dicantumkan”, dicantumkan itu ada nilai rupiah dialokasikan atau dicantumkan itu pada kata-kata “Ini anggaran Mahkamah Agung” ya, kan? Di APBN itu bagaimana? Kalau sudah ada nilai rupiahnya itu tidak masalah. Apa itu yang Anda maksud? Meskipun ada nilai rupiahnya karena belum ada jelas dikatakan anggaran Mahkamah Agung, menurut Anda itu belum terpenuhi permohonan Anda. Jadi dicantumkan itu antara dua hal, nilai rupiahnya kah atau kata-kata yang memuat anggaran Mahkamah Agung?
Kemudian, tadi Anda menyebutkan bahwa ketergantungan MA kepada Presiden. Anda memasalahkan ketergantungan MA kepada Presiden, itu saya kira nanti harus dibedakan dengan persoalan dicantumkannya anggaran Mahkamah Agung di dalam APBN. Karena kalau Anda itu tidak setuju bahwa anggaran MA itu ditentukan oleh Presiden, maka yang Anda tuntut bukan hanya dicantumkan, saya kira.
Tapi Mahkamah Agung diberi hak untuk menentukan sendiri anggarannya, ya. Kalau dicantumkan itu tetap saja pada kekuasaan Presiden, apakah itu tidak masalah, yang menjadi masalah Anda itu justru, mengapa MA tidak boleh menyusun sendiri anggarannya? Itu kan dua hal beda. Ini hal-hal yang bisa muncul pada persoalan ini, tentu ini terpulang kepada Anda. Bagaimana akan merekonstruksi ini? Dan fokusnya kepada hal-hal apa yang Anda mohonkan itu.
Jadi, ini satu nasihat, Anda bisa pertimbangkan, Anda bisa lebih fokus, Anda bisa beralih, atau Anda tetap saja pada permohonan seperti ini.
Saya kira begitu, Pak Ketua. Terima kasih.
15. KETUA: ACHMAD SODIKI
Ya, itulah beberapa hal yang menjadi catatan Majelis, ya. Supaya Saudara memperhatikan ya, itu karena memang kewajiban Majelis untuk memberikan nasihat sesuai dengan Pasal 9 Undang-undang MK. Dan itu untuk perbaikan, Saudara diberi waktu paling lama 14 hari sejak hari ini.
Nah, syukur kalau lebih cepat lebih baik, ya. Juga cepat disidangkan, ya.
Itu, mungkin ada hal-hal yang Saudara ingin sampaikan pada
Majelis? Atau mungkin sudah cukup? Sudah cukup, ya?
16. PEMOHON: TEGUH SATYA BHAKTI
Cukup, Yang Mulia.
17. KETUA: ACHMAD SODIKI
Ya, baiklah. Kita tunggu selama 14 hari Saudara memperbaiki itu, sehingga nanti Majelis akan menentukan kapan akan disidangkan.
Selama ini kita akan melaporkan pada Rapat Permusyawaratan Hakim.
Dengan demikian, maka sidang saya nyatakan selesai dan ditutup.
SIDANG DITUTUP PUKUL 14.36 WIB
KETUK PALU 3X
Jakarta, 6 Mei 2011
Kepala Sub Bagian Pelayanan Risalah,
t.t.d.
Paiyo
NIP. 19601210 198502 1 001
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar