Minggu, 08 Mei 2011

Mahkamah Agung Kelebihan Hakim Agama dan TUN


Niat Mahkamah Agung (MA) menerapkan sistem kamar penanganan perkara hendaknya mulai dilakukan sejak tahap seleksi calon hakim agung. Para hakim agung yang kelak terpilih harus benar-benar disesuaikan dengan jenis perkara yang ada di MA.

Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi
Peradilan (LeIP) Astriyani Achmad mengingatkan sebenarnya MA tidak perlu lagi hakim agung berlatar belakang agama atau tata usaha negara (TUN). “Kalau mau konsisten dengan sistem kamar, hakim agung agama dan tata usaha negara sudah cukup banyak,” ujarnya kepada hukumonline, Sabtu (7/5).

Karenanya, lanjut Astriyani, LeIP merekomendasikan agar Komisi Yudisial (KY) tidak meloloskan hakim agung berlatar belakang agama dan tata usaha negara dalam seleksi hakim agung kali ini. “Persentase perbandingan jumlah mereka lebih banyak dari perkara agama atau TUN yang masuk ke MA,” jelasnya lagi.

Menurut Astriyani, saat ini perkara yang banyak masuk ke MA adalah perkara dari peradilan umum, perdata dan pidana. Seharusnya, KY dan DPR memfokuskan mencari calon hakim agung yang berlatar belakang peradilan umum. “Supaya beban perkara dapat terbagi,” tuturnya.

Sebelumnya, Ketua MA Harifin A Tumpa juga mengutarakan adanya ketimpangan jenis perkara yang masuk di MA dengan jumlah hakim yang menangani. Hal ini tentu akan menjadi hambatan bagi MA yang berencana ingin menerapkan sistem kamar. Yakni, kamar perdata, pidana, agama, TUN, dan militer. Kelak diharapkan para hakim agung akan menangani perkara sesuai dengan bidangnya.

Sekedar mengingatkan, saat ini sudah ada 83 calon hakim agung dengan rinciannya 46 dari jalur karier dan sisanya dari non karier. Berdasarkan penelusuran hukumonline, dari jumlah itu, setidaknya terdapat delapan calon berlatar belakang agama yang mengikuti proses seleksi di KY.

Mereka adalah Rum Nessa (Sekretaris MA), Husnaini (Wakil Ketua PT Agama Padang), Djazimah Muqoddas (Hakim Tinggi Agama Jakarta), M Yamin Awie (Wakil Ketua PT Agama Jambi), Jufri Ghalib (Ketua PT Agama Ambon), Hasan Bisri (Wakil Ketua PT Agama Bandung), Mudjtahidin (Wakil Ketua PT Agama Semarang), dan Endang Ali Ma’sum (Hakim Tinggi Agama Banten).

Sementara, calon hakim agung dari TUN, empat orang. Yakni Sulistyo (Hakim Tinggi TUN Jakarta), Arifin Marpaung (Hakim Tinggi TUN Jakarta), Nurnaeni Manurung (Hakim TUN Surabaya) dan Istiwibowo (Wakil Ketua PT TUN Makassar).

Kebutuhan MA
Astriyani menjelaskan meski jumlah perkara militer dengan jumlah hakimnya juga mengalami ketimpangan, ia masih mentolerir bila KY meloloskan satu hakim agung militer. “Walau perkaranya sedikit, tapi masih perlu ditambah satu hakim militer. Saat ini hanya dua hakim. Seharusnya, hakim militer berjumlah tiga agar bisa membuat satu majelis,” jelasnya.

Dihubungi melalui telepon, Juru Bicara MA Hatta Ali mengatakan proses seleksi masih berjalan di KY, dan kemudian nanti di DPR. “Ini kan masih seleksi. Masih panjang prosesnya,” ujar Hatta. Jadi, para hakim agung berlatar belakang agama dan TUN itu belum tentu akan lolos.

Kami kembalikan kepada KY dan DPR. Kita kan bukan memaksa dan menekan. Ya terserah mereka. Kita kembalikan ke proses seleksi secara alami,” tegasnya.

Meski begitu, Hatta mengakui bila MA saat ini memang sangat membutuhkan hakim yang berlatar belakang peradilan umum (perdata dan pidana). “Karena perkara yang masuk memang dari peradilan umum yang banyak. Itu tak bisa disangkal,” tegasnya.

Lalu, mengapa MA mengusulkan banyak calon hakim agung berlatar belakang agama dan TUN kepada KY? Hatta hanya berujar bahwa MA hanya melontarkan nama calon yang dianggap layak, kemudian terserah dengan KY dan DPR. “Silakan diseleksi,” pungkasnya.
(sumber: http://hukumonline.com/berita/baca/lt4dc647d00daec/ma-kelebihan-hakim-agama-dan-tun-)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar