Selasa, 10 Mei 2011

Filsafat Hukum: Sebab Kita Harus Taat Hukum

Filsafat hukum mencoba mencari dasar kekuatan mengikat dari hukum: "Apakah hukum itu ditaati karena hukum dibentuk oleh pejabat yang berwenang atau memang masyarakat mengakui hukum tersebut sebagai suatu hukum yang hidup di dalam masyarakat itu?”
Sehubungan dengan pertanyaan yang pertama, terdapat beberapa teori penting yang patut
diketengahkan:
1.  Teori Kedaulatan Tuhan (Teokrasi)
a.  Yang langsung
Yang langsung berpegang kepada pendapat bahwa : “… Segala hukum adalah hukum Ketuhanan. Tuhan sendirilah yang menetapkan hukum. dan pemerintah-pemerintah duniawi adalah pesuruh-pesuruh kehendak Ketuhanan”.
Hukum dianggap sebagai kehendak atau kemauan Tuhan. Manusia sebagai salah satu ciptaan-Nya wajib taat pada hukum Ketuhanan ini.
Teori kedaulatan Tuhan yang bersifat langsung ini hendak membenarkan perlunya hukum yang dibuat oleh raja-raja, yang menekankan dirinya sebagai Tuhan didunia, harus ditaati oleh setiap penduduknya. Sebagai contoh, raja-raja Fir’aun di Mesir dahulu.
b.  Yang tidak langsung
Yang tidak langsung. menganggap raja-raja bukan sebagai Tuhan, melainkan sebagai wakil Tuhan di dunia. Dalam kaitan ini dengan sendirinya juga karena bertindak sebagai “wakil”, semua hutaan yang dibuatnya wajib pula ditaatii oleh segenap warganya, Pandangan ini walau berkembang hingga zaman Renaissance, namun hingga saat ini masih juga ada yang mendasarkan otoritas hukum pada faktor Ketuhanan itu.
2.  Teori Perjanjian Masyarakat
Pendasar-pendasar dari teori perjanjian masyarakat ialah Hugo de Groot atau Grotius (1583 -1645), Thomas Hobbes (1588 -1679), John Locke (1631 -1705), Jean Jacques Rousseau (1712-1778), dan juga Immanuef Kant. Pada pokoknya teori trsbt berpendapat bahwa orang taat dan tunduk pada hukum oteh karena berjanji untuk menaatinya. Hukum dinggap sebagai kehendak bersama, suatu hasit konsensus (perjaniian) dari segenap anggota masyarakat.
Tentang perjanjian ini terdapat perbedaan pendapat antara Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rousseau. Dalam buku-bukunya “De Cive” (1642) dan “Leviathan” (1651). Thomas Hobbes membentangkan pendapatnya, yang intinya sebagai berikut: “Pada mulanya manusia itu hidup dalam suasana belum omnium contra omnes (the war of alf against a/l), selalu dalam keadaan berperang. Agar tercipta suasana damai dan tenteram. lalu diada-kan perjanjian di antara mereka (pactum unionis). Setelah itu. di-susul perjanjian antara semua dengan seseorang fertentu (pactum subjectionis) yang akan diserahi kekuasaan untuk memimpin mereka. Kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin adalah mutlak. Timbullah kekuasaan yang bersifat absolut”.
Konstruksi dalam bukunya “Two Treatises on Civil Govern-ment” (1690), agak berbeda karena pada waktu perjanjian itu disertakan pula syarat-syarat yang antara lain kekuasaan yang diberikan dibatasi dan dilarang melanggar hak-hak asasi manusia. Teorinya menghasilkan kekuasaan raja yang dibatasi oleh konstitusi.
J.J. Rousseau dalam bukunya “Le Contract Social Ou Principles de Droit Politique” (1672), berpendapat bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh anggota masyarakat tetap berada pada individu-individu dan tidak diserahkan pada seseorang tertentu secara mutlak atau dengan persyaratan tertentu. Konstruksi yang dihasilkannya ialah pemerintah demokrasi langsung. Tipe pemerintahan seperti ini hanya sesuai bagi suatu negara dengan. wilayah sempit dan penduduk sedikit. Pemikirannya tidak dapat diterapkan untuk suatu negara moderh dengan wilayah negara yang luas dan banyak penduduk.
3.  Teori Kedaulatan Negara
Pada intinya teori ini berpendapat bahwa ditaatinya hukum itu karena negara menghendakinya. Hans Kelsen misalnya dalam bukunya “Hauptprottoae dter Staatslehre” (1811), “Das Problem der Souveranitat und die Theorie tes Volkerechts” (1920), “Ahgemeine Staatslehre” (1925) dan “Reme Recnsiehre” (1934). menganggap bahwa hukum itu merupakan “Wille des Ssaates” orang tunduk pada hukum karena merasa wajib menaatinya karena hukum itu adalah kehendak Negara.
4.  Teori Kedaulatan Hukum
Hukum mengikat bukan karena negara menghendakinya. melainkan karena merupakan perumusan dari kesadaran hukum rakyat. Berlakunya hukum karena nilai batinnya, yaitu yang menjelma di dalam hukum itu. Pendapat ini diutarakan oleh Prof. Mr- H. Krabbe dalam bukunya “Die Lehre der Rechtssouveranitaf (1906). Selanjutnya, beliau berpendapat bahwa kesadaran hukum yang dimaksud berpangkal pada perasaan hukum setiap individu, yaitu perasaan bagaimana seharusnya hukum itu.
Terdapat banyak kritik terhadap pendapat di atas. Pertanyaan-pertanyaan berkisar pada apa yang dimaksud dengan kesadaran hukum itu? Apa yang diartikan sebagai perasaan hukum itu? Prof. Krabbe mencoba menjawab dengan mengetengahkan perumusan baru, yaitu bahwa hukum itu berasal dan perasaan hukum bagian terbesar dari anggota masyarakat. Jadi, bukan perasaan hukum setiap individu Seorang muridnya yang terkenal Prof. Mr. R. Kranenburg dalam bukunya “Positief Rechnt an RechtEfaGwustzijn” (1928) berusaha membelanya dengan teorinya yang terkenal “asas keseimbangan’ (evenredigheids-postulat).

Menurut Aristoteles hukum harus ditaati demi keadilan, dan ini dibagi menjadi hukum alam dan hukum positif. Hukum alam menurut Aristoteles merupakan aturan semesta alam dan sekaligus aturan hidup bersama melalui undang-undang. Pada Aristoteles hukum alam ditanggapi sebagai suatu hukum yang berlaku selalu dan dimana-mana karena hubungannya dengan aturan alam. Hukum positif adalah semua hukum yang ditentukan oleh penguasa negara. Hukum itu harus selalu ditaati, sekalipun ada hukum yang tidak adil.
Negara Berhak Menghukum Seseorang
Berbagai teori mencoba menjawab pertanyaan tersebut sebagai upaya mencari dasar pembenaran (penghalalan) hukum melekatnya tidak tersebut pada negara. Pada waktu mengulas tentang dasar kekuatan mengikat dari hukum sebagai jawaban atas pertanyaan apakah sebabnya orang menaati hukum, ‘kita mengenal beberapa teori seperti teori kedaulatan Tuhan, perjanjian masyarakat. dan kedaulatan negara.
Jika ditelaah bunyi teori-teori termaksud. maka tampaknya bahwa dalam usaha menjawab dasar mengikat sesuatu hukum tersirat juga ulasan wewenang negara untuk menghukum warganya terutama atas segala perbuatannya yang dapat menggoncangkan. membahayakan dan meruntuhkan sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Ajaran kedaulatan Tuhan misalnya dengan penganutnya yang sangat terkenal di abad ke-19. Friedrich Julius Stahl berpendapat bahwa : “negara adalah badan yang mewakili Tuhan di dunia yang memiliki kekuasaan penuh untuk menyelenggarakan ketertiban hukum di dunia. Para pelanggar ketertiban itu perlu memperoleh hukuman agar keterlibatan hukum tetap terjamin”.
Teori perjanjian masyarakat mencoba menjawab pertanyaan tersebut di atas dengan mengemukakan otoritas negara yang bersifat monopoli itu pada kehendak manusia itu sendiri yang menghendaki adanya kedamaian dan ketenteraman di masyarakat. Mereka berjanji akan menaati segala. ketentuan yang dibuat negara dan di lain pihak bersedia pula untuk memperoleh hukuman jika dipandang tingkah lakunya akan berakibat terganggunya ketertiban dalam masyarakat. Mereka telah memberikan kuasa kepada negara untuk msnghukum seseorang yang melanggar ketertiban.
Penganut-penganut teori kedaulatan negara mengemukakan yang tebih tegas Karena negaralah yang berdaulat. maka hanya itu sendiri yang bergerak menghukum seseorang yang mencoba ganggu ketertiban dalam masyarakat. Negara yang menciptakan hukum. jadi segala sesuatu harus tunduk kepada negara. Negara di dianggap sebagai suatu keutuhan yang menaptakar peraturan-peratu hukum. Jadi, adanya hukum itu karena adanya negara. dan tidak ada 1 (satu) hukum pun yang berlaku jika tidak dikehendaki dengan negara.
Dalam kaitan dengan hukuman, hukum ciptaan negara itu adalah hukum pidana. yang menjadi cita-cita dan keinginan seluruh warganya. Usaha-usaha yang berupa hambatan-hambatan, penyimpangan-penyimpangan terhadap perwujudan tujuan tadi patut dicegah dengan memberikan hukuman kepada pelakunya. hanya dengan cara demikian, negara dapat melaksanakan tugasnya sebagaimana mestinya.
(Sumber: Anonim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar