Senin, 16 Mei 2011

Paradigma Baru Penyelesaian Sengketa Harta Bersama

Pengadilan Agama Bukittinggi dalam perkara Harta Bersama Nomor 278/Pdt.G/2005/PA.Bkt menetapkan dalam amar putusannya bahwa: “Penggugat berhak mendapatkan seperempat (1/4) bagian dan Tergugat berhak tiga perempat (3/4) bagian dari harta bersama setelah dikurangi hutang bersama, dan juga menghukum Tergugat untuk menyerahkan seperempat (1/4) bahagian dari harta bersama tersebut kepada Penggugat setelah dibayar hutang bersama.”

Walaupun putusan seperti ini bukanlah sekali dua kali terjadi, tapi Putusan Pengadilan Agama Bukittinggi tersebut bagaikan sebuah oase di gurun pasir, sebuah terobosan hukum yang berani, seakan membuka mata bahwa terbuka kemungkinan untuk terjadi pembagian harta bersama yang tidak sama rata di saat rata-rata masyarakat hukum terpaku tentang pembagian mutlak harta bersama adalah seperdua.
Harta Bersama dalam Peraturan Perundangan-perundangan
a.    Undang-undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974)
Masalah harta bersama dalam Undang-undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) diatur dalam Pasal 35-37. Pasal 35 (1) menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sementara Pasal 35 (2) menjelaskan bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Selanjutnya Pasal 36 (1) mengatur bahwa mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedangkan Pasal 36 (2) mengatur bahwa mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37 menjelaskan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Pasal 37 ini mengindikasikan bahwa ketika terjadi perceraian, harta bersama yang diperoleh oleh pasangan suami isteri selama perkawinan dapat diatur dengan menggunakan aturan yang berbeda-beda tergantung pada variasi hukum adat atau hukum lain di luar hukum adat.
b.    Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991)
Kompilasi Hukum Islam mengatur masalah harta bersama dalam Pasal 85-97. Pasal 85 menjelaskan bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri. Pasal 86 (1) menyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan isteri karena perkawinan, sementara Pasal 86 (2) mengatur bahwa harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.
Pasal 87 (1) mengatur bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan, sedangkan Pasal 87 (2) menyatakan bahwa suami dan isteri mempunyai hak sepenuhya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqoh, atau lainnya. Pasal 88 menjelaskan bahwa apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.
Pasal 89 menyatakan bahwa suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun hartanya sendiri, sementara Pasal 90 menyatakan bahwa isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama, maupun harta suami yang ada padanya. Pasal 91 terdiri dari empat ayat:
1)    Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak beruwujud;
2)   Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharda;
3)    Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak dan kewajiban
4)    Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lain.
Pasal 92 menyatakan bahwa suami isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama. Pasal 93 terdiri dari 4 ayat:
1)    Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing;
2)  Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama;
3)    Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami;
4)    Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta isteri.
Pasal 94 terdiri dari dua ayat:
1)  Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri;
2)  Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga, atau yang keempat.
Pasal 95 terdiri dari dua ayat:
1)  Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat 2 huruf c Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 136 ayat (2), suami atau isteri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya;
2) Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.
Pasal 96 terdiri dari dua ayat:
1)  Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama;
2)  Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.
Pasal 97 mengatur bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Dari pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam di atas dapat dipahami bahwa hukum Islam Indonesia pada dasarnya menerima ketentuan-ketentuan adat tentang harta bersama dalam perkawinan, bahkan menerima gagasan tentang kesetaraan suami dan isteri dalam masalah harta bersama tersebut.
c.    Burgelijk Wetboek (BW)
Burgelijk Wetboek juga mengatur masalah harta bersama dalam perkawinan. Pasal 119 BW menyatakan bahwa mulai sejak terjadinya ikatan perkawinan, harta kekayaan yang dimiliki suami secara otomatis disatukan dengan yang dimiliki isteri. Penyatuan harta ini sah dan tidak bisa diganggu gugat selama perkawinan tidak berakhir akibat perceraian atau kematian. Namun, kalau pasangan suami isteri sepakat untuk tidak menyatukan harta kekayaan mereka, mereka dapat membuat perjanjian di depan notaris sebelum perkawinan dilangsungkan, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 139-154 BW. Adapun berkaitan dengan pembagian harta bersama, Pasal 128 BW menetapkan bahwa kekayaan-bersama mereka dibagi dua antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dari pihak mana asal barang-barang itu.
Harta Bersama dalam Hukum Adat
Indonesia yang mempunyai daerah yang sangat luas, memberikan keniscayaan adanya perbedaan nama dan istilah terhadap penamaan harta bersama sesuai dengan bahasa dan dialek daerah tertentu. Hal ini bisa dilihat di daerah Sumatera Barat dimana harta bersama disebut dengan ”harta suarang”, di daerah Kalimantan disebut ”barang perpantangan”, di daerah Bugis disebut dengan ”cakkara”, di Bali disebut dengan ”druwe gabro”, di Jawa disebut dengan ”barang gini” atau ”gono-gini”, dan di Pasundan disebut dengan ”guna kaya”, ”barang sekaya” atau ”campur kaya”.
Seperti penamaan yang beraneka ragam, juga terdapat beberapa adat istiadat yang berbeda tentang perlakuan terhadap Harta Bersama tersebut, misal:
1.  Daerah Istimewa Aceh: Penghasilan suami menjadi milik pribadinya sendiri, apabila isterinya tidak memberikan suatu dasar materiil –yang berbentuk suatu kebun atau suatu pekarangan kediaman- bagi keluarga atau tidak memberi bekal kepada suaminya yang mengadakan suatu perjalanan.
2.  Jawa Barat: Penghasilan yang diperoleh semasa perkawinannya menjadi milik isteri sendiri apabila pada saat perkawinan isteri kaya sedangkan suami miskin (perkawinan nyalindung kagelung).
3.  Kudus (Jawa Tengah): Suami dan isteri masing-masing tetap memiliki barang-barang yang mereka bawa ke dalam perkawinan dan juga barang-barang yang mereka peroleh masing-masing selama selama perkawinan. Hal ini dilatar belakangi daerah Kudus yang mayoritas berprofesi pedagang.
4.  Beberapa daerah di Jawa Tengah: Suami mendapatkan dua-pertiga dan isteri mendapat sepertiga yang disebut asas ”sakgendong sakpikul.” Tata cara pembagian seperti ini juga dikenal di pulau Bali (sasuhun-sarembat) dan di kepulauan Banggai juga terdapat azas dua-pertiga dan sepertiga tersebut.
5.    Dst.
Dalam perkembangannya, banyak dari adat-istiadat setempat dalam masalah pembagian harta bersama seperti yang disebut diatas perlahan memudar, dan berganti dengan kebiasaan jika salah satu pihak meninggal dunia, maka semua harta bersama berada di bawah kekuasaan pihak yang masih hidup dan mempunyai hak untuk menggunakan harta bersama tersebut untuk keperluan hidupnya.
Wirjono Prodjodikoro, SH (1992: 89) juga menjelaskan bahwa harta perkawinan menurut hukum adat terbagi menjadi harta milik masing-masing suami atau istri dan harta bersama. Harta perkawinan yang menjadi harta milik masing-masing suami atau istri tersebut mencakup:
1.  Harta yang diperoleh masing-masing suami-isteri sebagai warisan dari orang tua atau nenek-moyang.
2.   Harta yang diperoleh masing-masing suami-isteri sebagai hibah atau hasil usaha sendiri.
Antara social justice dan legal justice Penetapan Harta Bersama
Dalam peraturan perundang-undangan seperti yang disebutkan diatas, jelas terlihat pencantuman pembagian harta bersama adalah ½ apabila terjadi perceraian, bahkan apabila salah satu pihak meninggal dunia, maka yang ditinggalkan tetap mendapatkan setengah dari harta bersama tersebut dan sisanya barulah menjadi harta warisan.
Pola penetapan seperti ini terjadi (salah satunya) untuk melindungi hak istri dalam suatu rumah tangga, juga untuk menghindari adanya pengabaian hak-hak terhadap kontribusi istri dalam pencarian dan pemeliharaan harta.
Di sisi lain, terlihat juga dari Hukum Adat bahwa pembagian harta bersama tidaklah mutlak dibagi menjadi 2 bagian yang sama besar, seperti yang terjadi di Kudus, dan beberapa daerah lain, dengan berbagai latar belakang yang menjadi sebabnya.
Salah satunya, adalah asumsi dalam sebuah rumah tangga yang bekerja dan mencari nafkah adalah suami, sedangkan istri hanya beraktifitas di sektor domestik. Asumsi ini menjadi dasar di beberapa hukum adat daerah tertentu untuk membagi harta suami mendapatkan daerah yang besar dari istri, atau terjadi sebaliknya bahwa istri akan mendapatkan bagian yang lebih besar daripada suami.
Hal yang sama bisa kita lihat dalam Hukum Adat daerah kudus yang menyatakan bahwa harta milik suami dan harta milik istri dapat dipisah dan dibawa oleh masing-masing pihak. Hal ini dilatar belakangi karena suami dan istri sama-sama bekerja, sehingga pencarian terhadap harta tersebut menjadi latar belakang adanya hukum adat seperti disebutkan diatas.
Untuk meniadakan asumsi-asumsi ini, maka peraturan perundang-undangan mengambil jalan tengah bahwa siapapun yang mencari penghasilan, maka semuanya menjadi milik bersama dan harus dibagi dua. Hal ini berdasarkan kepada suami memang yang mencari harta, sedangkan istri adalah orang yang memelihara harta tersebut. Keduanya mempunyai kedudukan yang setara, dalam fungsi yang berbeda, tapi tetap mempunyai konstribusi yang sepadan dalam proses adanya harta tersebut, sampai perceraian terjadi.
Peraturan perundang-undangan dibuat untuk kebaikan semua belah pihak yang berasal dari norma-norma, nilai dan kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Apabila terjadi suatu sengketa/perkara masalah harta bersama, maka kadang-kadang norma, nilai dan kebiasaan itu tidak boleh dikesampingkan dalam hal-hal tertentu.
Bagir Manan, Kedua Dewan Press Indonesia, Mantan Ketua Hakim Agung, mengatakan bahwa Hakim bukan corong undang-undang. Hal senada sudah diakomodir oleh perundangan-perundangan kita dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009 Pasal 5 “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai- nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Ada baiknya kita membaca kutipan utuh salah satu pertimbangan Majelis dalam putusan tersebut di atas, yang sangat menggambarkan bagaimana social justice dapat ditegakkan, tanpa harus menyalahi undang-undang, dengan tetap berpegang kepada norma-norma kepatutan dan keadilan:
“Menimbang, bahwa pada dasarnya dalam menentukan bagian masing-masing pihak dari harta bersama  seperti tersebut di atas, Majelis mengacu pada ketentuan pasal 97 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua  dari harta bersama. Karena kedua belah pihak tidak mengikatkan diri dalam perjanjian perkawinan, akan tetapi dalam kasus ini Majelis berpendapat lain dan ketentuan pasal 97 Kompilasi Hukum Islam tersebut tidak dibelakukan, adapun pertimbangannya seperti di bawah ini ;
Menimbang, bahwa apabila dilihat dari sudut filosofis lahirnya ketentuan tersebut di atas, maka masalah yang paling substansial dari ketentuan tersebut adalah untuk memberikan  perlindungan  terhadap  hak-hak isteri yang akan diceraikan, karena pada umumnya isteri tidak punya penghasilan (sesuai ketentuan agama) dan waktu kesehariannya dihabiskan untuk mengerjakan tugas-tugas rumah tangga yang tidak ringan dibanding tugas suaminya, dalam kondisi yang demikian alangkah tidak adilnya apabila tidak diberikan perlindungan, sudah dipastikan kalau terjadi perceraian maka sang isteri akan pergi dengan tangan hampa,  membawa duka yang amat dalam, sedangkan dalam masa perkawinannya  dengan suami tercintanya dikaruniai harta dan kekayaannya. Oleh sebab itu dalam kondisi seperti yang dimaksudkan amat sangat wajar dan adil sekali ketentuan pasal 97 Kompilasi Hukum Islam tersebut diterapkan ;
Menimbang, bahwa dalam kasus sebagaimana yang dipertimbangkan di atas, telah ternyata Tergugat (isteri) yang lebih aktif berusaha untuk mendapatkan harta bersama, sedangkan Penggugat (suami) hanya bersifat membantu dan waktunya banyak dihabiskan untuk main judi, maka untuk melindungi  hak Tergugat dengan tidak mengabaikan bagian Penggugat dari harta bersama tersebut, Majelis menentukan sendiri bagian masing-masing sesuai yang patut dan memenuhi rasa keadilan sebagai berikut: Penggugat memperoleh ¼ bagian, Tergugat memperoleh ¾ bagian ;”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar