Minggu, 15 Mei 2011

Posita Permohonan Jucial Review UU No. 17 Tahun 2003 (Perkara No. 28/PUU-IX/2011)

III. ALASAN-ALASAN  PEMOHON MENGAJUKAN PERMOHONAN PENGUJIAN PASAL 6 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA (“UU NO. 17 TAHUN 2003”)
  A. Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 Mengamanatkan Indepedensi Anggaran Kekuasaan Kehakiman
    1.    Bahwa Perubahan UUD 1945 tersebut telah mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap sistem ketatanegaraan yang berlaku, termasuk salah satunya adalah Kekuasaan Kehakiman.
  2.   Bahwa rumusan mengenai Kekuasaan Kehakiman diatur dalam ketentuan Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 Perubahan Ketiga yang berbunyi, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”, sedangkan Ayat (2)-nya berbunyi, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
3. Bahwa sebagai konsekuensi pelaksanaan Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945, peraturan perundang-undangan organik yang terkait dengan Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya juga diubah, diantaranya Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan telah direvisi oleh Undang-Undang No. 4 Tahun 2004, serta diperbaiki kembali melalui Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Justifikasi tersebut juga termuat dalam berbagai undang-undang, yaitu antara lain melalui: Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 juncto Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang MA, Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 juncto Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 juncto Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
4.  Bahwa penjabaran lebih lanjut mengenai pengertian tentang Kekuasaan Kehakiman diatur di dalam Pasal 1 Angka (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:
“Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.
5.  Bahwa frasa “merdeka” menurut Kamus Bahasa Indonesia( yang disusun oleh Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2008, hal 1015) berarti: bebas (dr perhambaan, penjajahan, dsb); berdiri sendiri; atau tidak terkena atau lepas dr tuntutan; atau tidak terikat atau tergantung pd pihak tertentu; leluasa, dengan demikian dapatlah dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan ”Kekuasaan Yang Merdeka” adalah Kekuasaan yang bebas, berdiri sendiri dan tidak tergantung pada pihak tertentu.
6.  Bahwa selanjutnya Ketentuan Pasal 21 Ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa:
"Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung."
Sedangkan Ayat (2)-nya berbunyi:
"Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing”.
7. Bahwa berdasarkan ketentuan UUD 1945, UU No. 48 Tahun 2009  dan Kamus Bahasa Indonesia di atas, dapat disimpulkan bahwa: (1). kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, (2). Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, oleh karenanya dapatlah dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan ”Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka” adalah Kekuasaan Kehakiman yang bebas, berdiri sendiri dan tidak tergantung pada pihak tertentu (kekusaan legislatif dan kekuasaan eksekutif) dalam hal Organisasi, administrasi, dan finansial.
8.  Bahwa dalam hal finansial, Anggaran Mahkamah Agung diatur dalam ketentuan Pasal 81A Ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang MA menyatakan bahwa, “Anggaran Mahkamah Agung dibebankan pada mata anggaran tersendiri dalam anggaran pendapatan dan belanja negara”.
9.  Bahwa dari keseluruhan uraian tersebut, maka dapat dipahami bahwa Kedudukan Dan Fungsi Keuangan Dari Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Yang Berada Di Bawahnya termasuk juga Mahkamah Konstitusi adalah amanat konstitusional dari Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945, yang mengharuskan adanya Indepedensi Anggaran Peradilan guna mendukung ”Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka”.
B. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Sebagai Undang-Undang Organik Pasal 23 UUD 1945 Dan Berbagai Peraturan Perundangan Serta Perangkat Peraturan Pelaksanaan Yang Terkait Dengan Keuangan Negara, Tidak Memperhatikan Kedudukan Dan Fungsi Keuangan Dari Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Yang Berada Di Bawahnya.
1.  Bahwa Pasal 23 UUD 1945 Perubahan Ketiga berbunyi:
1)  Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan Negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
3)  Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.
Selanjutnya Pasal 23C Undang Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga menyatakan bahwa, “hal-hal lain mengenai keuangan negara ditetapkan melalui undang-undang.”
2.  Bahwa penjabaran lebih lanjut dari Ketentuan UUD 1945 tersebut dituangkan dalam berbagai peraturan perundangan serta perangkat peraturan pelaksanaan yang terkait dengan keuangan negara, antara lain: UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangnan Nasional,  Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah, Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
3.  Bahwa yang dimaksud dengan Keuangan Negara menurut Pasal 1 Angka (1) UU No. 17 Tahun 2003 adalah:
“Semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.
4.  Bahwa selanjutnya “Kekuasaan Atas Pengelolaan Keuangan Negara” diatur dalam Pasal 6 Ayat (1) UU No. 17 Tahun 2003 yang berbunyi:
“Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan”.
Penjelasannya:
“Kekuasaan pengelolaan Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Ayat ini meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus.
Kewenangan yang bersifat umum meliputi penetapan arah, kebijakan umum, strategi, dan prioritas dalam pengelolaan APBN, antara lain penetapan pedoman pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBN, penetapan pedoman penyusunan rencana kerja kementerian negara/lembaga, penetapan gaji dan tunjangan, serta pedoman pengelolaan Penerimaan Negara.
Kewenangan yang bersifat khusus meliputi keputusan/ kebijakan teknis yang berkaitan dengan pengelolaan APBN, antara lain keputusan sidang kabinet di bidang pengelolaan APBN, keputusan rincian APBN, keputusan dana perimbangan, dan penghapusan aset dan piutang Negara”.
Sedangkan Ayat (2)-nya menyatakan:
“Kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1):
a. dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan;
b. dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
c.  diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
d.  tidak termasuk kewenangan dibidang moneter, yang meliputi antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang, yang diatur dengan undang-undang.
5.  Bahwa didalam Penjelasan UU No. 17 Tahun 2003, dijelaskan mengenai Dasar Pemikiran mengenai “Kekuasaan Atas Pengelolaan Keuangan Negara” yakni:
Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan. Prinsip ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme checks and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.....”.
6.  Bahwa pengertian tentang Kementerian Negara dan Lembaga dirumuskan didalam Pasal 1 Angka (1) dan Angka (2) Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, yaitu:
1) Kementerian Negara adalah organisasi dalam Pemerintahan Republik Indonesia yang dipimpin oleh menteri untuk melaksanakan tugas pemerintahan dalam bidang tertentu.
2) Lembaga adalah organisasi non-kementerian negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
7.  Bahwa ketentuan Pasal 1 Angka (1) dan Angka (2) Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2004 diatas jelas bertentangan dengan format kelembagaan negara RI pasca Perubahan UUD 1945 karena menempatkan Lembaga dibawah Kementerian Negara. Bahwa sesungguhnya Format Kelembagaan Negara RI pasca Perubahan UUD 1945 meliputi: MPR, DPR, dan DPD sebagai Parlemen Indonesia; Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman; dan Presiden dan Wakil Presiden sebagai kepala pemerintahan eksekutif. Adapun keberadaan BPK dan Komisi Yudisial dapat dikatakan tidak berdiri sendiri. Keberadaan masing-masing beserta tugas-tugas dan kewenangannya haruslah dikaitkan dan terkait dengan tugas-tugas dan kewenangan lembaga yang menjadi mitra kerjanya, yaitu BPK terkait dengan DPR dan DPD, sedangkan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung. sedangkan bentuk organisasi Tentara, organisasi Kepolisian dan Kejaksaan Agung, serta Bank Sentral. Sedangkan pada tingkatan kedua ada Komnas HAM, KPU, Komisi Ombudsman, KPPU, KPK, KKR, dan KPI. Lembaga-lembaga ini digolongkan dalam Badan-Badan Eksekutif yang Bersifat Independen. berdasarkan hal tersebut, maka tidaklah berlebihan jika MA dan lembaga negara lainnya harus memiliki otonomi pengelolaan anggaran yg berbeda dengan Badan-Badan Eksekutif yang Bersifat Independen tersebut.
8. Bahwa selanjutnya dengan kedudukannya sebagai sebagai Chief Financial Officer (CFO), Menteri Keuangan mempunyai salah satu tugas sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 8 huruf b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 yaitu:
Dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan mempunyai tugas sebagai berikut :
a)  menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN;
9.  Bahwa sehubungan dengan rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN tersebut, salah satu tugas Menteri/pimpinan lembaga sebagai Pengguna Anggaran kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya mempunyai tugas menyusun dokumen pelaksanaan anggaran dan melaksanakan anggaran kementerian  negara  atau lembaga yang dipimpinnya, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Pasal 9 huruf a Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, menyatakan bahwa:
Menteri/pimpinan lembaga sebagai Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya mempunyai tugas sebagai berikut:
a)  menyusun rancangan anggaran kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
10. Bahwa sebagaimana diketahui hakikat dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hádala merupakan alat utama pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya dan sekaligus alat pemerintah untuk mengelola perekonomian negara. Penyusunan dan penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan tahap awal dari suatu siklus anggaran. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan  Rakyat. (Pasal 1 angka 7, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003).
11. Bahwa Proses penyusunan dan penetapan APBN dapat dikelompokkan dalam dua tahap, yaitu: (1) pembicaraan pendahuluan antara pemerintah dan DPR, dari bulan Februari sampai dengan pertengahan bulan Agustus dan (2) pengajuan, pembahasan dan penetapan APBN, dari pertengahan bulan Agustus sampai dengan bulan Desember.
a.  Tahap Pembicaraan Pendahuluan antara Pemerintah dan DPR.
Tahapan ini dimulai dengan penyampaian pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro oleh Pemerintah kepada DPR selambat-lambatnya pertengahan Mei tahun berjalan. Hal ini diatur dalam Pasal 13 Ayat (1) UU No. 17 tahun 2003 yang berbunyi:
“Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan”.
Secara lebih rinci, tahapan ini bisa dijelaskan sebagai berikut:
·  Guna memudahkan DPR dalam memahami dan mendiskusikan kerangka ekononomi makro, pemerintah mengirimkan laporan triwulanan update fiskal dan makroekonomi serta outlook dan estimasi ke depan kepada DPR pada awal April. Laporan ini disiapkan oleh Badan Analisa Fiskal (BAF), Departemen Keuangan. Dengan laporan ini, diharapkan DPR memahami gambaran umum perkembangan fiskal dan makroekonomi terkini beserta outlook dan estimasi ke depannya. Laporan ini menyajikan tampilan fiskal dan makroekonomi dua tahun terakhir, estimasi kinerja fiskal tahun anggaran berjalan, serta proyeksi kinerja fiskal tiga tahun ke depan. Variabel-variabel fiskal dan makroekonomi yang disajikan dalam laporan tersebut meliputi pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, nilai tukar rupiah, tingkat bunga, harga minyak internasional, neraca pembayaran, penerimaan, pengeluaran, surplus primer, defisit anggaran, pembiayaan, dan estimasi ke depan.
·   Kerangka ekonomi makro yang disampaikan kepada DPR berisi antara lain prospek ekonomi dunia (pertumbuhan, perdagangan, dll.), kebijakan ekonomi makro (kebijakan fiskal, kebijakan moneter, kebijakan investasi, neraca pembayaran), serta asumsi dasar APBN (pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar, harga minyak , produksi minyak, dan tingkat suku bunga SBI rata-rata).
·    Pokok-pokok kebijakan fiskal yang disampaikan kepada DPR mencakup kaidah utama yang melatari kebijakan fiskal, kebijakan fiskal bidang pendapatan negara dan hibah, kebijakan fiskal bidang belanja negara, dan kebijakan fiskal pembiayaan anggaran.
·    Pemerintah dan DPR membahas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal yang diajukan oleh pemerintah dalam pembicaraan pendahuluan RAPBN tahun anggaran berikutnya. Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal tersebut, pemerintah dan DPR membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian negara/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran. (Pasal 13 Ayat (2) – (3) UU No. 17/2003).
·   Dalam rangka penyusunan RAPBN, berdasarkan Surat Edaran yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan c.q. DJA, menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang menyusun rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga tahun berikutnya. Rencana kerja dan anggaran tersebut disusun berdasarkan prestasi kerja (kinerja) yang akan dicapai; dan disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sedang disusun. Selanjutnya, rencana kerja dan anggaran tersebut disampaikan kepada DPR untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBN. Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan lepada Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan RUU tentang APBN tahun berikutnya. (Pasal 14 UU No. 17/2003).
· Pada awal bulan Juli pemerintah menyampaikan laporan semester pertama perkembangan fiskal dan makroekonomi serta outlook kepada DPR. Laporan ini merupakan update atas laporan triwulan yang telah disampaikan kepada DPR pada awal bulan April.
b.  Tahap Pengajuan, pembahasan dan penetapan APBN.
Tahapan ini dimulai dengan pengajuan RUU tentang APBN disertai nota keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya oleh pemerintah kepada DPR pada bulan Agustus tahun sebelumnya. (Pasal 15 Ayat (1) UU No. 17/2003) Selama pembahasan, dokumen-dokumen pendukung disampaikan kepada DPR. Sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Ayat (4) UU No. 17/2003, pengambilan keputusan oleh DPR mengenai RUU tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya dua bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. Batasan ini diperlukan agar pemerintah punya cukup waktu untuk menyiapkan seluruh dokumen pelaksanaan anggaran. Di samping itu, waktu dua bulan itu juga diperlukan oleh Pemerintah Daerah untuk menyiapkan anggaran mereka, mengingat salah satu sumber keuangan utama Pemerintah daerah adalah dana perimbangan yang diperoleh dari APBN.
APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. (Pasal 15 Ayat (5) UU No. 17/2003).
Apabila DPR tidak menyetujui RUU APBN yang diajukan pemerintah, pemerintah dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya. (Pasal 15 Ayat (6) UU No. 17/2003)
12. Bahwa sehubungan dengan pembicaraan pendahuluan antara pemerintah dan DPR dalam hal proses penyusunan dan penetapan APBN, Kementerian Negara/Lembaga berkewajiban menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (termasuk dalam hal ini Mahkamah Agung) (RKA-KL), sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104 /Pmk.02/2010 Tentang Petunjuk Penyusunan Dan Penelaahan Rencana Kerja Dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga Tahun Anggaran 2011 yang berbunyi:
Pasal 1
Dalam rangka penyusunan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011, Menteri/Pimpinan Lembaga menyusun RKA-KL yang dipimpinnya.
Pasal 2
1) Penyusunan RKA-KL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan dengan menggunakan pendekatan Penganggaran Terpadu, Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah, dan Penganggaran Berbasis Kinerja.
2) Penjabaran pendekatan penyusunan RKA-KL sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal 3
1) Dalam menyusun RKA-KL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan Pasal 2, Menteri/Pimpinan Lembaga memperhatikan pedoman umum penyusunan RKA-KL serta wajib:
a. mengacu pada Surat Edaran Menteri Keuangan tentang Pagu Sementara Tahun Anggaran 2011;
b.  mengacu pada Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2011;
c.  mengacu pada Rencana Kerja Kementerian Negara/Lembaga Tahun 2011;
d.  mengacu pada Standar Biaya Tahun 2011;
e.  mencantumkan target kinerja secara spesifik dan terukur;
f.   mencantumkan perhitungan Prakiraan Maju untuk 2 (dua) tahun kedepan;
g. melampirkan dokumen pendukung berupa Kerangka Acuan Kerja (KAK)/Term of Reference (TOR) dan Rincian Anggaran Biaya (RAB); dan
h. melampirkan Rencana Bisnis Anggaran (RBA) untuk satuan kerja Badan Layanan Umum (BLU).
13. Bahwa di dalam Surat Edaran Nomor: Se-294/Mk.02/2010 Tentang Pagu Sementara Kementerian/Lembaga Tahun Anggaran 2011, dijelaskan bahwa dalam rangka penyusunan RAPBN Tahun Anggaran 2011, Pemerintah akan menyampaikan Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2011 kepada DPR-RI pada awal bulan Agustus 2010. Untuk keperluan tersebut disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Rapat Kerja antara Badan Anggaran DPR-RI dengan Pemerintah dalam rangka Pembahasan Pembicaraan Pendahuluan Penyusunan RAPBN Tahun Anggaran 2011 pada tanggal 10-15 Juni 2010 dan Rapat Paripurna DPR RI tanggal 17 Juni 2010, telah menyepakati pokok-pokok kebijakan belanja negara sebagai bahan acuan dalam rangka penyusunan Pagu Sementara Kementerian/Lembaga Tahun Anggaran 2011.
2.  Rincian Pagu Sementara Anggaran Belanja Tahun Anggaran 2011 menurut program dan sumber dana untuk masing-masing Kementerian/Lembaga adalah sebagaimana tercantum pada Lampiran I.
3. Dalam Pagu Sementara seperti tersebut pada butir 2 sudah memperhitungkan kebutuhan untuk:
a.  Dana untuk membiayai seluruh belanja penyelenggaraan program/kegiatan prioritas dan penunjang dalam Tahun Anggaran 2011;
b.    …………….”
4.    Berdasarkan Pagu Sementara Anggaran Belanja Tahun Anggaran 2011 tersebut, diminta agar masing-masing Kementerian/Lembaga menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL) Tahun Anggaran 2011 dengan mengacu pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun Anggaran 2011, Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Ranja K/L) Tahun Anggaran 2011, Peraturan Menteri Keuangan Tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan RKA-KL Tahun Anggaran 2011 dan Peraturan Menteri Keuangan Tentang Standar Biaya Tahun Anggaran 2011.
14. Bahwa Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun Anggaran 2011 yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah. Selanjutnya Presiden Mengeluarkan Peraturan Presiden No. 29 Tahun 2010 Tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2011 yang disusun berdasarkan tema “Percepatan Pertumbuhan Ekonomi yang Berkeadilan Didukung oleh Pemantapan Tata Kelola dan Sinergi Pusat Daerah” dan diterjemahkan kedalam 11 prioritas pembangunan nasional dan tiga prioritas lainnya. Sebelas prioritas pembangunan nasional tersebut, yaitu: (a) reformasi birokrasi dan tata kelola; (b) pendidikan; (c) kesehatan; (d) penanggulangan kemiskinan; (e) ketahanan pangan; (f) infrastruktur, (g) iklim investasi dan iklim usaha; (h) energi; (i) lingkungan hidup dan pengelolaan bencana; (j) daerah tertinggal, terdepan, terluar dan pascakonflik; serta (k) kebudayaan, kreatifitas, dan inovasi teknologi. Sedangkan tiga prioritas lainnya meliputi (a) bidang politik, hukum dan keamanan; (b) bidang perkonomian, dan (c) bidang kesejahteraan rakyat. Pencapaian prioritas sasaran pembangunan nasional dan prioritas lainnya tersebut akan diterjemahkan melalui program-program kegiatan pembangunan yang akan dilaksanakan pemerintah di tahun 2011.
15. Bahwa selanjutnya RKA-KL yang telah disusun tersebut, dibahas bersama antara Kementerian Negara/Lembaga (termasuk dalam hal ini Mahkamah Agung) dengan Komisi terkait di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). RKA-KL yang telah disepakati dan mendapat persetujuan dari DPR disampaikan oleh Menteri /Pimpinan Lembaga kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Anggaran paling lama 2 (dua) minggu sebelum penetapan Peraturan Presiden tentang Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat. Dalam hal RKA-KL yang telah disepakati dan mendapat persetujuan dari DPR belum diterima maka Peraturan Presiden tentang Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat disusun berdasarkan RKA-KL yang disampaikan oleh Kementerian Negara/Lembaga (termasuk dalam hal ini Mahkamah Agung) meskipun belum mendapat persetujuan dari DPR.
16. Bahwa berkenaan dengan RKA-KL hasil pembahasan antara Kementerian Negara/Lembaga (termasuk dalam hal ini Mahkamah Agung) dengan DPR tersebut Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran melakukan penelaahan untuk meneliti:
1. Kesesuaian Term of Reference (TOR), Rincian Anggaran Biaya (RAB) dan dokumen pendukung dengan RKA-KL;
2.  Relevansi/kesesuaian pencantuman target kinerja dan komponen input yang digunakan.
17. Bahwa hasil penelaahan RKA-KL menjadi dasar penyusunan Satuan Anggaran K/L. Satuan Anggaran K/L dimaksud dijabarkan lebih lanjut untuk setiap satuan kerja menjadi Satuan Anggaran per Satuan Kerja (SAPSK). Apabila terjadi perubahan RKA-KL berdasarkan hasil kesepakatan dalam pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara antara Pemerintah dengan DPR, dilakukan penyesuaian RKA-KL dan SAPSK pada Satuan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (termasuk dalam hal ini Mahkamah Agung). Selanjutnya RKA-KL yang telah ditelaah menjadi dasar penyusunan Peraturan Presiden tentang Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat yang menjadi dasar bagi penyusunan dan pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kementerian Negara/Lembaga (termasuk dalam hal ini Mahkamah Agung).
18. Bahwa dari seluruh rangkaian dalil-dalil diatas, dapat dipahami bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Sebagai Undang-Undang Organik Pasal 23 UUD 1945 Dan Berbagai Peraturan Perundangan Serta Perangkat Peraturan Pelaksanaan Yang Terkait Dengan Keuangan Negara, Tidak Memperhatikan Kedudukan Dan Fungsi Keuangan Dari Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Yang Berada Di Bawahnya. Hal ini disebabkan oleh karena berbagai peraturan perundangan yang mengatur keuangan negara tersebut, masih belum memberi ruang dan atmosfir yang kondusif bagi independensi anggaran Mahkamah Agung.
19. Bahwa sejak Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung disahkan,  Anggaran Mahkamah Agung dinyatakan memiliki anggaran tersendiri dalam APBN. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 81A Ayat (1) UU No. 3 Tahun 2009 menyatakan: “Anggaran Mahkamah Agung dibebankan pada mata anggaran tersendiri dalam anggaran pendapatan dan belanja negara”. jadi secara eksplisit Pasal ini menunjukkan bahwa MA memiliki otonomi pengelolaan anggaran, meliputi "hak, kewenangan, dan kewajiban dalam pengelolaan anggaran."
20. Bahwa perubahan Pasal 81A Ayat (1) UU MA tersebut tidak dibarengi dengan perubahan peraturan perundangan-undangan beserta perangkat peraturan pelaksanaannya yang terkait dengan keuangan negara, sehingga menyebabkan penetapan anggaran peradilan hingga saat ini masih mengacu kepada peraturan-peraturan lama yang bersifat Tidak Memperhatikan Kedudukan Dan Fungsi Keuangan Dari Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Yang Berada Di Bawahnya.
C. Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Tidak Konsisten (Inconsistent) Atau Tidak Sesuai (Non-Conforming, Unvereinbar) Dengan Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945
1.  Bahwa sejak UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Dan Berbagai Peraturan Perundangan Serta Perangkat Peraturan Pelaksanaan Yang Terkait Dengan Keuangan Negara diberlakukan, Perencanaan dan Penganggaran serta penetapan anggaran dapat dirumuskan sebagai berikut:
a.  Perencanaan dan penganggaran merupakan suatu rangkaian kegiatan yang terintegrasi. Program yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah dituangkan dalam suatu rencana kerja. Ketentuan tentang perencanaan ini diatur dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SISPENAS). Rencana Kerja terdiri dari RPJP untuk masa 20 tahun, RPJM untuk masa 5 tahun, dan RKP untuk masa 1 tahun. Di tingkat Kementerian/Lembaga untuk rencana jangka menengah disebut Renstra Kementerian/Lembaga dan untuk rencana kerja tahunan disebut RKA-KL sebagaimana diatur dalam PP 20 Tahun 2004 (Tentang Rencana Kerja Pemerintah).
b. Berdasarkan Undang-undang Nomor 17 tahun 2003, anggaran disusun berdasarkan rencana kerja. Dengan demikian, yang memperoleh alokasi anggaran adalah program/kegiatan prioritas yang tertuang dalam rencana kerja (RKA KL). Dengan mekanisme demikian, program/kegiatan Pemerintah yang direncanakan itulah yang akan dilaksanakan.
c.  RKA-KL selanjutnya disampaikan ke Menteri Keuangan untuk dihimpun menjadi RAPBN. RAPBN ini selesai disusun pada awal Agustus untuk disampaikan ke DPR disertai Nota Keuangan.
d.  Pembahasan RAPBN di DPR dilaksanakan dari bulan Agustus sampai dengan Oktober. Sehubungan dengan pembahasan RAPBN ini, DPR mempunyai hak budget yaitu hak untuk menyetujui (atau menolak) anggaran. Dalam hal DPR tidak setuju dengan RAPBN yang diajukan oleh pemerintah, DPR dapat mengajukan usulan perubahan atau menolaknya, namun DPR tidak berwenang untuk mengubah dan mengajukan usulan RAPBN.
2.  Bahwa apabila hal diatas dikaitkan dengan Permohonan ini, maka dapat dipahami bahwa begitu besarnya Proporsi Kewenangan Pemerintah dalam menentukan Pagu Anggaran Kekuasaan Kehakiman. Wewenang Pengelolaan Anggaran oleh Pemerintah baik dalam Perencanaan dan penganggaran maupun dalam pembahasannya dengan DPR, secara esensial tidak menempatkan Peradilan secara khusus dalam Anggapan Pendapatan Dan Belanja Negara sebagai salah satu lembaga yg menerima anggaran. Selain itu, walaupun demikian baiknya perencanaan yang dibuat oleh Mahkamah Agung bukan jaminan bahwa anggaran yang dialokasikan untuk MA akan memadai, karena apa yang sudah direncanakan belum tentu akan disetujui oleh Pemerintah (eksekutif) dan DPR (legislatif). Oleh karenanya, dapat dipastikan bahwa minimnya Anggaran Mahkamah Agung dan Badan Peradilan dibawahnya disebabkan karena penetapan anggaran oleh Pemerintah kepada Lembaga Yudikatif semata-mata hanya berdasarkan asumsi-asumsi kebutuhan Pemerintah (eksekutif) dan hanya berdasarkan itikad baik (good will) dari DPR (legislatif) selaku pemegang kedaulatan di bidang budget (hak begrooting).
3.  Bahwa asumsi-asumsi Pemerintah terhadap anggaran Kekuasaan Kehakiman merupakan mekanisme monopoli pengelolaan anggaran Badan-Badan Peradilan oleh Presiden yang tidak sejalan dengan pelaksanaan fungsi dan kewajiban MA sebagaimana diamanatkan dalam Ketentuan Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
4.  Bahwa mengingat kemampuan keuangan negara dan efisiensi anggaran serta agar APBN dapat sejalan dengan tujuan perencanaannya, Otonomi Pengelolaan Anggaran MA yang dimaksud oleh pemohon dalam permohonan ini, adalah bukan berarti equiavalent dengan penggunaan anggaran atau penetapan jumlah yang dikehendaki oleh Mahkamah Agung secara bebas, melainkan kewajiban konstitusional Pemerintah untuk mengkonsultasikan terlebih dulu atau setidak-tidaknya meminta masukan MA dalam hal perencanaan ancar-ancar pagu anggaran yang akan diberikan kepada MA. Sehingga pada saat pembahasan kebijakan umum dan prioritas anggaran, kebutuhan-kebutuhan MA dan Badan Peradilan dibawahnya telah terakomodir secara optimal didalam pagu sementara yang akan ditetapkan oleh kesepakatan antara pemerintah dan DPR. Sehingga pada Tahap Pengajuan, pembahasan dan penetapan APBN, Anggaran Mahkamah Agung sudah menjadi mata anggaran tersendiri dalam anggaran pendapatan dan belanja Negara yang disahkan. Atau dengan kata lain, sebagai bentuk pelaksanaan amanat dari dari Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 81A Ayat (1) UU MA, Presiden bersama DPR memiliki kewajiban konstitusional untuk menetapkan anggaran MA dalam APBN.
5.  Bahwa perihal Fungsi Presiden sebagai Pemegang Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara diatur dalam Ketentuan Pasal 6 Ayat (1) UU No. 17 Tahun 2003 yang berbunyi:
“Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan”.
Penjelasannya:
“Kekuasaan pengelolaan Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Ayat ini meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus.
Kewenangan yang bersifat umum meliputi penetapan arah, kebijakan umum, strategi, dan prioritas dalam pengelolaan APBN, antara lain penetapan pedoman pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBN, penetapan pedoman penyusunan rencana kerja kementerian negara/lembaga, penetapan gaji dan tunjangan, serta pedoman pengelolaan Penerimaan Negara.
Kewenangan yang bersifat khusus meliputi keputusan/ kebijakan teknis yang berkaitan dengan pengelolaan APBN, antara lain keputusan sidang kabinet di bidang pengelolaan APBN, keputusan rincian APBN, keputusan dana perimbangan, dan penghapusan aset dan piutang Negara”.
6.  Bahwa Frasa ”Kekuasaan Pemerintahan” adalah sebagaimana tertuang didalam: Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Presiden Republik Indonesia memegang     kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar” dan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Hal ini bermakna bahwa Presiden selaku pemegang kekuasaan Pemerintahan berkewajiban menjalankan Undang-undang termasuk menjalankan bunyi ketentuan Pasal Pasal 81A Ayat (1) UU MA.
7. Bahwa frasa “kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan” apabila dikaitkan dengan Frasa ”Kekuasaan Pemerintahan” adalah sebagaimana tertuang didalam: Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 5 ayat (2) diatas, maka dapat dipahami bahwa Presiden selaku pemegang kekuasaan Pemerintahan secara otomatis mengusai Keuangan Negara. Namun kekuasaan ini sebagaimana amanat yang terkandung Pasal 23 UUD 1945,  dipergunakan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
8.  Bahwa selanjutnya ketentuan Pasal 7 Ayat (1) UU No. 17 Tahun 2003 menegaskan bahwa:
”Kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara digunakan untuk mencapai tujuan bernegara.”
9.  Bahwa tujuan bernegara tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa : ”..... melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.....”. Dan dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan untuk mencapai tujuan bernegara tersebut diperlukan adanya biaya atau dana yang memadai yang tertuang dalam APBN dan APBD.
10. Bahwa oleh karena salah satu bentuk tujuan bernegara berupa “perlindungan segenap bangsa Indonesia”, maka sebagai wujud dari kedaulatan hukum yang dianut oleh UUD 1945 berupa perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia melalui Kekuasaan Kehakiman, sudah seharusnya ada peningkatan anggaran terhadap Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya.
11. Bahwa perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia melalui Kekuasaan Kehakiman tersebut tidaklah mungkin dapat diwujudkan secara baik apabila ternyata infra struktur dan supra struktur Mahkamah Agung dan Badan Peradilan dibawahnya hanya diberikan seadanya oleh Negara.
12. Bahwa yang dimaksud dengan infrastruktur Mahkamah Agung dan Badan Peradilan dibawahnya dalam permohonan ini adalah menyangkut Anggaran rutin yang terdiri atas Belanja Pegawai, Belanja Barang, Belanja Pemeliharaan, dan Belanja Perjalanan. Belanja Pegawai terdiri atas gaji & tunjangan, beras, honor dan lain-lain. Belanja Barang terdiri atas belanja alat tulis kantor (ATK), inventaris, daya & jasa dan lain-lain. Belanja Pemeliharaan terdiri atas pemiliharaan gedung, kendaraan dan lain-lain. Sedangkan yang dimaksud dengan infrastruktur Mahkamah Agung dan Badan Peradilan dibawahnya adalah menyangkut anggaran pembangunan yang meliputi pembangunan Rumah Dinas Hakim, rehab gedung, mobil dinas, pembelian tanah untuk pembangunan gedung kantor baru, dan lain-lain.
13. Bahwa berdasarkan seluruh argumentasi di atas,  maka adalah sangat tepat apabila Mahkamah Konstitusi menyatakan Ketentuan Pasal 6 Ayat (1) UU No. 17 Tahun 2003, a quo merupakan pasal yang potensial dikualifikasi melanggar prinsip ”Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka”, dalam hal ini Kedudukan Dan Fungsi Keuangan dari Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Yang Berada Di Bawahnya termasuk juga Mahkamah Konstitusi. Dengan perumusan Pasal yang demikian, maka Pasal a quo tidak proporsional dan berlebihan dan dengan sendirinya melanggar Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
IV.  PETITUM
Bahwa dari seluruh dalil-dalil yang diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir, dengan ini Pemohon mohon kepada para Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk kiranya berkenan memberikan putusan sebagai berikut:
DALAM POKOK PERKARA :
1.  Menerima dan mengabulkan permohonan  pengujian Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47  dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286 (selanjutnya disebut UU No. 17 Tahun 2003) terhadap Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun  1945;
2. Menyatakan Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47  dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286 (selanjutnya disebut UU No. 17 Tahun 2003),, bertentangan dengan Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selama anggaran Mahkamah Agung belum tercantum dalam APBN setiap tahunnya;
3. Menyatakan Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47  dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286 (selanjutnya disebut UU No. 17 Tahun 2003), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya, selama anggaran Mahkamah Agung belum tercantum dalam APBN setiap tahunnya;
4.    Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat dan menganggap Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat dan  berlaku, mohon agar Majelis Hakim Konstitusi dapat memberikan tafsir konstitusional terhadap Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, dengan menyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) diartikan bahwa Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara berkewajiban untuk mengalokasikan anggaran MA dalam Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di kemudian hari.
5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Hormat Pemohon

HAKIM INDONESIA 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar