Sabtu, 26 Desember 2009

Kelemahan KUHAP Dari Segi Perlindungan Hukum Terhadap Saksi/Korban




BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dimasa sekarang ini, tindak kriminal sudah menjadi salah satu masalah penting yang perlu segera ditanggulangi oleh pihak-pihak/aparat-aparat hukum di Indonesia. Tingkat kriminalitas yang tinggi di Indonesia merupakan salah satu bukti bahwa begitu banyak terjadi kejahatan dan pelanggaran. Tindak kriminal tersebut dilakukan oleh masyarakat yang tentu saja belum mengerti tentang aturan-aturan yang berlaku di Indonesia yang semestinya mereka patuhi. Selain itu, mungkin juga karena faktor ekonomi, kelalaian, karena masalah pribadi dan masih banyak alasan lainnya untuk berbuat jahat dan melakukan perbuatan melawan hukum.
Tindak kriminal sangat terkait dengan para penegak hukum. Mereka adalah orang-orang yang baik secara langsung maupun tidak langsung akan memiliki peran yang menjadi bagian penting dalam setiap pelaksanaan hingga penyelesaian perkara. Mereka yang terkait antara lain Aparat Kepolisian, Jaksa Penuntut Umum, PPNS khusus, Majelis Hakim, Panitera, Penasihat Hukum dll. Mereka memiliki tugas masing-masing tapi saling berhubungan satu sama lain. Tugas-tugas mereka terangkum dalam suatu proses penyelesaian perkara pidana mulai dari tingkat penyelidikan hingga tingkat pemberian putusan/vonis.
Dalam suatu proses peradilan, yang menjadi tokoh utama adalah pelaku atau tersangka kejahatan. Jika seseorang yang telah dituntut berdasarkan bukti-bukti yang telah diperoleh dari tim penyidik maka ia telah berubah status menjadi terdakwa. Terdakwa inilah yang lantas akan menjalani proses hukum dipengadilan. Seorang terdakwa berhak untuk memperoleh bantuan hukum bahkan sejak ia masih berstatus sebgai tersangka.
“…tercantum dalam KUHAP, terutama Pasal 54 sampai dengan Pasal 57 (mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan penasihat hukum) dan Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 (mengenai tata cara penasihat hukum berhubungan dengan tersangka atau terdakwa)” (Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H., 2005:87).
Seorang terdakwa dapat dipidana berdasarkan putusan majelis hakim. Majelis hakim memutuskan suatu perkara harus didasarkan pada alat-alat bukti yang sesuai dengan yang telah ditentukan oleh UU. Dalam hal ini adalah KUHAP Pasal 184 (1) yang mengatakan bahwa “alat-alat bukti yang sah ialah : a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa” (M. Karjadi dan R. Soesilo, 1997:162). Selain alat-alat bukti yang sah, keyakinan hakim juga menentukan dalam pemberian vonis bagi terdakwa.
Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti utama dalam proses penyelesaian perkara dipengadilan.
Reny Rawasita Pasaribu (2005:1) mengatakan bahwa keberadaan saksi memegang peranan penting dan dalam banyak kesempatan sangat menentukan hasil akhir dari berbagai kasus, baik perdata maupun pidana. Keterangan saksi yang diberikan di hadapan pengadilan merupakan salah satu bukti penting yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutus sebuah perkara.
Kenyataannya perangkat hukum di Indonesia khususnya KUHAP, belum mampu memberikan suatu bentuk pengaturan bantuan hukum yang dapat memberikan perlindungan bagi pihak saksi. Hal serupa pun terjadi dipihak korban yang sama sekali tidak memiliki perlindungan hukum ketika mereka memberikan kesaksiannya. Perlindungan hukum untuk pihak saksi/korban seharusnya ada untuk melindungi diri mereka sendiri maupun keluarga mereka dari segala macam bentuk kekerasan fisik dan mental.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Dimana letak kelemahan KUHAP terhadap pengaturan bantuan hukum untuk pihak saksi/korban ?
2. Apa perlunya bantuan hukum jika dikaitkan dengan hak dan kewajiban saksi/korban ?
3. Apa upaya-upaya yang harus dilakukan untuk memberikan perlindungan hukum kepada saksi/korban

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui dimana letak kelemahan KUHAP terhadap pengaturan bantuan hukum untuk pihak saksi/korban ?
2. Untuk mengetahui perlunya bantuan hukum jika dikaitkan dengan hak dan kewajiban saksi/korban ?
3. Untuk mengetahui upaya-upaya yang harus dilakukan untuk memberikan perlindungan hukum kepada saksi/korban ?

D. Manfaat

1. Agar menemukan sistem pengaturan bantuan hukum untuk pihak saksi/korban.
2. Agar memahami perlunya bantuan hukum untuk pihak saksi/korban.
3. Agar saksi/korban mendapat perlindungan hukum sesuai dengan hak-haknya.

E. Metodologi

Metode pengumpulan data yang penulis gunakan yaitu dengan observasi melalui media elektronik (internet). Dan untuk menganalisa data, penulis menggunakan teknik pendekatan yang bersifat kualitatif yaitu metode yang datanya diperoleh berdasarkan analisis-analisis teori dan asumsi umum.

BAB II

PEMBAHASAN
A. Letak Kelemahan KUHAP terhadap Pengaturan Bantuan Hukum untuk Pihak Saksi/Korban
Sebenarnya masalah pengaturan bantuan hukum untuk pihak saksi/korban tidak ada pengaturannya dalam KUHAP. Tidak ada satu pasal pun yang menyebutkan mengenai adanya pengaturan bantuan hukum untuk pihak saksi/korban.
Meskipun demikian, Reny Rawasita Pasaribu (2005:2) mengatakan bahwa perlindungan terhadap saksi dalam KUHAP diatur dalam Pasal 116-120 dan Pasal 159-179, dimana diatur bahwa :
1. adanya kewajiban mengucapkan sumpah bagi saksi, kecuali untuk:
a. anak yang umurnya belum cukup 15 tahun (Pasal 171 butir (a))
b. orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali (Pasal 171 butir (b))
2. dapat didengarnya kesaksian saksi tanpa kehadiran terdakwa (Pasal 173)
3. dapat ditunjuknya juru bahasa bagi saksi yang tidak pahambahasa
indonesia (Pasal 177)
4. dapat ditunjuknya penterjemah bagi saksi bisu tuli serta tidak dapat menulis (Pasal 178).
Akan tetapi, Mekanisme perlindungan yang ada dalam KUHAP tersebut dalam perkembangannya sangat tidak memadai dalam upaya mendukung proses penegakan hukum dan keadilan.
Dalam kenyataannya, hukum pidana materil dan formil hanya lebih menekankan kewajiban saksi dari pada hak-haknya. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 224 dan Pasal 522 KUHP .
Dimana dalam Pasal 224 menyebutkan bahwa barangsiapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi suatu kewajiban yang menurut undang-undang selaku demikian harus dipenuhinya,diancam :
Ke-1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.
Ke-2. dalam perkara lain, dengan pidana paling lama enam bulan. (Prof. Moeljatno, S.H., 2003:84).
Selain itu dalam Pasal 184 (1) KUHAP hanya menyebutkan bahwa saksi merupakan salah satu alat bukti sehingga secara tersirat dapat dilihat bahwa saksi wajib memberikan keterangan/kesaksiannya karena keterangan saksi adalah alat bukti utama untuk membantu hakim menjatuhkan putusan untuk terdakwa.
Karena kelemahan-kelemahan KUHAP inilah, sejak sebelum orde reformasi pun, banyak kalangan yang menyatakan perlunya revisi terhadap substansi dalam KUHAP. Salah satunya adalah masalah pengaturan bantuan hukum untuk pihak saksi/korban. Karena meskipun saksi diberikan perlindungan namun dalam realitanya, saksi/korban tidak mendapatkan perlindungan hukum yang semestinya.
Oetojo oesman (1996:2) mengatakan kalau kita terbatas hanya melihat KUHAP, kita harus melihat dulu terbentuknya KUHAP itu bagaimana. Disamping itu juga kita harus melihat kepada perundang-undangan yang lain, maka bisa saja terjadi pengembangan-pengembangan. Kalau hal itu dirasa tidak cukup, bisa saja dituangkan dalam bentuk peraturan tertulis. Kelemahan KUHAP lebih terletak pada pelaksanaannya.
Advokasi RUU KDRT (2004:3) mengatakan pandangan yang menganggap semua masalah kejahatan harus diatur dalam suatu kodifikasi hukum seperti KUHP atau KUHAP adalah pandangan yang sempit dan ketinggalan zaman serta tidak sesuai dengan tuntutan yang ada. Karena pada era modernisasi dimana pembagian kerja semakin kompleks,kebutuhan aan adanya peraturan-peraturan khusus yang bisa menjangkau permasalahan di lapangan semakin mendesak untuk segera diakomodir.
Salah satu contoh dari pendapat diatas adalah masalah kekerasan dalam rumah tangga yang memiliki konteks permasalahan yang spesifik sehingga dibutuhkan secara khusus aturan dalam bentuk sebuah UU. Menilik soal ini, didalam KUHAP ternyata sejauh ini terbukti tidak mampu memberi perlindungan bagi korban KDRT. Karena aturan tersebut masih sangat umum, tidak mempertimbangkan kesulitan-kesulitan korban untuk mengakses perlindungan hukum (Advokasi RUU KDRT, 2004:3).
B. Perlunya Bantuan Hukum dikaitkan dengan Hak dan Kewajiban Saksi/Korban
Bantuan hukum untuk pihak saksi/korban dibutuhkan karena hal itu terkait dengan hak dan kewajiban saksi/korban. Pemberian bantuan ini dianggap perlu mengingat bahwa ini adalah bentuk keadilan yang harus diberikan kepada seluruh pihak yang terlibat dalam perkara baik itu terdakwa, saksi, dan korban maupun keluarganya. Hal tersebut sering kali terlupakan, padahal semangat kita untuk menghukum terdakwa tidak boleh melupakan kita akan keadilan dan pemulihan bagi para pihak lainnya. Untuk itulah perlu adanya bantuan hukum dalam bentuk perlindungan terhadap hak para pihak dalam suatu peristiwa kejahatan baik terhadap terdakwa maupun terhadap saksi dan korban (Amir Syamsuddin, 2003:2).
Amir Syamsuddin (2003:2) mengatakan bahwa “Asas persidangan yang fair mengisyaratkan adanya perlindungan terhadap hak terdakwa, hak korban, dan hak saksi secara baik sejak tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai pemeriksaan di pengadilan sehingga pengadilan dapat berjalan secara transparan, independen, dan adil”.
“Saksi adalah mereka yang mempunyai pengetahuan sendiri berdasarkan apa yang dialaminya, dilihatnya, dan/atau didengarnya berkenaan dengan dugaan terjadinya tindak pidana. Berdasarkan definisi tersebut, maka tidaklah mustahil saksi adalah juga korban-pihak yang dirugikan dari peristiwa tersebut” (Komnas HAM, 2004:1).
Yang dilihat disini adalah bahwa perlunya bantuan hukum demi untuk memberikan perlindungan karena saksi adalah kunci dalam pengungkapan perkara pidana. Jika suatu tindak pidana tanpa ada saksi, akan sulit bagi para penegak hukum untuk mengungkap siapa pelakunya. Kesulitan yang sama, ketika saksi tidak mau memberikan kesaksiannya karena adanya tekanan baik yang sifatnya fisik maupun mental yang ditujukan kepada para saksi atau keluarga saksi maupun orang terdekat saksi. Sehingga jelas disini, saksi harus dilindungi secara hukum sebab posisi mereka termasuk dalam posisi yang berat dilihat dari konsekuensi yang harus ditanggung. Konsekuensi itu dapat berupa ancaman, kekerasan fisik, diadukan balik dengan tuduhan pencemaran nama baik, alasan penyuapan dll.
Beberapa aturan atau perundang-undangan telah ada ketentuan atau pasal yang memberikan perlindungan hukum sehubungan dengan hak dan kewajiban saksi/korban. Misalnya dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pasal 15 yang menyebutkan bahwa KPK berkewajiban memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan atau memberikan keterangan mengenai tindak pidana korupsi. Kemudian dalam UU No. 23 Tahun 2002, Pasal 18 menyebutkan bahwa “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya”. Selain itu dalam PP No. 2 Tahun 2002 tentang Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksidalam Pelanggaran Berat HAM, disebutkan bahwa setiap korban dan saksi dalam pelanggaran berat HAM berhak untuk mendapat perlindungan dari aparat penegak hukum.
Dari ketentuan diatas dapat diketahui bahwa seorang saksi berhak untuk memperoleh perlindungan hukum dan berkewajiban untuk disumpah sebelum menyampaikan kesaksiannya didepan pengadilan.
Sedangkan hak-hak korban antara lain:
1. Berhak atas kompensasi/restitusi;
2. Berhak atas pembinaan dan rehabilitasi;
3. Berhak menolak menjadi saksi;
4. Berhak atas perlindungan dari ancaman pelaku;
5. Berhak didampingi penasihat hukum; dll.
Dan kewajiban korban yaitu :
1. Tidak menciptakan korban dengan mengadakan pembalasan;
2. Ikut berpartisipasi dalam mencegah viktimisasi lebih lanjut;
3. Bersedia dibina atau membina dari sendiri untuk tidak menjadi korban lagi;
4. Tidak menuntut kompensasi yang berlebihan;
5. Menjadi saksi jika tidak membahayakan diri sendiri atau keluarganya.
Perlunya bantuan hukum untuk pihak saksi/korban yang juga menjadi merupakan bentuk kesetaraan dan keadilan dalam proses perkara pidana adalah demi peningkatan harkat dan martabat pengadilan. Untuk mewujudkan hal ini, diperlukan suatu sistem pengadilan inkuisitorial (inquisitorial system) yang memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada para pihak (the right to confront and examine each another) dalam perkara karena sistem ini dapat memberikan rasa keadilan dan perlindungan kepada para subyek dalam perkara (subject to the witness protection) sehingga mereka mendapatkan kesetaraan (equal footing) dalam membela hak-hak hukumnya (Amir Syamsuddin, 2003:3).
C. Upaya-upaya untuk Memberikan Perlindungan Hukum kepada Saksi/Korban
Mengingat bahwa perlindungan KUHAP belum mencerminkan asas persamaan dimuka hukum maka saksi/korban membutuhkan suatu perangkat hukum untuk melindungi mereka. Perangkat hukum itu adalah dengan membentuk UU Perlindungan Saksi dan Korban. Upaya ini harus segera dilaksanakan oleh pemerintah. Sebab tanpa adanya perlindungan dari pemerintah, akan semakin banyak korban dan saksi yang enggan memberikan keterangan di depan pengadilan karena banyaknya tekanan yang mereka alami. Padahal keterangan dari saksi korban maupun saksi yang melihat atau mendengar langsung peristiwa pidana tersebut sangatlah penting guna menemukan dan mencari titik terang pidana yang dilakukan pelaku. Perlindungan tersebut bukan hanya untuk pribadi seorang saksi saja tetapi juga untuk saudara, keluarga (anak dan istri), bahkan orang bekerja dengan/kepada saksi itu (Adnan Topan Husodo, 2005:1).
Gagasan untuk membuat perangkat hukum yang dapat memberikan perlindungan bagi saksi dan korban tersebut maka akhirnya diwacanakanlah pembentukan RUU Perlindungan Saksi dan Korban.
“Perintah pembentukan RUU Perlindungan Saksi dan Korban merupakan amanat dari Ketetapan MPR NO. VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang ditetapkan tanggal 9 November 2001. Mulanya RUU Perlindungan Saksi dan Korban direncanakan untuk memberikan perlindungan terhadap para pihak yang memberikan kesaksian terhadap kasus-kasus korupsi” (Reny Rawasita Pasaribu, 2005:2-3).
Dimana seorang saksi perlu mendapatkan perlindungan hukum dari ancaman para pihak yang tidak menyenangi atau merasa dirugikan atas apa yang telah disampaikan seorang saksi dugaan korupsi kepada publik (Adnan Topan Husodo, 2005:1).
Perangkat hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap saksi atau korban dalam kasus tindak pidana korupsi yaitu Pasal 15 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) yang menyebutkan tentang perlindungan saksi yang meliputi pemberian jaminan keamanan dengan meminta bantuan dari kepolisian atau mengganti identitas pelapor atau melakukan evakuasi termasuk melakukan perlindungan hukum. Selain itu ada pula Pasal 5 dan 6 PP No. 71 Tahun 2000 tentang Cara Pelaksanaan dan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi yang memaparkan pemberian perlindungan hukum baik mengenai status hukum atau rasa aman,penegak hukum wajib merahasiakan identitas pelapor atau isi informasi yang disampaikannya serta pengamanan fisik kepada pelapor dan keluarganya (Heru Susetyo, 2005:2-3).
Heru Susetyo (2005:3) menambahkan bahwa masalahnya adalah, pasal-pasal diatas amat indah didengar, namun belum mewujud dalam kenyataannya. Tanpa bermaksud merendahkan KPK, lembaga ini baru berdiri dan belum teruji dalam hal perlindungan saksi tindak pidana korupsi. Membiarkan KPK bekerja sendiri melindungi saksi tanpa dukungan negara dan masyarakat jelas kurang arif. Apalagi di tengah ketiadaan UU Perlindungan Saksi.
Legalisasi terhadap RUU Perlindungan Saksi hendaknya segera dilakukan pemerintah jika ingin mempercepat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Akan tetapi dalam perkembangannya perlindungan saksi dan korban juga dirasakan sangat penting dalam kasus-kasus lain seperti kasus pelanggaran HAM, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT),perlindungan anak dll.
Reny Rawasita Pasaribu (2005:3) mengatakan untuk kasus pelanggaran HAM, pemerintah kemudian membuat PP No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM berat yang diharapkan mampu mandorong terwujudnya proses peradilan HAM yang adil dan mampu mengungkapkan kebenaran materil. PP ini juga berdasarkan Pasal 34 (1) UU No. 26 Tahun 2002 tentang Pengadilan HAM, menyatakan “Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun”.
Perangkat hukum diatas tersebut dianggap oleh banyak pihak masih jauh dari memadai. Bentuk pengaturan yang dikeluarkan dalam bentuk PP, bukannya undang-undang, berimplikasi pada kekuatan memaksanya yang tidak cukup besar. Dari sisi substansi, PP tersebut tidak mengatur secara rinci bentuk-bentuk perlindungan yang dapat diberikan. Alhasil, tidak heran jika kemudian dalam prakteknya kasus-kasus pengadilan HAM di Indonesia masih terus terbentur di proses kesaksian (Reny Rawasita Pasaribu, 2005:3).
Perlindungan saksi dan korban yang diatur lebih lanjut dalam PP No. 2 Tahun 2002 sebenarnya ketentuan tersebut masih bersifat parsial tidak bersifat universal untuk semua perkara kejahatan. (Amir Syamsuddin, 2003:2). Oleh sebab itu, kita menyadari pentingnya pengadaan sebuah lembaga perlindungan saksi dan korban dalam mekanisme peradilan HAM. Argumentasi tersebut didasrkan pada fakta real pincangnya proses peradilan HAM akibat tidak adanya mekanisme perlindungan saksi dan korban (Komnas HAM, 2004:1).
Di sisi lain, kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) mengisyaratkan bahwa adanya RUU anti KDRT menjadi penting, karena RUU tersebut mencantumkan mekanisme yang didasarkan pada kebutuhan dan kepentingan korban, yang antara lain pokok-pokoknya berisi kewajiban masyarakat dan negara untuk melindungi korban, perintah perlindungan terhadap korban serta perintah pembatasan gerak sementara terhadap pelaku, bantuan hukum bagi korban, perlindungan saksi dsb (Advokasi RUU KDRT, 2004:2).
“Pengaturan yang terpisah-pisah dan belum memadainya berbagai perangkat hukum yang mampu memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban tersebut menggambarkan kesemrawutan sistem perlindungan saksi dan korban yang dimiliki Indonesia. Untuk itulah RUU Perlindungan Saksi dan Korban semakin mendesak keberadaannya” (Reny Rawasita Pasaribu, 2005:4-5).
Menyadari pentingnya RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban, beberapa Organisasi Non-Pemerintah (Ornop) membentuk koalisi untuk menguatkan jaringan advokasi untuk mempercepat terbentuknya UU Perlindungan Saksi dan Korban. Beberapa anggota dari koalisi tersebut adalah ICW, TAPAL, PSHK, LeIP, MAPPI FHUI, KRHN, KONTRAS, JARI, JATAM, P3I, WALHI, AJI, LBH APIK, LBH Jakarta, Solidaritas Perempuan, Mitra Perempuan, KOPBUMI, dan BAKUBAE (Reny Rawasita Pasaribu, 2005:5).
Koalisi Perlindungan Saksi telah berhasil merumuskan pokok-pokok pikiran tentang RUU Perlindungan Saksi dan Korban, naskah akademis, RUU Perlindungan Saksi dan Korban versi Koalisi, dan berbagai kajian terkait dengan perlindungan saksi dan korban. Selain itu berbagai bentuk desakan telah ditujukan kepada para anggota DPR dan pemerintah sejak tahun 2003 agar mempercepat pembahasan RUU ini (Reny Rawasita Pasaribu, 2005:5).
Selain bentuk perlindungan normatif yaitu dengan disahkannya UU Perlindungan Saksi dan korban yang saat ini masih berupa rancangan undang-undang, adanya UU tersebut akan mengakibatkan adanya perlindungan psikologis. Sebab, bagaimanapun juga ketika seseorang dipanggil polisi, mereka selalu merasa sudah bersalah. Ini dikarenakan ketidaktahuan mereka untuk membedakan kapasitas pemanggilan itu apakah sebagai terdakwa atau hanya sebagai saksi. Perasaan bersalah inilah yang kemudian menimdulkan rasa takut sehingga tanpa disadarinya, ia akan mengiyakan saja semua pertanyaan yang ditujukan kepadanya.
Disamping perlindungan secara normatif, secara empiris pun masyarakat dan pemerintah wajib mengupayakan perlindungan terhadap para saksi whistleblower yaitu seorang pegawai (employee) atau karyawan dalam suatu organisasi yang melaporkan, menyaksikan, mengetahui adanya kejahatan ataupun adanya praktik yang menyimpang dan mengancam kepentingan publik di dalam organisasinya dan yang memutuskan untuk mengungkap penyimpangan tersebut kepada publik atau instansi yang berwenang (wilkipedia, Columbia electronic encyclopedia : 2005). Antara lain dengan tidak mudah mengungkap identitas mereka dan keluarganya untuk tujuan-tujuan yang kurang penting mengingat perlindungan secara normatif dan legalis saja kurang cukup di negeri ini (Heru Susetyo, 2005:4).
Mungkin perlu juga digali dari khasanah kearifan lokal negeri ini, suatu mekanisme, entah bernama hukum kebiasaan, adat, solidaritas, semi autonomous sicial field, apapun namanya, yang dapat saling memproteksi orang-orang yang perlu diproteksi tanpa harus terlalu bergantung pada lembaga negara ( Heru Susetyo, 2005:4).
“…perlindungan yuridis dalam bentuk perlindungan hukum yang memadai melalui undang-undang mutlak patut dibutuhkan… Selain itu, patut dipertimbangan pula seorang pelapor… diberikan reward dalam menghargai langkah berani yang dilakukannya… apa salahnya dia mendapatkan Bung Hatta award…” (Muh. Risnain, 2005:1).
Bagi korban sendiri yaitu dengan memberikan jaminan pemulihan secara fisik dan mental. Dan terakhir, menigkatkan harkat dan martabat korban dengan memperlakukannya secara layak yang disesuaikan dengan kondisi kejahatan yang menimpa mereka khususnya tindak kekerasan yang berkaitan dengan perempuan dan seksualitas (Amir Syamsuddin, 2003:3).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Letak kelemahan KUHAP terhadap pengaturan bantuan hukum untuk pihak saksi/korban yaitu tidak adanya satu ketentuan atau pasal yang menjelaskan tentang pengaturan bantuan hukum untuk pihak saksi/korban dalam KUHAP. Meskipun begitu, dalam KUHAP diatur mengenai perlindungan terhadap saksi, hanya saja aturan tersebut hanya menekankan pada kewajiban saksi. Kelemahan dalam KUHAP terletak pada pelaksanaannya yang belum memadai untuk memberikan penegakan hukum dan keadilan di Indonesia.
2. Bantuan hukum sangat diperlukan bagi saksi/korban karena saksi/korban adalah pihak yang penting dalam sebuah perkara pidana dan hal itu dilihat sehubungan dengan hak dan kewajiban mereka. Bantuan hukum itu dapat memberikan suatu perlindungan kepada saksi/korban, keluarganya, orang terdekat maupun orang yang bekerja bersama mereka sehingga mereka terhindar dari segala macam bentuk kekerasan fisik maupun mental (ancaman), penyuapan dan diadukan balik dengan tuduhan pencemaran nama baik. Selain itu dalam proses penyelesaian perkara di pengadilan harus memberikan keadilan bagi seluruh pihak yang terkait dengan perkara tersebut, salah satunya yaitu dengan memperhatikan hak dan kewajiban saksi/korban.
3. Upaya-upaya untuk memberikan perlindungan hukum kepada saksi/korban yaitu dengan membentuk UU Perlindungan Saksi dan Korban sebagai perlindungan normatif yang memberikan keadilan bagi saksi dan korban, perlindungan psikologis mengenai status hukum bagi saksi, perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi dan keluarganya dari ancaman fisik dan mental, perahasiaan identitas korban atau saksi, pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka, pemberian penghargaan atau award kepada para saksi khususnya dalam kasus tindak pidana korupsi, peningkatan harkat dan martabat korban dengan pemberian jaminan adanya pemulihan secara fisik maupun mental khususnya tindak kekerasan yang berkaitan dengan perempuan dan seksualitas, serta suatu mekanisme, entah bernama hukum kebiasaan, adat, solidaritas, semi autonomous social field, apapun namanya, yang dapat saling memproteksi orang-orang yang perlu diproteksi tanpa harus terlalu bergantung pada lembaga negara.
B. Saran-saran
1. Pemerintah dapat memberikan suatu perangkat hukum berbentuk UU untuk melindungi saksi/korban.
2. Para penegak hukum dapat memberikan kebebasan kepada saksi/korban untuk mendapatkan bantuan hukum.
3. Baik pemerintah maupun para penegak hukum dapat menghormati dan menghargai hak dan kewajiban saksi/korban.
4. Untuk saksi/korban dapat melaksanakan kewajibannya dan memperoleh hak-haknya.
5. Semoga kesetaraan dan keadilan bagi seluruh pihak dapat diwujudkan dalam setiap proses persidangan dan atau penyelesaian suatu perkara pidana demi tercapainya penegakan hukum dan berlakunya sistem peradilan inkuisatorial yang semestinya di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

HAM, Komnas. 2004. Perlindungan Saksi dan Korban dalam Peradilan HAM. Tempo Interaktif, (Online), diakses 29 Juni 2006.
Hamzah, Andi. 2005. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.
Husodo, Topan, Adnan. 2005. Pentingnya UU Perlindungan Saksi dalam Memberantas Korupsi. Solusi Hukum.com, (Online), diakses 29 Juni 2006.
Karjadi, M. & Soesilo, R. 1997. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar. Bogor : Politeia.
KDRT, RUU, Advokasi. 2004. Pentingnya RUU Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Online), diakses 29 Juni 2006.
Moeljatno. 2003. KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta : Bumi Aksara.
Oesman, Oetojo.1996. Tidak Menutup Kemungkinan Direvisi. IN : FORUM, (Online), diakses 29 Juni 2006.
Pasaribu, Rawasita, Reny. 2005. RUU Tentang Perlindungan Saksi dan Korban : Perjalanan Panjang Perlindungan Hukum Bagi Pengungkap Tindak Pidana.
Parlemen.net, (Online), diakses 29 Juni 2006.
Risnain, Muh. 21 Mei 2005. Khairiansyah pantas dapatkan Bung Hatta award. Kepada Heru Susetyo (Hukum Online.com).
Susetyo, Heru. 2005. Perlindungan Terhadap Saksi Perkara Korupsi. Hukum Online.com, (Online), diakses 29 Juni 2006.
Syamsuddin, Amir. 2003. Menyaksikan Sidang Pengadilan Indonesia. KOMPAS : Amanat Hati Nurani Rakyat, (Online), diakses 29 Juni 2006.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, (Online), diakses 29 Juni 2006).

Azas-Azas Hukum Acara Pidana





1). Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan disebut azas isonamia atau equality before the law.

2). Azas praduga tak bersalah (presumption of innocence)
Setiap orang yang disangka,ditangkap,ditahan,dituntut atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

3). Azas peradilan cepat,sederhana dan biaya ringan (Contante justice)

4) Pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum (pasal 153 (3) KUHAP).

5). Tersangka/terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum (pasal 69 s/d 74 KUHAP).

6). Pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan (tidak boleh diwakili) atau pengadilan memeriksa dengan hadirnya terdakwa.(pasal 154-155,KUHAP).

ILMU-ILMU PEMBANTU HUKUM ACARA PIDANA





1. Logika
Berpikir dengan akal budi yang sehat berdasarkan atas hubungan beberapa fakta adalah berpikir berdasarkan alam pikiran manusia secara sehat. Bagian Hukum Acara Pidana yang membutuhkan pemakaian logika adalah masalah pembuktian dan metode pembuktian.

2. Psikologi
Ilmu pengetahuan yang berusaha memahami manusia dengan tujuan untuk dapat memberlakukannya secara lebih tepat.

3. Kriminalistik
Suatu pengetahuan yang berusaha untuk menyelidiki kejahatan dalam arti seluas-luasnya, berdasarkan bukti-bukti dan keterangan-keterangan mempergunakan hasil yang ditemukan oleh ilmu pengetahuan lainnya.

Ilmu pengetahuan yang termasuk kriminalistik:
a. Ilmu kedokteran forensik(kedokteran Kehakiman)
b. Toksikologi forensik (mempelajari tentang racun)
c. Ilmu kimia forensik
d. Balistik kehakiman (mempelajari tentang senjata api)
e. Dactyloscopie (mempelajari tentang Sidik jari)

4. Psikiatri
Ilmu yang mempelajari jiwa manusia,jiwa manusia yang sakit.

5. Kriminologi
Ilmu yang mempelajari sebab-sebab terjadinya kejahatan dan bagaimana cara pemberantasannya.

6. Hukum Pidana
Dengan sendirinya Hukum Acara Pidana, membutuhkan ilmu pembantu hukum pidana sebab, tugas Hukum Acara Pidana adalah mempertahankan Hukum Pidana Materiil.

Contoh Perjanjian Jual Beli





PERJANJIAN JUAL BELI MOTOR


Yang bertanda tangan di bawah ini :
1.Nama : ALBERT LOLONG
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
Tempat / Tanggal Lahir : Makassar / 30 September 1985
Agama : Kristen

Bertempat tinggal di Jl. Perintis Kemerdekaan.No. 2002. Makassar. Dalam hal ini bertindak untuk diri sendiri dari dan selanjutnya disebut penjual;
2. Nama : ANTI
Pekerjaan : Wiraswasta
Tempat / Tanggal Lahir : Makassar / 21 februari 1988
Agama : Islam

Bertempat tinggal di Jl. Andi Tonro No. 2010. Makassar. Dalam hal ini bertindak untuk diri sendiri dan selanjutnya disebut pembeli dengan ini menerangkan bahwa :

Penjual adalah pemilik sah dari Motor Bebek Merk Ini, yang selanjutnya disebut unit. Penjual bermaksud menjual unit tersebut kepada pembeli dan pembeli bersedia membeli unit tersebut dari penjual berdasarkan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah disetujui oleh penjual dan pembeli
Karena itu penjual dan pembeli telah saling bersetuju membuat perjanjian ini dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan sebagai berikut ini :

Pasal 1
(1). Berdasarkan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan perjanjian ini, penjual dengan ini menjual dan menyerahkan kepada pembeli yang dengan ini membeli dan menerima penyerahan dari penjual atas unit tersebut.
(2) Unit tersebut menjadi milik pembeli dan pembeli mempunyai hak milik penuh atas unit tersebut terhitung sejak tanggal penyerahan unit.


Pasal 2
(1) Harga unit tersebut telah disetujui oleh penjual dan pembeli secara tunai sebesar Rp.220.000.000,00 per unit.
(2) Jika jual beli dilakukan secara angsuran, harga unit tersebut telah disetujui oleh penjual dan pembeli dengan tambah 35% dari harga tunai, yang dapat diangsur sebanyak 13 (Tiga Belas) angsuran, dengan jumlah angsuran yang sama.

Pasal 3
(1) Harga unit tersebut dibayar secara tunai oleh pembeli kepada penjual sebesar Rp.220.000.000,00 Pada saat unit itu diserahkan oleh penjual kepada pembeli, dengan diberikan tanda pembayaran lunas yang sah.
(2) Dalam hal jual beli dilakukan secara angsuran, harga unit tersebut dibayar untuk angsuran pertama sebesar Rp.100.000.000,00 pada saat penyerahan unit itu dari penjual kepada pembeli, dengan diberikan tanda pembayaran lunas yang sah angsuran pertama.

Pasal 4
(1) Semua biaya penyerahan dan biaya-biaya lainnya yang timbul dari perjanjian ini dipikul oleh pembeli.
(2) Unit yang telah dijual dan diterima penyerahannya oleh pembeli tidak dapat ditukar, dikembalikan, atau dibatalkan.
(3) Risiko karena kerusakan, kehilangan, kemusnahan yang disebabkan oleh apapun atas unit tersebut dipikul oleh pembeli.

Pasal 5
(1) Penjual dengan ini menyatakan dan menjamin pembeli bahwa unit bebas dari hutang pajak atau bea-bea masuk, tidak tersangkut dalam suatu perkara, tidak dijual atau dijanjikan untuk dijual kepada pihak lain selain dari pembeli.
(2) Penjual menjamin pembeli bahwa unit/unit-unit dalam keadaan baik dan menjamin biaya service selama satu tahun atas kerusakan karena kesalahan perakitan.

Pasal 6
(1) Setiap bulan tunggakan pembayaran angsuran, pembeli dikenakan denda sebesar 15 % dari harga angsuran yang wajib dibayar bersama-sama dengan harga angsuran.
(2) Apabila pembeli telah melakukan tunggakan pembayaran tiga kali berturut-turut padahal sudah diperingatkan secara patut, maka terdapat bukti yang cukup bahwa pembeli telah melakukan wanprestasi tanpa diperlukan pernyataan hakim atau somasi.
(3) Pembeli menyetujui dan memberi kuasa penuh kepada penjual untuk menarik kembali unit tersebut guna dijual kepada pihak ketiga dan hasil penjualan itu digunakan untuk menutupi tunggakan angsuran beserta denda dan biaya-biaya setelah dikurangi dengan tunggakan-tunggakan, denda-denda, dan biaya-biaya lainnya, maka sisa tersebut dikembalikan kepada pembeli.

Pasal 7
(1) Penjual dan pembeli setuju menyelesaikan sengketa yang timbul dan perjanjian ini secara musyawarah dan mufakat.
(2) Jika tidak tercapai penyelesaian secara musyawarah dan mufakat, maka penjual dan pembeli memilih tempat tinggal tetap di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Makassar guna penyelesaian perjanjian ini dan segala akibat hukumnya.

Demikianlah perjanjian ini dibuat di Makassar pada hari ini Senin tanggal 7 Desember 2009, dan ditandatangani bersama oleh penjual dan pembeli.




Pihak Pembeli Pihak Penjual



ANTI ALBERT LOLONG

Jumat, 18 Desember 2009

The Notary Outbond 2010



The Notary Outbond


Dengan motto : FUN and FIT Pengda INI Surabaya mengajak rekan-rekan notaris di Surabaya dan Daerah-daerah lain serta para anggota luar biasa INI ( terbatas ) untuk mengisi semangat dalam menghadapi tahun baru 2010 dengan acara kegiatan yang penuh gelak tawa, fun, energik dan inspirasional.

Acara Outbond diadakan :
Tempat : Kebun Teh Wonosari Lawang (PTPN XII)

Waktu : Sabtu, 16 Januari 2010 mulai pukul 07.00 - 15.00 WIB

Kegiatan : Senam Aerobic ( hot hot hot... )
Hiking ( Mengitari kebun Teh )
Games ( team work ), Rintangan ( Fun abis deh )
Seminar Sex Stress/Kesehatan ( Pembicaranya top abis... )
Hiburan Band Notarius ( lomba Vocal Group )

Syarat peserta : Bentuk group/team (10-12 orang, tidak harus dari satu Pengda;
disiapkan sebelum acara lebih baik, atau dibentuk pada saat acara juga
okey)
Siapkan Yel-Yel dan nama group ( nama binatang )

Kontribusi : Rp.150.000,- ( sudah termasuk Kaos, jajanan pagi, snack, makan siang )
( kalau ada yang mau nyumbang lebih Panitia dengan senang hati
menerimanya..:)

Hadiah : Group terkompak ( Pemenang 1, 2, 3 )
Group Favorite ( 1 Pemenang )
Group terhebooh (1 Pemenang )
Vocal Group terbaik ( Pemenang 1, 2, 3 )
Lucky draw

Pendaftaran : rekan Mamik Jatmiko ( 0811327044 ), Anggraini Neny ( 0811337475 ),
Vonny ( 0818314103 )
rekan Wina Ustriani ( 0818374547 )
rekan Dwi Rosuliati ( 08123275342 ), Grace ( 0811374255 )
rekan Etty Soestiherawati ( 08155185508 )
rekan Dotty ( 0811379273 )
rekan Itta Andrijani ( 08125266770 )

Transportasi : disarankan membawa mobil sendiri ( berangkat rombongan ), panitia
menyediakan Bus jika peminat mencukupi ( syarat daftar 1 minggu \
sebelumnya )

Penginapan : Bagi peserta yang hendak menginap pada H-1, panitia akan membantu
booking tempat (villa-villa di sekitar lokasi)

Buruan daftar rekan-rekan...rugi banget deh kalau kelewatan acara heboh di awal tahun ini... ayo kita recharge semangat kebersamaan sambil berguyub ria !

Salam
Panpel The Notary Outbond

Senin, 06 April 2009

Prinsip sifat mengikatnya suatu Perjanjian/Kontrak
dalam hal terjadi Perubahan Keadaan
menurut
Klausula Rebus sic stantibus (Hukum Kanoniek), Klausula
Kepatutan (KUHPdt)dan Klausula Hardship (UNIDROIT)

Tidaklah afdol jika kita membahas Hukum Kontrak apabila tidak dimulai dari pembahasan mengenai asas kebebasan berkontrak ( contracs vrijheid atau party autonomie ); yang merupakan tiang pokok bangunan Hukum Perdata dibidang Hukum Perikatan.

Dan asas ini dapat disimpulkan dari pasal 1338 KUHPdt yang jika kita analisa terdiri dari 3 asas utama yaitu Asas konsensualisme ( terjadinya perjanjian cukup dengan adanya persetujuan kehendak para pihak), Asas kekuatan mengikat dari perjanjian ( perjanjian berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya ) dan Asas kebebasan berkontrak ( para pihak bebas menentukan isi, luas dan bentuk perjanjian.

Dalam perjalanan waktu terhadap asas kebebasan berkontrak ini dipandang perlu untuk diadakan pembatasan terhadap batas-batas kebebasannya; oleh karena manusia disamping sebagai mahluk individu, dia merupakan mahluk sosial dan keberadaan hukum tidak hanya untuk melindungi kepentingan individu namun juga kepentingan masyarakat.

Dalam artikel ini penulis akan mengulas mengenai sifat mengikat suatu perjanjian dalam rangka pelaksanaan perjanjian apabila terjadi suatu perubahan keadaan. Suatu perubahan keadaan yang menyebabkan debitur berada dalam kesulitan untuk memenuhi prestasi yang diwajibkan dalam perjanjian yang dibuatnya, dan hal tersebut bukanlah suatu keadaan memaksa ( overmacht/force majeure ).

Agar lebih memudahkan pembahasan selanjutnya, maka terlebih dahulu penulis memberikan sedikit gambaran perbedaan antara Keadaan Memaksa ( Force majeure ) dan Perubahan Keadaan.

Pada Keadaan Memaksa keadaan yang berubah itu membuat tidak mungkinnya atau terhalangnya pemenuhan prestasi; sedangkan pada Perubahan Keadaan, berubahnya keadaan menimbulkan keberatan untuk memenuhi perjanjian, karena apabila itu dipenuhi, maka salah satu pihak akan menderita kerugian.

Dan apabila dianalisa lebih lanjut maka pada Keadaan Memaksa pemenuhan prestasi oleh debitur praktis menimbulkan keberatan, sebaliknya pada Perubahan Keadaan, pemenuhan prestasi dari debitur adalah sangat berat dilaksanakan.
Dari analisa tersebut dapat disimpulkan bahwa dam keadaan memaksa titik beratnya terletak pada posisi debitur yaitu debitur terhalang untuk memenuhi prestasi; sedangkan dalam prubahan keadaan titik beratnya terletak pada posisi kreditur apakah pihak kreditur berdasarkan itikad baik dan kepatutan dapat menuntut pemenuhan prestasi dari debitur.

Semenjak abad petengahan pihak dalam perjanjian tidak mau dirugikan oleh terjadinya suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian, sehingga pihak tersebut berlindung pada janji gugur secara diam-diam yang disebut sebagai klausula Rebus sic stantibus.
Klausula ini menyatakan bahwa perjanjian dianggap berlaku secara tetap selama keadaan tidak berubah dan kalau keadaan berubah maka perjanjian menjadi gugur.

Jadi dalam klausula ini tidak dibedakan apakah ketidak-dapatan pemenuhan prestasi diakibatkan oleh keadaan memaksa atau sekedar perubahan keadaan; sehingga di masa itu pihak debitur begitu mengalami suatu perubahan keadaan dapat berlindung pada janji gugur; ini berarti perjanjian menjadi batal demi hukum dengan adanya perubahan keadaan.

Dalam perkembangannya Klausula Rebus sic Stantibus mulai ditinggalkan dan masyarakat mulai membedakan antara keadaan memaksa dan perubahan keadaan, sehingga dalam pasal 1245 KUHPdt sebagai suatu alasan pembenar ( rechtvaardigingsgrond) bagi Debitur untuk tidak melaksanakan kewajibannya/prestasinya, dengan alasan bahwa akan bertentangan dengan kepatutan jika debitur dalam keadaan seperti itu tetap diwajibkan memenuhi prestasinya yang sebenarnya tidak dapat ia laksanakan.

Namun sejak tahun 1915 keputusan-keputusan Hakim sudah mulai meninggalkan force majuere / overmacht untuk menyelesaikan hal-hal mengenai perubahan keadaan dan telah mempergunakan pasal 1338 ayat 3 KUHPdt sebagai pedoman.

Hal ini dipelopori oleh Levebach dengan teorinya “economies synallagma” yang artinya harus adanya keseimbangan antara kedua belah pihak dalam pengertian ekonominya, jadi antara prestasi dan kontra prestasi secara timbal balik adalah seimbang nilainya dan apabila terjadi ketegangan yang secara obyektif merugikan atau menguntungkan salah satu pihak, hal ini merupakan resiko yang harus dipikulnya. Sehingga dengan demikian dalam hal terjadi perubahan keadaan perlulah diperhatikan pembagian resiko antara para pihak terhadap suatu
kerugian.

Perkembangan di Indonesia terlihat dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 27 April 1955 mengenai Sengketa Kebon Kopi, yang singkatnya berbunyi : Adalah pantas dan sesuai dengan rasa keadilan, apabila dalam hal menggadai tanah kedua belah pihak masing-masing memikul separo dari risiko kemungkinan perubahan harga nilai uang rupiah, diukur dari perbedaan harga emas pada waktu menggadaikan dan waktu menebus tanah itu.
Jadi menurut Yurisprudensi di Indonesia resiko atas perubahan keadaan sesuai dengan rasa keadilan dan kepantasan ( kepatutan) adalah dibagi dua.

Selanjutnya perkembangan dunia komersial pada abad 21 ini membawa perubahan pula terhadap aturan-aturan mnegnai sifat mengikatnya suatu perjanjian dalam rangka pelaksanaan perjanjian apabila terjadi perubahan keadaan telah diatur secara tersendiri diluar ketentuan tentang Keadaan Memaksa (Force Majeure) sebagaimana terlihat dalam Prinsip-prinsip Kontrak Komersial Internasional UNIDROIT.

Dalam Bab Pelaksanaan Kontrak pasal 6.2.1 Unidroit diatur bahwa apabila pelaksanaan kontrak menjadi lebih berat bagi salah satu pihak ( becomes more onerous for one of the parties), pihak tersebut bagaimanapun juga terikat melaksanakan perikatannya (that party is nevertheless bound to perform its obligations) dengan tunduk pada ketentuan tentang kesulitan.
Ketentuan pasal ini adalah untuk menghormati ketentuan pasal 1.3 mengenai prinsip umum sifat mengikat suatu kontrak ( A contract validity entered into is binding upon the parties…), namun ketentuan sifat mengikatnya suatu kontrak dalam UNIDROIT juga tidak bersifat mutlak, yaitu apabila ada perubahan fundamental atas keseimbangan dari kontrak, keadaan itu merupakan situasi yang dikecualikan dan merupakan prinsip-prinsip yang diatur dalam Klausula Hardship ( Klausula Kesulitan).

Definisi Kesulitan (Hardship) adalah peristiwa yang secara fundamental telah mengubah kesimbangan kontrak. Hal ini diakibatkan oleh biaya pelaksanaan kontrak meningkat sangat tinggi atau nilai pelaksanaan kontrak bagi pihak yang menerima sangat menurun, sementara itu :

  1. peristiwa itu terjadi atau diketahui oleh pihak yang dirugikan setelah penutupan konrak;

  2. peristiwa tidak dapat diperkirakan secara semestinya oleh pihak yang dirugikan pada saat penutupan kontrak;

  3. peristiwa terjadi diluar kontrol dari pihak yang dirugikan;

  4. resiko dari peristiwa itu tidak diperkirakan oleh pihak yang dirugikan.

Menurut prinsip hukum modern adanya perubahan keadaan tidak mempengaruhi kewajiban pelaksanaan kontrak ( lihat Pasal 6.2.1 UNIDROIT ). Oleh karena itu adanya kesulitan (hardship) tidak dapat dijadikan alasan pembatalan kontrak, kecuali perubahan itu bersifat fundamental.
C
atatan penulis : kategori suatu perubahan disebut perubahan biasa atau sebagai suatu perubahan fundamental; harus ditafsirkan secara kasus per kasus, oleh karena UNIDROIT sendiri hanya mengatur indikator suatu perubahan yang bersifat fundamental yaitu adanya kenaikan ongkos pelaksanaan kontrak dan menurunnya nilai pelaksanaan kontrak.

Akibat hukum apabila terjadi Kesulitan (Hardship), maka sesuai pasal 6.2.3 :

  1. Pihak yang dirugikan berhak untuk meminta renegosiasi kontrak kepada pihak lain. Permintaan tersebut harus segera diajukan dengan menunjukkan dasar-dasarnya.

  2. Permintaan renegosiasi tidak dengan sendirinya memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk menghentikan pelaksanaan kontrak.

  3. Apabila para pihak gagal mencapai kesepakatan dalam jangka waktu yang wajar, masing-masing pihak dapat mengajukannya ke Pengadilan.

  4. Apabila pengadilan membuktikan adanya kesulitan ( hardship) maka pengadilan dapat memutuskan untuk :
    - mengakhiri kontrak pada tanggal dan atas syarat-syarat yang ditetapkan secara
    pasti ( terminate a contract at a date and on terms to be fixed);
    - mengubah kontrak untuk mengembalikan keseimbangannya.

Kesimpulan :
Sesuai perkembangan jaman maka isi formil dari perjanjian sering harus menyisih demi kepantasan dan kepatutan.
Perubahan Keadaan tidak dapat dijadikan alasan untuk membatalkan perjanjian, kecuali terjadi perubahan itu bersifat fundamental dan oleh karena itu telah masuk ke dalam ranah Keadaan Memaksa ( Force Majeure).

Saran :
Para notaris harus memulai memikirkan perbedaan-perbedaan perubahan keadaan dalam pelaksanaan suatu perjanjian; sudah waktunya untuk menuangkan klausula Kesulitan ( Hardship Clause ) disamping klausula Force Majeure dalam setiap akta mengenai perbuatan hukum kontrak yang dibuatnya ( maksudnya suatu perjanjian yang pelaksanaannya mempunyai jangka waktu tertentu/ perjanjian berjangka waktu, misalnya : Perjanjian Kerja Sama,
Perjanjian Pemborongan, Perjanjian Pembangunan, Perjanjian Sewa Menyewa, Perjanjian/ Kontrak Suplai, dll ).
Contoh kasus yang sederhana misalnya perlu dibedakan perubahan harga oleh karena terjadinya fluktuasi kurs antara mata uang Rupiah dengan mata uang asing, dalam kasus ini bukan termasuk klausula Keadaan Memaksa ( Force Majeure) namun masih dalam taraf Klausula Hardship, sehingga Debitur tetap wajib melaksanakan kewajibannya. Keadaan seperti ini dapat kita tegaskan dalam akta mengenai tolok ukur / kriteria kapan fluktuasi kurs dapat
dikategorikan sebagai Keadaan Kesulitan atau kapan sebagai Keadaan Memaksa, misalnya dengan menentukan para pihak wajib menyesuaikan harga apabila fluktuasi kurs telah mencapai lebih dari 50 % dari kurs semula sejak di tanda tanganinya akta, dengan kewajiban masing-masing pihak menanggung sebagian sama besarnya terhadap selisih kurs tersebut, ....dst dst.
Sudah waktunya untuk memperhatikan unsur kepantasan dan kepatutan dalam Akta Otentik yang dibuat dihadapan Notaris; yang oleh karena itu Pihak Notaris sebagai pihak yang mengkonstatir kehendak para pihak ke dalam akta sudah selayaknya memberikan masukan dan pertimbangan kepada para pihak mengenai pelaksanaan perjanjian dalam hal terjadi perubahan keadaan sebagaimana diuraikan di atas.

Sby060409
Salam sejahtera
Jusuf Patrick

Minggu, 01 Maret 2009

Prinsip Kontrak Komersial International UNIDROIT

CULPA IN CONTRAHENDO / PARS PRO TOTO
(TANGGUNG JAWAB HUKUM PRAKONTRAKTUAL)
DALAM PRINSIP HUKUM UNIDROIT


Menarik sekali mengamati penggunaan istilah oleh rekan saya Bpk. Miftachul Machsun pada pertemuan berkala yang diselenggarakan oleh Pengurus INI dan IPPAT Daerah Surabaya beberapa waktu yang lalu dengan tema Ikatan Jual Beli.
Dalam makalahnya beliau menyebutkan bahwa : “Ikatan Jual Beli merupakan Perjanjian Pendahuluan ( Pactum de Contrahendo ) untuk melakukan jual beli, yaitu untuk mempersiapkan hubungan hukum Jual Beli yang merupakan tujuan pokok diadakannya perjanjian pendahuluan ini.”
Terlepas dari setuju atau tidak setuju atas pemakaian istilah tersebut, pada kesempatan ini saya akan membahas mengenai tindakan prakontraktual yang menimbulkan hak gugat yang di Jerman disebut dengan istilah “culpa in contrahendo” atau secara international lebih dikenal sebagai “Tanggung Jawab Hukum Prakontraktual” dalam praktek.
Dalam KUHPerdata hanya disebutkan bahwa suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih ( pasal 1313 KUHPdt). Definisi ini oleh J Satrio dan Purwahid Patrik dianggap mempunyai banyak kelemahan antara lain oleh karena :
- hanya menyangkut perjanjian sepihak saja;
- kata perbuatan terlalu luas karena dapat merupakan perbuatan tanpa kesepakatan, perbuatan melawan hukum dan perbuatan bukan perbuatan hukum
Dan jika kita amati lebih lanjut maka dapatlah kita simpulkan bahwa KUHPdt sama sekali tidak memperhatikan proses terjadinya kontrak/perjanjian. Padahal dalam prakteknya suatu kontrak/perjanjian dapat terjadi apabila didahului dengan adanya kesepakatan dan itu diperoleh melalui proses negosiasi ( bisa memakan waktu dan biaya yang bervariasi ).
KUHPdt hanya mengatur prinsip itikad baik (good faith) pada saat pelaksanaan kontrak; padahal sebenarnya dalam tahap negosiasi itupun sudah timbul hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh para pihak demi menegakkan prinsip itikad baik dan transaksi wajar/jujur ( good faith dan fair dealing).
Perlu kita pahami bahwa mekanisme terjadinya kontrak dalam dunia bisnis/komersial selalu didahului oleh tahap negosiasi dimana masing-masing pihak mengajukan letter of intent yang memuat keinginan masing-masing pihak untuk membuat suatu kontrak. Selanjutnya setelah ada kesepahaman atas kehendak untuk mengadakan kontrak tersebut, maka para pihak akan membuat ”Memorandum of Understanding” ( MOU) yang memuat keinginan masing-masing pihak sekaligus adanya tenggang waktu pencapaian kesepakatan untuk terjadinya kontrak. Proses inilah yang disebut sebagai proses Prakontrak.
Dalam tahap prakontrak ini masing-masing pihak harus menegakkan prinsip itikad baik, yang oleh karena itu jika salah satu pihak beritikad buruk, maka haruslah disediakan sarana hukum berupa hak gugat dan hak untuk menuntut ganti rugi dalam tahap prakontrak.
Dalam hal ini timbul banyak masalah hukum yang harus kita renungkan lebih dalam lagi bagi perkembangan Hukum Kontrak di Indonesia yaitu kapan terjadinya situasi yang disebut kondisi ”negosiasi prakontraktual”, tolok ukur penghentian negosiasi yang disebut memenuhi unsur itikad buruk sehiggga menimbulkan unsur tanggung jawab, dan lain-lain.
Sebagai pedoman marilah kita melihat prinsip-prinsip yang digunakan dalam Prinsip Kontrak Komersial International UNIDROIT ( mohon maaf dalam tulisan ini saya tidak menguraikan sejarah, latar belakang dan perkembangannya, silahkan dilihat sendiri UPICCs 1994 ).
Ada 12 prinsip hukum kontrak yang dipakai dalam UNIDROIT yaitu :

  1. Prinsip Kebebasan Berkontrak ( bebas menentukan isi dan bentuk kontrak, mengikat sebagai Undang-undang, aturan memaksa sebagai pengecualian, sifat international dan tujuan prinsip-prinsip UNIDROIT harus diperhatikan dalam penafsiran kontrak );
  2. Prinsip itikad baik ( good faith) dan transaksi wajar/jujur ( fair dealing ) ( prinsip dasar yang melandasi seluruh proses kontrak yaitu mulai dari proses negosiasi, pembuatan, pelaksanaan sampai berakhirnya kontrak (purna kontrak), ditekankan dalam praktik perdagangan international dan bersifat memaksa );
  3. Prinsip diakuinya kebiasaan transaksi bisnis di negara setempat;
  4. Prinsip Kesepakatan melalui Penawaran (Offer) dan Penerimaan ( Acceptance) atau Melalui Perilaku ( Conduct);
  5. Prinsip Larangan Bernegosiasi dengan Itikad Buruk;
  6. Prinsip Kewajiban Menjaga Kerahasiaan atas Informasi yang diperoleh pada saat Negosiasi;
  7. Prinsip Perlindungan Pihak Lemah dari Syarat-syarat Baku;
  8. Prinsip Syarat Sahnya Kontrak;
  9. Prinsip dapat dibatalkannya kontrak bila mengandung perbedaan besar ( gross disparity);
  10. Prinsip contra proferentem dalam penafsiran kontrak baku;
  11. Prinsip menghormati Kontrak ketika terjadi Kesulitan ( hardship);
  12. Prinsip pembebasan tanggung jawab dalam keadaan memaksa ( force majeur).

Dari 12 prinsip hukum kontrak ini yang relevan dalam pembahasan artikel ini adalah prinsip nomor 5 yaitu Prinsip larangan bernegosiasi dengan itikad buruk.
Pasal 2.15 UPICCs (Unidroit Principles of International Commercial Contracts) mengatur larangan tersebut sebagai berikut :

  1. A party is free to negotiate and is not liable for failure to reach an agreement.
    However, a party who negotiates or breaks off negotiations in bad faith is liable for losses to the other party.
  2. It is bad faith, in particular, for a party to enter into or continue negotiations when intending not to reach an agreement with the other party.

Jadi dalam prinsip UNIDROIT tanggung jawab hukum telah lahir sejak proses negosiasi. Dan prinsip hukum tentang negosiasi yaitu :

  1. Kebebasan negosiasi;
  2. Tanggung jawab atas negosiasi dengan itikad buruk;
  3. Tanggung jawab atas pembatalan negosiasi dengan itikad buruk.

Dalam prinsip ini kita dapat ketahui bahwa para pihak tidak hanya bebas untuk memutuskan kapan dan dengan siapa melakukan negosiasi, namun juga bebas menentukan kapan, bagaimana dan untuk berapa lama proses negosiasi dilakukan; jelas prinsip ini sesuai dengan Prinsip nomor 1 ( Pasal 1.1 ) dan tidak boleh bertentangan dengan Prinsip nomor 2 yaitu prinsip good faith dan fair dealing yang diatur dalam pasal 1.7 yang menyatakan :
"each party must act in accordance with good faith and fair dealing in international trade;
the parties may not exclude or limit this duty
."
Berdasarkan prinsip tersebut maka negosiasi tidak boleh dilakukan dengan itikad buruk dan menyimpang dari prinsip fair dealing;
Contohnya :

  • seseorang melakukan atau melanjutkan negosiasi tanpa berkeinginan mengadakan kontrak dengan maksud untuk mengalihkan perhatian lawan/saingan bisnisnya;
  • suatu pemutusan negosiasi dimana tahap perundingan sudah mencapai suatu kondisi dimana secara timbal balik para pihak telah memberikan harapan bahwa perundingan akan menjadi kontrak;
  • apabila dengan sengaja menyesatkan pihak lain mengenai isi atau syarat kontrak, baik dengan menyembunyikan fakta yang semestinya diberitahukan ataupun mengenai status pihak yang berkepentingan dalam negosiasi.

Pertanyaannya seberapa tanggung jawab pihak yang beritikad buruk tersebut ?
Tanggung jawab atas negosiasi dengan itikad buruk terbatas hanya pada kerugian yang diakibatkannya terhadap pihak lain.
Pertanyaan selanjutnya apakah pihak yang dirugikan dapat menuntut selain biaya yang dia keluarkan juga ganti rugi dan bunga seperti yang diatur dalam pasal 1243 s/d pasal 1252 KUHPdt?
Menurut penulis pihak yang dirugikan tidak dapat menuntut berdasarkan yang tertulis dalam KUHPdt, oleh karena Bab I bagian 4 Buku III KUHPdt hanya mengatur tentang Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan; jelas disini yang ada baru negosiasi prakontrak, belum ada perikatannya.
Penuntutan hanya dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip good faith dan fair dealing dari hukum UNIDROIT tersebut; yang dapat ditafsirkan bahwa Pihak yang dirugikan hanya dapat menuntut pengembalian atas biaya yang telah dikeluarkan dan atas kehilangan kesempatan untuk melakukan kontrak dengan pihak ketiga. Akan tetapi ia tidak dapat menuntut ganti rugi atas keuntungan yang diharapkan dari kontrak yang batal diadakan itu.
Kesimpulannya :
Proses negosasi antara para pihak walaupun belum menimbulkan kontrak / hubungan hukum antara mereka, namun telah menimbulkan tanggung jawab hukum; yaitu apabila seseorang membatalkan negosiasi tanpa alasan yang sah atau dengan kata lain seseorang telah melakukan bad faith dan/atau unfair dealing dalam proses negosiasi, maka ia dapat dituntut pertanggung jawaban secara hukum.

Selasa, 03 Februari 2009

Dilema Sisminbakum

Pemberitahuan dari situs resmi Sistem Administrasi Badan Hukum di http://www.sisminbakum.go.id/public/archives/5#comments
Surat Pemberitahuan
February 2nd, 2009

Bersama ini kami beritahukan bahwa telah terjadi gangguan pada Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) sebelumnya dikenal dengan istilah sisminbakum sejak tanggal 27 November 2008. Pada tanggal tersebut seluruh peralatan yang digunakan dalam rangka Pendirian, Perubahan, Penyesuaian atau Pengesahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas disita oleh pihak Kejaksaan Agung sehingga sistem administrasi badan hukum tidak berjalan seperti sebelumnya. Pada tanggal 5 Januari 2009 kami telah mengupayakan langkah langkah darurat agar pelayanan publik tetap terselenggarakan dengan baik. Namun sejak tanggal 6 Januari 2009 Menteri Hukum dan HAM dan Tim Restrukturisasi telah disomasi oleh Tim Pembela PT. SRD untuk tidak menggunakan barang sitaan (berdasarkan pasal 40 KUHAP) tersebut walaupun untuk melaksanakan pelayanan publik. Setelah waktu 3×24 jam dari somasi terakhir yang kami terima pada tanggal 16 Januari 2009 kami harus menghentikan seluruh sistem dan pelayanan
Surat Selengkapnya download

Komentar :

Menarik sekali untuk mencermati berita ini :“Namun sejak tanggal 6 Januari 2009 Menteri Hukum dan HAM dan Tim Restrukturisasi telah disomasi oleh Tim Pembela PT. SRD untuk tidak menggunakan barang sitaan (berdasarkan pasal 40 KUHAP) tersebut walaupun untuk melaksanakan pelayanan publik.”Seharusnya yang dipakai dasar oleh team kuasa hukum SRD adalah pasal 44 ayat 2 KUHAP : Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga.
Jadi dasar hukum yang dipakai dalam Surat Somasi dari team kuasa hukum PT SRD (pasal 40 KUHAP ) adalah kurang tepat, karena pengaturan tentang penggunaan barang sitaan diatur dalam pasal 44 ayat 2 KUHAP jo pasal 28 PP 27/1983.

Seharusnya Departemen Hukum dan HAM tidak diam dan menuruti somasi tersebut; oleh karena berdasarkan pasal 45 ayat 4 (Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan negara atau untuk dimusnahkan) dapat melakukan upaya hukum PERAMPASAN UNTUK KEPENTINGAN NEGARA.

Logika hukumnya adalah barang sitaan tersebut berupa komputer dan sistem serta data-data yang wajib dirahasiakan, sehingga barang-barang tersebut dapat dikategorikan sebagai barang yang dilarang untuk diedarkan; yang oleh karena itu negara berhak untuk merampasnya untuk dipergunakan bagi kepentingan negara.
Pihak Departemen Hukum dan HAM seharusnya segera mengeluarkan Surat Permohonan kepada Pihak Kejaksaan untuk melakukan PERAMPASAN terhadap barang-barang yang digunakan untuk melaksanakan ketentuan pasal 9 ayat 1 UU 40/2007 ttg Perseroan Terbatas.

Apabila DepKum&HAM nekat membuka penerimaan dan pengesahan maupun perubahan data Badan Hukum secara manual, maka hal itupun tidak memenuhi ketentuan pasal 10 UU 40/2007; jadi sebagai langkah darurat menurut saya UPAYA HUKUM PERAMPASAN adalah jalan yang terbaik agar DepKum& HAM tidak salah dalam melaksanakan ketentuan UU 40/2007.

Mohon maaf saya bukan ahli hukum pidana, namun secara logika hukum koq kagak nyampai-nyampai yaa… dimana kepentingan privat dapat mengalahkan kepentingan umum…
Kongres INI XX di Surabaya yang baru berlalu mengangkat tema tentang peran Notaris dalam meningkatkan investasi di Indonesia, sungguh hanya merupakan suatu “utopia” akibat ketidakpastian para notaris dalam melayani kebutuhan masyarakat yang hendak berinvestasi di Indonesia.
Semoga masalah ini dapat dicarikan solusi secepatnya, tanpa harus mengorbankan kepentingan umum secara berlarut-larut.
VIVA NOTARIUS !

Catatan : Per tanggal 4 Feb 2009 berdasarkan masukan yang telah kami sampaikan dalam kolom komentar di website sisminbakum.go.id; maka telah diadakan perubahan dasar somasi dari team SRD adalah pasal 44 KUHAP mengenai larangan penggunaan barang sitaan.
Demikian pula Bpk. Freddy Harris telah memberikan konfirmasi bahwa team restrukturisasi sedang berupaya dan berusaha keras untuk dapat online kembali sekitar tgl 17 Feb 2009, dan dapat diakses oleh para notaris secara bergantian.
(Edit entry tgl 5 Feb 2009) .