Rabu, 08 Juni 2011

Antara Hoegeng Iman Santoso dan Asep Iwan Iriawan: Sebuah Teladan

Ada anekdot dari mendiang Gusdur yang sangat populer, bahwa hanya 3 polisi di Indonesia ini yang tidak bisa disuap, yaitu Polisi Tidur, Polisi Patung, dan Polisi Hoegeng (Hoegeng Iman Santoso). Terlepas dari kebenaran anekdot tersebut, salah satu yang saya ambil hikmahnya adalah begitu nama Hoegeng Iman Santoso terpatri sebagai salah satu polisi yang mulia.
Meski telah wafat (14 Juli 2004), suri tauladanan Hoegeng Iman Santoso sebagai polisi yang jujur dan berintegritas akan selalu diingat sepanjang zaman dan menjadi suri tauladan, baik oleh kalangan akademisi, masyarakat umum, hingga di kepolisian sendiri. Tidak hanya pejabat biasa, bahkan Presiden Suharto pun segan terhadap beliau.
Hoegeng Iman Santoso dikenal sebagai polisi yang tidak punya rumah dan kendaraan, bahkan sampai dia pensiun dari jabatannya pada tahun 1968-1971 (Terakhir menjabat sebagai Panglima Angkatan Kepolisian RI, kini Kapolri). Hoegeng Iman Santoso juga menolak saat ditawari oleh Presiden Soeharto untuk menjadi duta besar Belgia (sebagai konpensasi karena dipensiunkan dini akibat sepak terjangnya yang kelewat jujur dan berani) karena menganggap dirinya tidak mampu dan lebih senang mengabdi di Tanah Air.
Beragam prestasi pernah ditorehkan oleh beliau, beliau adalah orang yang pertama kali menganjurkan pemakaian helm bagi pengendara sepeda motor. Saat bertugas di Medan, beliau mengeluarkan perabotan-perabotan mahal dari rumah dinasnya, karena beliau menganggap barang-barang itu sebagai pelicin dari cukong agar bisnis ilegalnya berjalan mulus. Beliau juga menolak semua hadiah, sekecil apapun, dan menjadi terkenal karena sering melemparkan berbagai hadiah (parsel) ke luar jendela karena dianggapnya itu adalah sogokan. Beliau berhasil memberantas bisnis ilegal, penyelundupan, dan judi di Sumatera Utara, dengan segala backingnya, semua ditangkap, dan diproses secara hukum.
Ketika dilantik menjadi Kapolri oleh Presiden Soeharto pada 15 Mei 1968, beliau meminta kepada presiden Suharto agar angkatan lain tidak mencampuri urusan intern Kepolisian, dan hebatnya ketika itu Presiden Soeharto hanya diam.
Sebuah legenda lain tentang beliau, ketika akan dilantik menjadi Kepala Jawatan Imigrasi, sehari sebelum pelantikannya beliau menyuruh istrinya untuk menutup toko kembang miliknya, padahal toko kembang itu dijadikan sumber penghasilan tambahan untuknya. Ketika Istrinya sedikit protes dan bertanya, “Apa hubungannya toko kembang dengan jabatan Kepala Jawatan Imigrasi?” Beliau menjawab kalem tapi tegas, “Nanti semua yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kita dan itu tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya.”-
Satu hal yang membuat dia dihormati dan dikagumi banyak orang, sampai akhir hayatnya, walaupun dia sangat mengetahui bagaimana sepak terjang polisi-polisi yang ndak beres di lapangan, dan juga dengan perlakuan yang ia terima (dipensiunkan dini, dicekal, dst), tidak pernah terucap sekalipun perkataan yang menjelek-jelekkan institusi yang pernah ia masuki dan ia bangun, tidak pernah terlontar dari lidahnya kebobrokan dan hujatan terhadap kawan-kawannya di kepolisian. Dan tidak pernah sekalipun dia mengeluarkan statemen yang berisi bahwa beliaulah polisi yang bersih dan jujur di tengah-tengah polisi-polisi lain yang bertingkah laku ndak jelas.
Sepertinya beliau simpan itu dalam hati, sebagai sebuah bentuk nyata kerendahan hati dan sikap mulia, yang justru malah semakin membuat banyak orang menaruh hormat, dan menjadikan ia teladan, baik kawan maupun lawan.
Sekarang kita lompat ke kisah yang lain.
Siapa yang sekarang tidak kenal Asep Iwan Iriawan? Beliau adalah seorang hakim yang terkenal jujur dan berintegritas. Beliau salah satu Hakim dari “tiga serangkai” yang sering menjatuhkan Vonis Mati terhadap pengedar narkoba saat bertugas di Pengadilan Negeri Tangerang.
Reputasinya sebagai hakim anti narkotika dan obat terlarang mengantar Asep Iwan Iriawan menjadi hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Beliau pernah memutus perkara kepemilikan senjata Hutami Endang Adiningsih alias Mamiek, puteri bungsu mantan presiden Soeharto, memutus perkara kepemilikan narkoba dengan terdakwa aktor Hengki Tornando, perkara korupsi Hendra Raharja dengan peradilan in absentia (dan dalam sidang tersebut sempat mengusir pengacara kawakan O.C. Kaligis), perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dengan terdakwa Gubernur Syahril Sabirin dan Direktur Utama Bank Surya, Bambang Sutrisno. Sudah tidak terhitung perkara besar yang beliau tangani.
Saking jujurnya, ketika Asep Iwan Iriawan difitnah menerima uang suap Rp 30 miliar dari Bambang Sutrisno, tidak ada satu orang pun yang mempercayai hal tersebut, karena memang beliau terkenal berintegritas, jujur dan tegas. Sikapnya tersebut juga membuat para pimpinan menjadi segan mengintervensi sikapnya.
Beliau adalah “pewaris resmi” Palu Sidang yang digunakan oleh Ketua Mahkamah Agung pertama (Kusuma Atmaja), beliau mendapatkan palu tersebut dari mantan Hakim Agung Gunanto dengan pesan “Bawa palu ini, tapi jangan disalahgunakan'," ucapnya. Amanah itu dipegang tegun Asep Iwan Iriawan hingga kini, bahkan setelah keluar sebagai hakim, beliau memilih untuk menyimpan palu tersebut hingga sekarang. Sebuah kebanggaan dan kehormatan yang rasa-rasanya hanya dimiliki oleh beliau seorang dari ribuan Hakim se-Indonesia.
Ketika bertugas di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, beliau juga terkenal karena selalu naik angkot ketika pulang pergi berangkat ngantor. Tidak ada yang mengetahui kediaman beliau, karena memang tidak pernah diberitahu kepada siapapun agar setan suap dan tuduhan tak berdasar tak mampir. Saking menjaganya, ibu kandung beliau sendiri pun belum pernah menginjakkan kaki di rumahnya.
Akhirnya, sekitar lima tahun yang lalu Asep Iwan Iriawan mengambil keputusan untuk mundur dari profesi sebagai hakim yang telah digelutinya belasan tahun, disaat karirnya sedang berada di puncak sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Pemalang, Jateng. Beliau mengambil keputusan tersebut diantaranya disebabkan nuraninya selalu berperang dengan tugasnya sebagai hakim. Baginya, peradilan adalah persoalan memutuskan hitam dan putih yang tak bisa ditawar-tawar lagi.
Saat mengambil keputusan mundur, petinggi MA sempat memanggil beliau dan meminta agar Asep Iwan Iriawan mengurungkan niatnya. Namun, karena tekadnya sudah bulat, Asep pun keluar dari institusi yang membesarkannya tersebut.
Setelah berhenti menjadi hakim, sekarang Asep Iwan Iriawan menjadi pengajar Kuliah Hukum di berbagai universitas swasta di Jakarta dan Bandung. Dari Senin hingga Kamis, Beliau mengajar di Universitas Trisakti, Jakarta, sedangkan di akhir pekan dia ke Bandung mengajar di Universitas Parahyangan, Unikom dan beberapa universitas swasta lain. Jika melihat Asep Iwan Iriawan sekarang, sama sekali tidak terlihat bahwa itulah sosok yang dulu menjadi Hakim yang paling ditakuti para terdakwa di pengadilan dan disegani di Peradilan.
Terakhir, namanya semakin mencuat setelah menjadi narasumber di salah satu televisi swasta nasional ketika membahas penangkapan Hakim Syarifuddin. Dalam acara tersebut, beliau membuka segala borok peradilan, dan segala kegelisahan yang memang berdasarkan pengalamannya selama menjadi Hakim. Nyatalah ketika itu bahwa dunia peradilan sama sekali tidak bagusnya, semua berisi mafia, yang harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Bahkan, dengan bangga, beliau berkata bahwa anaknya sekarang diterima menjadi Hakim di salah satu peradilan, padahal anak tersebut bukanlah termasuk siswa yang berprestasi, sehingga semakin kuatlah anggapan masyarakat bahwa tidak semua Hakim itu pintar, bahwa seseorang dengan kemampuan pas-pasan pun bisa menjadi Hakim dengan sedikit keberuntungan. Masalah kualitas putusan? Silahkan dinilai sendiri.
Sebuah teladan
Ada banyak persamaan diantara dua sosok tokoh tauladan yang telah saya sebutkan diatas, keduanya sama-sama Jujur, Sederhana, Tegas, Berintegritas, Tidak kompromi, Punya sikap yang jelas, dan berani memperjuangkan kebenaran apapun resikonya.
Bahkan sampai akhir karirnya pun, keduanya mempunyai kemiripan yang sama. Hoegeng Iman Santoso dipensiunkan dini, sedangkan Asep Iwan Iriawan mengajukan pensiun dini (berhenti). Sebabnya sama: Memperjuangan idealisme yang mereka yakini dan tidak mau kompromi dengan siapapun.
Tapi, mungkin ada sedikit hal yang berbeda, setelah karir mereka sama-sama usai, bahwa Hoegeng Iman Santoso tetap bersifat low profile dan rendah hati, tidak menunjukkan “ke-aku-an”-nya, dan tidak pernah sama sekali menista institusi yang dulu pernah dia perjuangkan, dan karena itulah dia tetap menjadi contoh tauladan yang baik, untuk siapapun, kawan maupun lawan, masyarakat umum maupun kepolisian. Sedangkan Asep Iwan Iriawan, di satu sisi beliau mengajarkan ilmu hukum untuk para mahasiswa hukum yang notabene adalah calon penegak hukum, di satu sisi juga kadang “slip tongue” terjadi: Beliau “keceplosan” menyebutkan semua keburukan dan kekurangan dari institusi yang pernah beliau layani. Hal ini masih dilengkapi dengan anaknya sendiri menjadi Hakim di institusi yang katanya buruk dan penuh dengan mafia, sebuah paradox pun terjadi.
Saya tidak bermaksud menggurui, karena bagaimanapun Asep Iwan Iriawan jauh lebih hebat daripada saya, dari segi kemampuan dan pengalaman, jauh lebih jujur, berintegritas, tegas dan sudah teruji daripada saya yang belum apa-apa. Akan tetapi saya kira akan menjadi lebih baik jika nama baik Yang Mulia Asep Iwan Iriawan tetap harum selamanya, di mata masyarakat, dan di mata Hakim-hakim se-Indonesia, selalu dijadikan tauladan dan contoh bagaimana menjadi Hakim yang baik.
Jujur, saya termasuk salah satu yang menyesalkan apa yang beliau nyatakan kemarin di TV. Bukan karena itu tidak benar, karena saya yakin seseorang dengan kapasitas seperti beliau tidak akan bohong, akan tetapi karena banyak Hakim yang berusaha bersih dan jujur, yang sedang berjuang dan terus berjuang, dan baru mengalami apa yang beliau telah alami dahulu, menjadi lemah hatinya karena melihat contoh yang ia teladani justru memberikan pukulan telak baginya. Saya kira masih banyak hakim yang berhati lemah (mungkin karena umur dan pengalaman), yang gampang emosi dan “bersumbu pendek”, dan saya yakin bahwa Yang Mulia Asep Iwan Iriawan bisa memberikan semangat kepada mereka untuk menjadi lebih baik, dan bukan malah menggembosi dengan cara seperti itu, di televisi, ditonton masyarakat se-Indonesia.
Saya yakin, banyak rekan-rekan Hakim di Indonesia ini yang menginginkan untuk bisa bertemu muka dengan Asep Iwan Iriawan, dalam sebuah forum akademis (di pusdiklat Mahkamah Agung mungkin), untuk dapat mengggali kemampuan beliau yang sangat hebat, untuk belajar kepada beliau bagaimana menjadi seorang Hakim yang berintegritas, untuk menimba pengalaman kepada beliau bagaimana cara menghadapi cobaan dan godaan dalam kehidupan sehari-hari seorang Hakim, demi kemajuan Mahkamah Agung dan dunia peradilan di Indonesia.
Tapi disisi lain, saya juga yakin bahwa tidak ada satupun insan peradilan di Indonesia ini yang menginginkan lagi untuk bertemu muka dan menatap wajah Asep Iwan Iriawan dalam sebuah acara televisi seperti kemarin.
Asep Iwan Iriawan adalah sebuah contoh tauladan yang baik untuk Hakim-hakim se-Indonesia. Alangkah indahnya, ketika nama Asep Iwan Iriawan selalu terpatri di setiap sanubari Hakim se-Indonesia, sampai kapanpun, sebagai salah satu contoh Hakim yang jujur, tegas, berintegritas, dan sederhana, selayaknya kepolisian Indonesia mengingat sosok Hoegeng Iman Santosa.
Saya jadi teringat sebuah kalimat bijak dari Khoo Ping Hoo: “Orang yg sederhana dan jujur akan hilang nilainya di mata Tuhan dan manusia apabila dia justru memamerkan, mengagung-agungkan, dan menepuk dada sendiri dihadapan orang banyak bahwa dia orang yg hidupnya paling mulia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar