Kamis, 18 Februari 2010

Alat Bukti Elektronik

Alat bukti elektronik (Dokumen Elektronik) : Kedudukan, nilai, derajat dan
kekuatan pembuktiannya

dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat di bidang telekomunikasi, informasi dan komputer telah menghasilkan konvergensi dalam aplikasinya. Konsekuensinya, terjadi pula konvergensi dalam peri kehidupan manusia, termasuk dalam kegiatan industri dan perdagangan. Perubahan yang terjadi mencakup baik dari sisi lingkup jasanya, pelakunya, maupun konsumennya. Dalam perkembangan selanjutnya melahirkan paradigma, tatanan sosial serta sistem nilai baru ( Supancana, IBR., Kekuatan Akta Elektronis Sebagai Alat Bukti Pada Transaksi E-commerce Dalam Sistem Hukum Indonesia ).

Seiring dengan perkembangan masyarakat dan teknologi, semakin lama manusia semakin banyak menggunakan alat teknologi digital, termasuk dalam berinteraksi antara sesamanya. Oleh karena itu, semakin lama semakin kuat desakan terhadap hukum, termasuk hukum pembuktian, untuk menghadapi kenyataan perkembangan masyarakat seperti itu. Sebagai contoh, untuk mengatur sejauh mana ekuatan pembuktian dari suatu dokumen elektronik dan tanda tangan digital / elektronik, yang dewasa ini sudah sangat banyak dipergunakan dalam praktik sehari-hari.

Dalam hal ini, posisi hukum pembuktian seperti biasanya akan berada dalam posisi dilematis sehingga dibutuhkan jalan-jalan kompromitis. Di satu pihak, agar hukum selalu dapat mengakui perkembangan zaman dan teknologi, perlu pengakuan hukum terhadap berbagai jenis perkembangan teknologi digital untuk berfungsi sebagai alat bukti pengadilan. Akan tetapi, di lain pihak kecenderungan terjadi manipulasi penggunaan alat bukti digital oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab menyebabkan hukum tidak bebas dalam mengakui alat bukti digital tersebut dengan “hukum alat bukti yang terbaik” (best evidence rule), satu alat bukti digital sulit diterima dalam pembuktian.

The best evidence rule mengajarkan bahwa suatu pembuktian terhadap isi yang substansial dari suatu dokumen/photograph atau rekaman harus digunakan dengan membawa ke pengadilan dokumen/photograph atau rekaman asli tersebut. Kecuali jika dokumen/photograph atau rekaman tersebut memang tidak ada, dan ketidakberadaannya bukan terjadi karena kesalahan yang serius dari pihak yang harus membuktikan. Dengan demikian, menurut doktrin best evidence ini, foto kopi (bukan asli) dari suatu surat tidak mempunyai kekuatan pembuktian di pengadilan. Demikian juga bukti digital, seperti e-mail, surat dengan mesin faksimile, tanda tangan elektronik, tidak ada aslinya atau setidak-tidaknya tidak mungkin dibawa aslinya ke pengadilan sehingga hal ini mengakibatkan permasalahan hukum yang serius dalam bidang hukum pembuktian.

Pembuat undang-undang secara eksplisit dalam penjelasan umum UU ITE juncto Pasal 6 UU ITE berikut penjelasannya telah menyatakan bahwa dokumen elektronik kedudukannya disetarakan dengan dokumen yang dibuat diatas kertas. ( Pasal 6 UU ITE :”Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.” Penjelasan Pasal 6 UU ITE :”Selama ini bentuk tertulis identik dengan informasi dan/atau dokumen yang tertuang di atas kertas semata, padahal pada hakikatnya informasi dan/atau dokumen dapat dituangkan ke dalam media apa saja, termasuk media elektronik. Dalam lingkup Sistem Elektronik, Informasi yang asli dengan salinannya tidak relevan lagi untuk dibedakan sebab Sistem Elektronik pada dasarnya beroperasi dengan cara penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan lagi dari salinannya.” )

Dengan demikian maka risalah rapat RUPS modern yang merupakan dokumen elektronik dapat disetarakan kedudukannya dengan dokumen (risalah rapat) yang ditulis diatas kertas. Namun dalam hal ini perlulah diadakan analisa yang lebih mendalam mengenai arti kata ”kedudukan” yang disetarakan dalam Penjelasan Umum UU ITE tersebut.

Catatan penulis : Jika dianalisa ketentuan pasal 5 ayat 1, ayat 2, pasal 6, Penjelasan Umum dengan menggunakan metode logika induksi, maka kesimpulannya yang dimaksud dengan kedudukan adalah fungsi; jadi informasi yang dibuat melalui media elektronik ”fungsinya” disetarakan dengan informasi yang dibuat dengan menggunakan media kertas; oleh karena itu dalam UU ITE sama sekali tidak menentukan kedudukan hukum ( dalam hal ini kedudukan, nilai, derajat, dan kekuatan pembuktian ) dalam Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

Dalam pasal 5 ayat 1 dan 2 UU ITE hanya disebutkan bahwa dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya adalah alat bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia; sehingga permasalahannya apakah dokumen elektronik tersebut dapat dipersamakan akta dibawah tangan (risalah rapat yang dibuat di bawah tangan) atau bahkan setara dengan akta otentik yang dibuat oleh notaris dalam kedudukan, nilai, derajat dan kekuatan pembuktiannya dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia ?

Untuk menjawab pertanyaan dapatkah dokumen eletronik khususnya risalah rapat RUPS modern disetarakan dengan akta otentik sebagaimana yang diwacanakan oleh para ahli hukum telematika ( Arrianto Mukti Wibowo beserta team dalam Laporan Penelitian Tahap Pertama versi 1.04 Naskah Akademik Rancangan Undang Undang tentang Tanda Tangan Elektronik dan Transaksi Elektronik, 2001, hal 108-109 ), maka haruslah diteliti lebih dahulu ketentuan-ketentuan yang ada pada UU PT sebagai ”lex specialis”nya.

Oleh UU PT bahwa setiap perubahan anggaran dasar baik yang memerlukan persetujuan maupun yang hanya cukup diberitahukan kepada Menteri wajib dimuat atau dinyatakan dalam akta notaris dalam bahasa Indonesia. Jika tidak dimuat dalam akta berita acara rapat yang dibuat oleh notaris harus dinyatakan dalam akta notaris paling lambat 30 (tigapuluh) hari terhitung sejak tanggal keputusan RUPS. Selanjutnya ditentukan bahwa jika lewat dari batas waktu yang telah ditentukan di atas, maka risalah rapat perubahan anggaran dasar tersebut tidak dapat dinyatakan dalam akta notaris.

Oleh karena itu berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas dan ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) huruf b UU ITE :
“ Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk :
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.”

Dapatlah diambil kesimpulan bahwa risalah rapat dari RUPS modern yang merupakan Dokumen Elektronik tidak dapat disetarakan dengan akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris; oleh karena otensitas dari akta notaris bersumber dari Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris No. 30 Tahun 2004, yaitu notaris dijadikan sebagai pejabat umum, sehingga akta yang dibuat oleh notaris dalam kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta otentik.
Akta yang dibuat oleh notaris mempunyai sifat otentik, bukan oleh karena undang-undang menerapkan demikian, tetapi karena akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan: “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya”.
( Uraian lebih lanjut diuraikan dalam tesis penulis berjudul : Aspek Legalitas RUPS melalui Media Telekonferensi ).

Jika tidak dapat disetarakan dengan akta otentik baik dari segi fungsi maupun dari segi kekuatan pembuktiannya, apakah kekuatan hukum pembuktian Dokumen Elektronik dalam hal ini risalah RUPS modern dapat disetarakan dengan akta yang dibuat di bawah tangan.

Singkatnya, segala bentuk tulisan atau akta yang bukan akta otentik disebut akta di bawah tangan atau dengan kata lain segala jenis akta yang tidak dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum. Tetapi dari segi hukum pembuktian, agar suatu tulisan bernilai sebagai akta dibawah tangan, diperlukan persyaratan pokok :

1. surat atau tulisan itu ditanda tangani;
2. isi yang diterangkan di dalamnya menyangkut perbuatan hukum
(rechtshandeling) atau hubungan hukum (recht bettrekking);
3. sengaja dibuat untuk dijadikan bukti dari perbuatan hukum yang disebut
didalamnya.

Daya kekuatan pembuktian akta dibawah tangan, tidak seluas dan setinggi derajat akta otentik. Akta otentik memiliki daya pembuktian lahiriah, formil dan materiil. Tidak demikian dengan akta dibawah tangan, yang padanya tidak mempunyai daya kekuatan pembuktian lahiriah, namun hanya terbatas pada daya pembuktian formil dan materiil dengan bobot yang jauh lebih rendah dibandingkan akta otentik.

Dalam UU ITE diatur bahwa informasi elektronik/dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Tapi, tidak sembarang informasi elektronik/dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti yang sah. Menurut UU ITE, suatu informasi elektronik/ dokumen elektronik dinyatakan sah untuk dijadikan alat bukti apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ITE, yaitu sistem elektronik yang andal dan aman, serta memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:

1. dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan;
2. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
3. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
4. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan
5. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.

Pihak yang mengajukan informasi elektronik tersebut harus dapat membuktikan bahwa telah dilakukan upaya yang patut untuk memastikan bahwa suatu sistem elektronik telah dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik tersebut.

Bagaimanapun juga UU ITE harus bisa menjelaskan bagaimana membuktikan suatu sistem elektronik memenuhi syarat yg diatur dalam UU ITE, agar alat bukti berupa informasi/dokumen elektronik tidak dipertanyakan lagi keabsahannya. Karena dalam UU ITE sendiri pengaturan mengenai sistem elektronik masih akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, maka sangat diharapkan pengaturannya nanti dapat menghindari perdebatan yang tidak perlu mengenai keabsahan alat bukti tersebut.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebelum dokumen elektronik dapat dijadikan suatu bukti yang sah, maka harus diuji lebih dahulu syarat minimal yang ditentukan oleh undang-undang yaitu pembuatan dokumen elektronik tersebut dilakukan dengan menggunakan sistem elektronik yang andal, aman dan beroperasi sebagaimana mestinya.

Oleh karena itu dapat dipertanyakan apakah dokumen elektronik (dalam hal ini risalah RUPS modern) sudah memenuhi batas minimal pembuktian, oleh karena dalam teori hukum pembuktian disebutkan bahwa agar suatu alat bukti yang diajukan di persidangan sah sebagai alat bukti, harus dipenuhi secara utuh syarat formil dan materiil sesuai dengan yang ditentukan oleh undang-undang.

Batas minimal pembuktian akta otentik cukup pada dirinya sendiri, oleh karena nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada akta otentik adalah sempurna dan mengikat, pada dasarnya ia dapat berdiri sendiri tanpa memerlukan bantuan atau dukungan alat bukti yang lain. Sedangkan pada akta dibawah tangan agar mempunyai nilai pembuktian haruslah dipenuhi syarat formil dan materiil yaitu :

- dibuat secara sepihak atau berbentuk partai (sekurang-kurangnya dua pihak);
- ditanda tangani pembuat atau para pihak yang membuatnya;
- isi dan tanda tangan diakui.

Kalau syarat diatas dipenuhi, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 1975 KUH Perdata juncto Pasal 288 RBG maka nilai kekuatan pembuktiannya sama dengan akta otentik; dan oleh karena itu juga mempunyai batas minimal pembuktian yaitu mampu berdiri sendiri tanpa bantuan alat bukti lain.

Dari Pasal 1 point 4, Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 dan Pasal 7 UU ITE dapat dikategorikan syarat formil dan materiil dari dokumen elektronik agar mempunyai nilai pembuktian, yaitu :

- berupa informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima atau disimpan, yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tulisan, suara, gambar...dan seterusnya yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya;
- dinyatakan sah apabila menggunakan/berasal dari Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang;
- dianggap sah apabila informasi yang tecantum didalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.

Dari syarat-syarat formil dan materiil tersebut dapat dikatakan bahwa dokumen elektronik agar memenuhi batas minimal pembuktian haruslah didukung dengan saksi ahli yang mengerti dan dapat menjamin bahwa sistem elektronik yang digunakan untuk membuat, meneruskan, mengirimkan, menerima atau menyimpan dokumen elektronik adalah sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang; kemudian juga harus dapat menjamin bahwa dokumen elektronik tersebut tetap dalam keadaan seperti pada waktu dibuat tanpa ada perubahan apapun ketika diterima oleh pihak yang lain (integrity), bahwa memang benar dokumen tersebut berasal dari orang yang membuatnya (authenticity) dan dijamin tidak dapat diingkari oleh pembuatnya (non repudiation).

Hal ini bila dibandingkan dengan bukti tulisan, maka dapat dikatakan dokumen elektronik mempunyai derajat kualitas pembuktian seperti bukti permulaan tulisan (begin van schriftelijke bewijs), dikatakan seperti demikian oleh karena dokumen elektronik tidak dapat berdiri sendiri dalam mencukupi batas minimal pembuktian, oleh karena itu harus dibantu dengan salah satu alat bukti yang lain. Dan nilai kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim, yang dengan demikian sifat kekuatan pembuktiannya adalah bebas (vrij bewijskracht).
Berdasarkan penalaran hukum di atas, maka dapatlah disimpulkan dokumen elektronik dalam hukum acara perdata dapat dikategorikan sebagai alat bukti persangkaan Undang-undang yang dapat dibantah (rebuttable presumption of law) atau setidak-tidaknya persangkaan hakim (rechtelijke vermoden).

Demikianlah salah satu kesimpulan dalam tesis penulis dengan judul : Aspek Legalitas Rapat Umum Pemegang Saham melalui Media Telekonferensi.
Mungkin ada diantara pembaca atau ahli hukum lainnya yang mempunyai pendapat yang berbeda atau bahkan mau melengkapinya, penulis sangat mengharapkan masukan-masukannya.
Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar