Senin, 08 September 2008

Pembagian Sisa Hasil Likuidasi bagian terakhir

Pembagian Sisa Hasil Likuidasi Perseroan
Bagian III

Pada bagian I dan bagian II dari materi Pembagian Sisa Hasil Likuidasi Perseroan telah kita ketahui dan pahami mengenai kapan waktunya pembagian sisa asset hasil likuidasi dapat dilakukan kepada para pemegang saham dan juga dapat ditentukan apakah sisa asset yang berupa barang tidak bergerak ( khususnya hak atas tanah berikut dengan segala bangunan yang berdiri di atasnya adalah merupakan suatu harta yang dimiliki bersama secara bebas atau terikat ( tergantung karakteristik perseroan ).

Pada bagian ini penulis akan menguraikan implikasi penerapan Teori Karakteristik Perseroan terhadap pengenaan Pajak kepada para pemegang saham yang berhak atas sisa hasil likuidasi perseroan.
Sebelum itu lebih baik kita memastikan lebih dahulu bagaimanakah caranya membagikan asset tersebut sesuai dengan proporsi kepemilikan saham dari para pemegang saham?

Sesuai dengan Keputusan Menteri Agraria nomor 3 tahun 1997 yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 dalam pasal 95 juncto pasal 2 Peraturan Kepala BPN nomor 1 tahun 2006 yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 1998 tentang Peraturan jabatan PPAT; aturan-aturan tersebut menentukan bahwa PPAT mempunyai tugas pokok yaitu melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan cara membuat akta otentik dan ditentukan pula bahwa PPAT hanya dapat membuat akta tanah yang dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yaitu :
a. Akta Jual Beli
b. Akta Tukar Menukar
c. Akta Hibah
d. Akta Pemasukan Ke Dalam Perusahaan
e. Akta Pembagian Hak Bersama
f. Akta Pemberian Hak Tanggungan
g. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik
h. Akta Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik
Jadi dalam bahasa orang awam diluar akta-akta tersebut tidak ada akta lain yang dapat dijadikan dasar untuk membalik nama suatu sertipikat dari pihak yang satu ke pihak yang lain.
Dari 8 pilihan akta tersebut para PPAT tentu akan memilih huruf E yaitu menggunakan akta Pembagian Hak Bersama, lalu dalam komparisi para pihaknya PPAT akan menentukan bahwa yang menjadi Pihak Pertama yaitu Sang Likuidator yang mewakili Perseroan dalam likuidasi dan yang menjadi Pihak Kedua adalah para pemegang saham bersama-sama, yang bagiannya masing-masing ditentukan berdasarkan komposisi kepemilikan saham masing-masing pemegang saham dalam perseroan secara proporsional.

Disamping itu PPAT harus menganalisa apakah akta tersebut dapat disahkan tanpa atau harus dengan membayar pajak khususnya BPHTB yang wajib disetor oleh masing-masing pemegang saham ?
Pada titik inilah pembahasan mengenai pengkategorian apakah asset sisa hasil likuidasi tersebut merupakan harta bersama bebas atau harta bersama terikat sangat relevan.

Karena dalam benak PPAT pasti terbayang peraturan perpajakan khususnya mengenai Pajak Penghasilan Final PP No. 48 Tahun 1994 jo. PP No. 27 Tahun 1996 dan mengenai BPHTB dalam UU No.20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas U2 No.21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (berlaku sejak 1 Januari 2001).

Dan sang PPAT agak bingung karena melihat Pasal 2 ayat (2) huruf a UU No.20 Tahun 2000 (dahulu Ps 2 ayat (2) angka 6 U2 No.21 Tahun 1997) yang mencantumkan bahwa obyek pajak adalah pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, dengan penjelasan:
“Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama”.

Untunglah kebingungan tersebut tidak berlangsung lama, oleh karena sang PPAT menemukan Surat Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional no. 600-1561 tanggal 21 April 1999 yang menjelaskan perbedaan antara jenis kepemilikan bersama dengan melihat pada perolehan asalnya yang membedakan pula antara pemilikan bersama yang bebas (vrije mede-eigendom) dan pemilikan bersama yang terikat (gebonden mede-eigendom) dimana sebagai kesimpulan dari Surat Menteri Agraria tersebut adalah :
“Pemisahan dan pembagian warisan masih termasuk dalam ‘rezim’ waris sehingga tidak termasuk kepada peralihan hak atau perolehan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 dan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997, atau dengan perkataan lain pendaftaran peralihan hak karena pemisahan dan pembagian warisan tidak dipersyaratkan adanya SSP PPh berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1994 dan SSB BPHTB berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997. Sudah tentu ketentuan tersebut termasuk pula pemisahan dan pembagian harta bersama (gono gini) yang disebabkan oleh perceraian suatu perkawinan”

Wow ternyata Surat Menteri tersebut hanya membahas soal harta warisan dan harta gono gini, lalu bagaimana dengan nasib Akta Pembagian Harta Bersama mengenai pembagian asset sisa hasil likuidasi perseroan kepada para pemegang sahamnya yang sudah ia siapkan untuk ditanda tangani dan disahkan....

Disinilah penulis memberikan sumbang saran dalam memecahkan kasus yang dihadapan sang PPAT yang sedang kebingungan itu. Dengan menggunakan teori karakteristik perseroan sang PPAT dapat mengkategorikan apakah suatu asset hasil likuidasi dari perseroan adalah merupakan harta bersama terikat atau harta bersama bebas.
Jika harta bersama tersebut merupakan harta bersama terikat, maka akta Pembagian Harta Bersama dapat disahkan tanpa ada kewajiban dari para pemegang saham untuk membayar BPHTB.
Jika ada pembaca yang bekerja di instansi Pajak tentu saja akan membelalakan mata dan disamping mengata-ngatain penulis, pasti dalam hati berkata ENAK AJA....gak bisa begitu !!
Bentar sabar bapak....sabar bang... biarlah penulis menjelaskan argumen dan logika hukum dari tindakan pengesahan Akta oleh sang PPAT tanpa harus dilengkapi bukti pembayaran SSB BPHTB.

Asas/ prinsip yang paling mendasar dalam bidang perpajakan adalah Tidak diperbolehkan ada penarikan pajak secara BERGANDA! Maka berdasarkan asas ini kita harus runtut menganalisa mulai dari penyetoran saham dengan nilai nominal tertentu oleh pemegang saham sampai dengan dia memperoleh kembali sisa likuidasi ( pengembalian kembali dari nilai nominal saham yang dia setor ).

Pada waktu pemegang saham menyetor nilai nominal saham pastilah uang tunai tersebut berasal dari penghasilan yang kena pajak ( PPH ), berarti di awal pemegang saham telah dikenai Pajak ( PPh). Setelah PT beroperasi maka pemegang saham jika mendapatkan deviden, dia kena Pajak ( PPh ) atas deviden tersebut.
Nah jika Perseroan bubar dan dia mendapatkan sisa hasil ikuidasi sebagai pengganti nilai nominal yang telah disetor olehnya, -sangat tidak adil dan melanggar asas larangan pengenaan pajak berganda, apabila pemegang saham tersebut dikenakan Pajak ( dalam hal ini BPHTB, karena yang dibagikan dalam bentuk asset hak atas tanah dan bangunan ).
Namun jangan kuatir para aparat penegak perpajakan, anda tetap dapat menarik Pajak terhadap para pemegang saham yang memperoleh "gain" ( selisih kelebihan antara nilai nominal yang disetor dengan nilai asset yang diperoleh oleh pemegang saham ) jika nilai asset melebihi nilai nominal saham mereka... Inilah WIN WIN SOLUTION.


PPAT tidak bingung ( terancam denda Rp.7.500.000,- ) dalam mengesahkan akta tanpa harus dilampiri SSB BPHTB; Instansi Pajak tetap dapat menarik Pajak (PPh) apabila memang pemegang saham memperoleh keuntungan dalam pembagian asset tersebut; Pemegang saham pasti tidak dikenakan pajak berganda!

Semoga 3 bagian tulisan mengenai Pembagian Sisa Hasil Likuidasi Perseroan ini berguna dan memberikan solusi bagi para pembaca.
Salam sejahtera
Jusuf Patrick








Tidak ada komentar:

Posting Komentar