Ke dalam tanganMu yang ajaib kupersembahkan untuk kemuliaanMu
pakailah sesuai dengan rencanaMu...
BagiMu TUHAN segala kemuliaan, hormat, puji syukur kupanjatkan ....
Pengertian adalah isi pikiran yang dimunculkan oleh sebuah perkataan tertentu atas sebuah obyek atau seorang pribadi yang telah memperoleh sebuah nama, dimana obyek atau orang tersebut tidak perlu merupakan suatu yang secara emperikal dapat diraba atau yang ada di
dalam kenyataan, namun juga pada tataran yang lebih abstrak.
Contohnya obyek yang diberi nama kontrak, perbuatan yang melawan hukum, badan hukum, kepatutan, keadilan dan lain-lain.
Dalam ilmu Hukum sangat penting pembentukan pengertian yang dapat meletakkan relasi antara perkataan-perkataan itu dan gejala-gejala itu.
Manusia diberi anugerah untuk dapat berpikir secara reflektif yaitu kemampuan untuk mengambil jarak terhadap kenyataan yang melingkungi, membentuk pikiran-pikiran (pengertian-pengertian) tentang hal itu untuk dengan itu mendekati kembali kenyataan itu, atau untuk memahami lebih baik kenyataan itu ( pada tataran teoritikal ) atau untuk mempengaruhinya ( pada tataran praktikal ).
Oleh karena itu pembentukan pengertian tidak hanya penting dalam bidang Dogmatika Hukum, melainkan juga dalam perundang-undangan.
Karena sebuah undang-undang dimaksudkan untuk mengatur perilaku masyarakat, maka harus dibuat jelas bagi mereka, perilaku apa yang diharapkan (dituntut) dari mereka.
Hal itu mengakibatkan dalam undang-undang, sebelum pengaturan yang sesungguhnya, memberikan batasan pengertian terlebih dahulu tentang pengertian-pengertian yang digunakan dalam undang-undang itu. Hal itu dilakukan dengan jalan memberikan definisi istilah-istilah yuridis yang digunakan dalam undang-undang itu.
Dengan memberikan penentuan batasan pengertian lebih lanjut pada sebuah istilah dalam perundang-undangan, tidaklah secara otomatis telah tercipta suatu pengertian dengan kejelasan yang sempurna. Disinilah tugas seorang hakim untuk memberikan arti pada istilah-istilah perundang-undangan yang sesuai dengan konteks dari kejadian-kejadian kongret yang dihadapkan kepadanya.
Pada tiap pengertian dikenal pembedaan antara isi pengertian dan lingkup/luas pengertian.
(J.J. H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Bandung, 1999: 53).
Isi pengertian disebut intensi/konotasi yaitu keseluruhan ciri-ciri yang mewujudkan pengertian
itu ( dalam bahasa Inggris disebut ”sense” dan dalam bahasa Perancis disebut ”signification” ), sedangkan luas/lingkup pengertian yaitu semua obyek atau orang yang termasuk dalam pengertian itu disebut ekstensi/denotasi ( dalam bahasa Inggris disebut ”reference” dan dalam bahasa Perancis disebut ”designation” ).
Dan hubungan antara intensi dan ekstensi dapat dinyatakan dengan 2 dalil.
Dalil pertama berbunyi : Intensi menentukan ekstensi, yang berarti bahwa isi sebuah pengertian menentukan keluasan lingkup pengertian. Obyek-obyek atau orang-orang siapa saja yang termasuk dalam suatu pengertian bergantung pada keseluruhan ciri-ciri yang mewujudkan pengertian itu.
Dalil yang kedua adalah Intensi berbanding terbalik dengan Ekstensi, yang berarti semakin sedikit intensi pengertian memuat ciri-ciri ( semakin kurang persis ), maka semakin banyak obyek atau orang yang termasuk kedalam ekstensi pengertian itu.
Penjelasan mengenai 2 dalil ini dapat diilustrasikan dalam pengertian tentang ”peristiwa hukum” dan pengertian ”perkawinan”.
Pengertian ’peristiwa hukum” memuat ciri-ciri berikut :
Disini terlihat banyak obyek yang dapat dimasukan kedalam pengertian tersebut, karena intensi pengertian memuat sedikit ciri dan ciri-ciri itu ditetapkan kurang spesifik. ( kebenaran dari dalil kedua).
Dari ciri peristiwa itu termasuk pula kejadian, keadaan dan perbuatan, dimana perkawinan termasuk salah satu dalam pengertian peristiwa hukum, sebaliknya pengertian perkawinan itu sendiri memuat ciri-ciri berikut :
Disini terlihat banyak ciri yang dimasukkan kedalam suatu pengertian peristiwa hukum yang
disebut sebagai perkawinan. ( bukti kebenaran dalil pertama ).
Penjabaran hubungan intensi dan ekstensi suatu pengertian berkaitan erat dengan pola pikir manusia yang penting yaitu mengabstraksi dan mengkonkretasi.
Pada ihkwal mengabstraksi, orang berpikir dari suatu pengertian yang konkret, artinya sebuah pengertian dengan ciri-ciri yang banyak dan dengan demikian dengan lingkup yang sempit, ke suatu pengertian yang abstrak yaitu dengan jalan mengurangi ciri-ciri dari sebuah pengertian, sehingga timbul pengertian yang lebih luas dan lebih sedikit ciri-cirinya.
Proses berpikir ini adalah proses berpikir induktif ( dari pengertian yang khusus/sempit melalui generalisasi menyimpulkan hal-hal yang umum ). Proses yang sebaliknya berlaku bagi proses berpikir deduktif ( dari pengertian yang luas melalui penambahan ciri disimpulkan suatu pengertian yang spesifik/ yang lebih khusus ).
Permasalahan yang terjadi di bidang hukum adalah permasalahan pengertian bermakna ganda dimana perlu dibedakan dalam suatu pengertian apakah pengertian tersebut mengindikasikan suatu kegiatan/perbuatan ataukah pengertian tersebut mengindikasikan tentang hasil dari kegiatan itu. Misalnya dalam bahasa Belanda istilah-istilah yang berakhiran ”ing” dapat menyatakan baik suatu kegiatan maupun hasil kegiatan itu, contohnya beschikking ( ketetapan), handeling (perbuatan), dapat berarti suatu kegiatan maupun hasil dari kegiatan itu.
Dan permasalahan yang kedua adalah ketidakjelasan yang disebut pengertian yang kabur, dalam istilah ini berkenaan dengan pengertian yang intinya sendiri juga tidak jelas, sehingga wilayah perbatasan pengertian tersebut menjadi tidak jelas pula.
Contohnya antara lain : kesusilaan yang baik, ketertiban umum, kecermatan yang layak dalam pergaulan masyarakat, dan sebagainya. Pembuat undang-undang kadang menggunakan pengertian yang kabur untuk menjaga kelenturan / fleksibel agar tatanan hukum mampu menyesuaikan diri pada tatanan masyarakat yang berubah. Dan Hakimlah yang mempunyai tugas untuk memberikan isi pada pengertian yang kabur itu, dengan memperhatikan keadaan konkret dari kejadian yang harus dinilai.
Batas-batas yang ditentukan secermat (sepersis) mungkin bagi suatu pengertian menurut syarat-syarat tertentu disebut definisi.
Syarat-syarat sebuah definisi :
Jadi masalah pendefinisian ini menjadi penting karena untuk mengetahui dimana orang berdiri
untuk mencapai suatu kesepakatan dalam memandang suatu aspek tertentu yang sedang dibicarakan atau akan disepakati.
Setelah ngalor ngidul bermain diawang-awang filsafati, marilah kita membumi....
Pertanyaannya apa gunanya uraian di atas khususnya bagi seorang Notaris?
Penulis merasa tidak perlu menguraikan lagi panjang lebar apa gunanya Akta otentik baik yang
dibuat dihadapan atau oleh Notaris; namun perlulah kiranya diperhatikan bahwa satu aspek yang penting adalah akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian materiil ( disamping kekuatan pembuktian lahiriah dan formil).
Kekuatan pembuktian materil ini menyangkut pembuktian tentang materi atau isi suatu akta
dan memberi kepastian tentang peristiwa atau kejadian bahwa pejabat dan para pihak melakukan atau melaksanakan seperti apa yang diterangkan dalam akta itu. Untuk Akta Notaris atau Relaas Akta sebagai Akta Otentik, tidak lain hanya membuktikan apa yang disaksikan yakni yang dilihat didengar dan juga dilakukan sendiri oleh Notaris itu didalam menjalankan jabatannya.
Sedangkan Akta Para Pihak ( akta-akta yang dibuat dihadapan Notaris) mempunyai kekuatan pembuktian materil oleh karena peristiwa atau perbuatan hukum yang dinyatakan oleh para
pihak dan dikonstatir oleh Notaris dalam Akta itu adalah benar-benar terjadi dan Akta Notaris sebagai Akta Otentik yang berupa Akta Para Pihak, maka isi keterangan dan ataupun perbuatan hukum yang tercantum di dalam akta itu berlaku terhadap orang-orang yang memberikan keterangan itu dan untuk keuntungan serta kepentingan siapa akta itu diberikan.
Disinilah letak arti pentingnya pendefinisian tentang hal-hal yang akan disepakati oleh para
pihak di dalam akta otentik tersebut, Notaris sebagai orang yang ahli dibidang pembuatan akta otentik wajib memberikan pedoman kepada para pihak untuk menyepakati dalam bentuk pengertian dan definisi dari perbuatan hukum yang mereka lakukan yang akan dinyatakan dalam akta otentik tersebut.
Pekerjaan Notaris untuk mengkonstatir maksud dan kehendak para pihak harus berangkat dari titik pengertian dan definisi yang disepakati para pihak agar tidak menimbulkan norma
yang kabur atau makna berganda atau bahkan saling bertentangan antara isi dari satu pasal dengan pasal lainnya dalam akta otentik tersebut.
Salah satu fungsi Notaris -walaupun bukan sebagai aparat penegak hukum – mempunyai kedudukan yang sangat berperan dan strategis dalam bidang hukum perdata yaitu membantu
mempercepat tugas Hakim dalam mencari kebenaran formil (formeel waarheid).
Dengan isi/materi yang jelas ( tidak bertentangan, tidak kabur) dalam suatu akta otentik, maka
Hakim cukup menimbang bahwa terhadap suatu kasus apabila telah dipenuhi batas minimal pembuktiannya ( baca artikel kedudukan akta otentik dalam sistem hukum pembuktian ) dapatlah diambil suatu keputusan.
Mari kita jalankan fungsi, peranan tugas jabatan Notaris dengan profesional sesuai harkat dan
martabat yang telah disepakati bersama.
VIVA NOTARIUS !
Serba-serbi Yayasan dan pengaturannya
dalam UU 16/2001, UU 28/2004 , PP 63/2008
Setelah membahas tentang apakah Yayasan, siapakah yang dapat menjadi pendiri Yayasan dan batasan kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Yayasan, maka pada artikel bagian ini Penulis akan menguraikan serba-serbi Yayasan perihal modal, pengesahan Anggaran Dasar dan perubahannya, dan permasalahan-permasalahan hukum yang mungkin timbul dari peraturan peraturan yang ada khususnya PP 63/2008.
Dalam pasal 6 PP 63/2008 ditentukan bahwa minimal kekayaan awal dari Yayasan yang harus disediakan oleh pendiri Yayasan adalah sebagai berikut :
- Jika Yayasan didirikan oleh Orang Indonesia ( perorangan atau badan hukum ) maka harus dipisahkan dari harta kekayaan pribadi pendiri sebesar minimal Rp.10.000.000,-
- Jika Yayasan didirikan oleh Orang Asing atau Orang Asing bersama Orang Indonesia, maka harus dipisahkan dari harta kekayaan pribadi pendiri sebesar minimal Rp.100.000.000,-
Permasalahan hukum yang timbul disini adalah penyebutan status Yayasan : ada Yayasan "nasional”, Yayasan yang ”mengandung unsur asing” dan Yayasan ”asing”. Perlu ditelaah lebih lanjut perbedaan antara Yayasan yang mengandung unsur asing ( didirikan menurut hukum
Indonesia ) dengan Yayasan asing ( didirikan menurut hukum Asing ). Pada bagian yang lalu penulis telah disinggung bahwa Yayasan Asing dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya wajib bermitra dengan Yayasan yang didirikan oleh Orang Indonesia ( Yayasan nasional ) (pasal 26 PP), sedangkan Yayasan yang mengandung unsur asing tidak perlu bermitra dengan Yayasan nasional dan berhak melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan.
Status badan hukum Yayasan diperoleh sejak tanggal pengesahan oleh Menteri Hukum dan HAM ( pasal 11 UU 16/2001 jo UU 28/2004) sedangkan prosedurenya diuraikan dalam pasal 15 PP 63/2008 yaitu dalam jangka waktu maksimal 10 hari sejak tanggal Akta Pendirian, pendiri atau kuasanya melalui notaris yang membuat akta pendirian Yayasan mengajukan permohonan secara tertulis dilampiri dengan :
a. Salinan akta pendirian Yayasan;
b. Foto copy NPWP Yayasan yang dilegalisir Notaris;
c. Surat pernyataan kedudukan disertai alamat lengkap Yayasan ditanda tangani Pengurus dan diketahui oleh Lurah/Kepala Desa;
d. Bukti penyetoran atau keterangan Bank atas nama Yayasan atau pernyataan tertulis dari pendiri yang memuat keterangan nilai kekayaan yang dipisahkan sebagai kekayaan awal untuk mendirikan Yayasan;
e. Surat Pernyataan Pendiri mengnai keabsahan kekayaan awal tersebut;
f. Bukti penyetoran biaya pengesahan dan pegumuman Yayasan.
Prosedure mana lebih lengkap daripada yang disyaratkan dalam Surat Edaran Dirjen Administrasi Hukum Umum nomor C-HT.01.10-21 tanggal 4 Nopember 2002 juncto Surat nomor : C-HT.01.10-07 tanggal 5 Mei 2003 perihal pengesahan dan persetujuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan.
Jadi secara praktis sebaiknya dilengkapi semuanya termasuk biaya PNBP dan biaya Pengumuman TBNRI.
Mengenai Anggaran Dasar Yayasan yang perlu diperhatikan adalah baik Pendirian Yayasan maupun perubahan Anggaran Dasar Yayasan harus menggunakan akta otentik dan dibuat dalam bahasa Indonesia ( pasal 9 ayat jo pasal 18 ayat 3 2 UU 16/2001 ).
Perubahan subtansi Anggaran Dasar dapat dikategorikan menjadi 3 kategori :
- hal yang tidak boleh dirubah
- hal yang boleh dirubah dengan mendapat persetujuan Menteri
- hal yang boleh dirubah cukup dengan diberitahukan kepada Menteri
Sedangkan perubahan data Yayasan cukup diberitahukan kepada Menteri ( pasal 19 PP ).
Hal yang tidak boleh dirubah dari subtansi Anggaran Dasar Yayasan adalah perubahan maksud dan tujuan Yayasan.
Hal yang boleh dirubah dengan persetujuan Menteri adalah perubahan nama dan kegiatan Yayasan.
Hal yang boleh dirubah cukup diberitahukan kepada Menteri adalah subtansi Anggaran Dasar selain yang disebutkan diatas termasuk perubahan tempat kedudukan Yayasan. ( pasal 18 ayat 1 dan ayat 3 ).
Perubahan susunan Pengurus, Pembina, Pengawas dan perubahan alamat lengkap Yayasan adalah termasuk perbuatan hukum yang tidak merubah Anggaran Dasar Yayasan namun dikategorikan sebagai perubahan data Yayasan ( pasal 19 PP dan penjelasannya ).
Hati-hati disini karena perubahan tempat kedudukan dan perubahan alamat lengkap Yayasan adalah perbuatan hukum yang berbeda.
Yang menjadi permasalahan hukum adalah penentuan waktu efektif berlakunya perubahan-perubahan tersebut.
Perubahan Anggaran Dasar yang membutuhkan persetujuan Menteri secara tegas ditetapkan berlaku sejak tanggal persetujuan Menteri ( pasal 17 PP ), dalam pasal 18 mengenai perubahan Anggaran Dasar Yayasan yang tidak memerlukan persetujuan Menteri tidak ditetapkan efektif
berlakunya, sebaliknya dalam pasal 19 ditetapkan perubahan data Yayasan efektif berlaku sejak tanggal perubahan tersebut dicatat dalam Data Yayasan. Nah ini masalah besar !!
Rupanya pembuat PP telah melakukan kekeliruan yang fatal, jika penetapan waktu efektifitas berlakunya perubahan Anggaran Dasar ditetapkan sejak pencatatan dalam Data Yayasan maka tidak ada masalah, namun ketentuan tentang efektifitas berlakunya perubahan data Yayasan ditetapkan berdasarkan tanggal pencatatan adalah bertentangan dengan pasal 33 jo pasal 45 (point 9 dan point 14 UU 28/2004 ), yang menentukan bahwa perubahan data tersebut wajib
disampaikan oleh Pengurus yang menggantikan Pengurus lama, padahal pasal 19 PP efektifitas penggantian tersebut (data perubahan) terhitung sejak dicatatkan dalam Data Yayasan, jadi bukan berlaku sejak ditutupnya Rapat Pembina yang merubah susunan Pengurus dan/atau Pengawas atau sejak ditutupnya Rapat pengurus yang menetapkan perubahan alamat Yayasan ( dalam 1 kelurahan ).
Ironis memang dimana PP diadakan dengan maksud untuk lebih menjamin kepastian hukum namun subtansinya justru menimbulkan ketidak-kepastian hukum. Langkah Yudicial Review sebaiknya perlu segera ditempuh oleh para praktisi hukum untuk meniadakan ketidak-pastian tersebut.
Permasalahan hukum yang paling penting adalah keberadaan pasal 39 PP 63/2008 sebagai aturan yang memaksa apabila Yayasan yang diakui sebagai badan hukum namun tidak menyesuaikan Anggaran Dasarnya sesuai dengan UU 16/2001 jo UU 28/2004 sampai dengan selambat-lambatnya tanggal 6 Oktober 2008, maka Yayasan tersebut harus melikuidasi kekayaannya dan menyerahkan sisa hasil likuidasinya kepada Yayasan yang mempunyai kesamaan kegiatan dengan yayasan yang dibubarkan.
Padahal dalam pasal 71 ayat 4 UU 16/2001 jo point 20 UU 28/2004 yang disebut pula dalam pasal 39 PP hanya menegaskan bahwa terhadap yayasan tersebut disamping tidak dapat menggunakan kata Yayasan di depan namanya dan DAPAT dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.
Jelas-jelas PP telah melampaui pengaturan yang diatur dalam UU ! Dengan adanya norma ”harus melikuidasi kekayaannya” ini berarti semua Yayasan yang sudah berbadan hukum yang belum menyesuaikan dengan UU tentang Yayasan WAJIB membubarkan diri.
Dan jika analisa tersebut diterima maka terjadilah ”kekonyolan hukum” akibat membandingkan ketentuan tersebut di atas dengan ketentuan dalam pasal 36 PP mengenai Yayasan yang tidak diakui sebagai badan hukum, terhadap ”yayasan” ini tidak perlu dibubarkan cukup dimintakan
permohonan pengesahan ke Menteri dan terhadap seluruh tindakan ”Yayasan” tetap diakui sebagai perbuatan hukum yang sah ( hanya saja menjadi tanggung jawab pribadi secara tanggung renteng dari anggota organ Yayasan, pasal 36 ayat 3 PP).
Sungguh konyol bagi Yayasan yang sudah berbadan hukum namun belum menyesuaikan diri dengan UU ”diperlakukan lebih kejam” daripada Yayasan belum/tidak diakui berbadan hukum yang memang dari semula tidak mentaati hukum yang berlaku.
Disini terjadi ketidak adilan !
Berikutnya agar tidak lebih konyol lagi sebaiknya redaksi pasal 36 ayat 2 diubah menjadi : ”Didalam premise akta Perubahan Anggaran Dasar disebutkan asal usul pendirian Yayasan ...dst”.
Argumentasinya : Tidak mungkin di dalam Akta Pendirian ditambahkan premise seperti yang disyaratkan kecuali dengan mengadakan Perubahan terhadap Akta tersebut.
Saran : sekalian dalam premise akta ditegaskan pula bahwa perbuatan hukum yang dilakukan oleh organ yayasan sebelum disahkannya yayasan sebagai badan hukum, terhitung sejak disahkannya yayasan sebagai badan hukum, segala hak dan kewajiban yang timbul diambih alih dan oleh karena itu menjadi hak dan kewajiban Yayasan. ( Ini mengadopsi ketentuan dalam pasal 14 UU 40 /2007 tentang PT ).
Argumentasinya : karena dalam UU dan PP tidak disebutkan peralihan hak dan kewajiban atas suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh organ yayasan sebelum yayasan disahkan sebagai badan hukum, maka hal itu paling tepat disebutkan dalam akta perubahan anggaran dasar yayasan.
Demikianlah uraian sekilas mengenai serba serbi Yayasan, semoga berguna bagi para pembaca.
Serba-serbi Yayasan dan pengaturannya
dalam UU 16/2001, UU 28/2004 dan PP
63/2008
Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.
Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk mencapai maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha dengan syarat bahwa :
- usaha kegiatan badan usaha tersebut harus sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan;
- kegiatan usahanya tidak bertentangan denan ketertiban umum, kesusilaan dan/atau peraturan perundangan yang berlaku ( dapat mencakup bidang-bidang hak asasi manusia, kesenian, olah raga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkunngan hidup, kesehatan dan ilmu pengetahuan ) ( pasal 8 UU16/2001);
- jumlah penyertaan maksimum 25 % dari seluruh nilai kekayaan Yayasan;
- Anggota Pembina, Pengurus dan Pengawas Yayasan dilarang merangkap sebagai anggota Dirkesi dan anggota Dewan Komisaris atau Pengawas dari badan usaha tersebut.
Yayasan mempunyai organ yang terdiri dari Pembina, Pengurus dan Pengawas. Kepada mereka tidak dapat diberikan gaji, upah atau honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang. ( Pasal 5 UU 28/2004 ).
Khusus mengenai Pengurus dapat diadakan pengaturan pengecualiannya dalam Anggaran Dasar Yayasan, yaitu Pengurus dapat diberi gaji, upah atau honorarium dengan syarat bahwa Anggota Pengurus tersebut :
- bukan pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan Pendiri, Pembina atau Pengawas;
- melaksanakan kepengurusan Yayaysan secara langsung dan penuh.
Disamping larangan untuk memberikan upah, gaji atau honorarium, Yayasan juga dilarang untuk membagikan hasil kegiatan usahanya kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas. (pasal 3 ayat 2 UU16/2001).Namun segala biaya dan ongkos yang dikeluarkan oleh organ yayasan dalam rangka menjalankan tugas yayasan wajib dibayar oleh Yayasan.
Catatan Penulis : Jadi kalau gaji, upah atau honor tidak boleh, tapi kalau biaya perjalanan, biaya seminar, ongkos penginapan, ongkos pemeliharaan/service kendaraan, dll yang dikeluarkan lebih dahulu ( ditalangi ) oleh organ yayasan dapat minta ganti kepada Yayasan. Pastilah akan banyak pos-pos pengeluaran di bidang ini kalau mau mengamati laporan keuangan yayasan :)
Yayasan dapat didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaannya sebagai kekayaan awal yayasan, dilakukan dengan akta notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia. Disamping oleh orang masih hidup, maka yayasan dapat pula didirikan dengan suatu wasiat ( oleh orang telah meninggal ).
Catatan : Penulis mengkritisi redaksi pasal 10 ayat 2 UU 16/2001 dimana disebutkan bahwa penerima wasiat mewakili pemberi wasiat, permasalahan yang utama adalah dapatkah orang yang telah meninggal dunia menjadi subyek hukum? Kedua siapakah penerima wasiat?
Kalau penerima warisan itu sudah pasti jelas, namun penerima wasiat dalam hal pendirian Yayasan sangat kabur. Seharusnya dipakai kata-kata Pelaksana Wasiat dengan bantuan ahli waris pemberi wasiat wajib melaksanakan ketentuan dalam wasiat, disini yang menjadi subyek hukum adalah boedel harta peninggalan pewaris bukan pewaris. ( Hal/kekeliruan ini rupanya disadari oleh Pemerintah sehingga dikoreksi dalam pasal 9 PP 63/2008).
Menurut PP 63/2008 pasal 8 memuat materi bahwa wasiat tersebut harus dengan wasiat terbuka yaitu wasiat yang dibuat dihadapan notaris sesuai ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Catatan penulis kata ”terbuka” ini menutup kemungkinan bagi pendirian Yayasan yang dilakukan dengan menggunakan surat wasiat olograpis, wasiat rahasia atau tertutup; jadi maksud Pemerintah tegas bahwa pendirian Yayasan hanya dimungkinkan dengan surat wasiat dalam bentuk akta umum.
Pengertian orang disini adalah orang perorangan dan/atau badan hukum baik nasional maupun asing ( pasal 9 UU 16/2001 ). Pendirian yayasan oleh orang asing diatur dalam PP nomor 63/2008 dalam pasal 10 s/d pasal 14 dan peraturan keimigrasian serta peraturan ketenagakerjaan ( penjelasan pasal 10 PP ).
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh yayasan yang didirikan oleh orang asing ( Yayasan yang mengandung unsur asing ):
- Orang asing /pendiri memisahkan minimal senilai Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) untuk modal awal yayasan;
- Menyatakan harta kekayaan tersebut berasal dari harta yang sah;
- Menyatakan bahwa kegiatan Yayasan tidak merugikan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia;
- Salah seorang pengurus Yayasan wajib dijabat oleh orang Indonesia;
- Anggota Pengurus wajib bertempat tinggal di Indonesia;
- Anggota Pengurus asing wajib sebagai pemegang izin melakukan kegiatan atau usaha di wilayah RI [ izin kerja, izin melakukan penelitian, izin belajar, izin melakukan kegiatan keagamaan, izin usaha sesuai UU Penanaman Modal (penjelasan pasal 12 PP )]dan juga pemegang Kartu Izin Tinggal Sementara;
- Anggota Pembina atau pengawas asing jika bertempat tinggal di Indonesia wajib sebagai pemegang izin melakukan kegiatan atau usaha di wilayah RI dan juga pemegang Kartu Izin Tinggal Sementara.
Khusus bagi pejabat korps diplomatik (suami, isteri dan anak-anaknya) tidak wajib sebagai pemegang izin melakukan kegiatan atau usaha di wilayah RI dan juga pemegang Kartu Izin Tinggal Sementara.
Catatan penulis : PP ini sangat memprioritaskan orang-orang yang bekerja sebagai korps diplomatik untuk mendirikan yayasan di Indonesia. Mungkin hal ini perlu dibahas oleh ahli-ahli
politik dan keamanan bangsa dalam mengkaji aspek politis dan aspek sekuriti yang mana bukan merupakan bidang Penulis. ( Bandingkan dengan ketentuan yang mengatur tentang cara beroperasinya Yayasan Asing ( beda dengan yayasan yang mengandung unsur asing ) dalam pasal 26 PP. Peraturan ini menurut penulis sangat bias, karena mengatur yayasan asing ( Yayasan yang didirikan menurut hukum asing) tidak diperbolehkan melakukan kegiatan dibidang pengembangan dan penelitian (pasal 26 PP), sebaliknya yayasan yang mengandung unsur asing ( yayasan yang didirikan menurut hukum Indonesia )- yang memprioritaskan anggota korps diplomatik sebagai pendiri, pembina, pengurus atau pengawas dari yayasan yang
mengandung unsur asing - diperbolehkan melakukan semua kegiatan sesuai maksud dan tujuan yayasan termasuk dibidang pengembangan dan penelitian. Membingungkan....
Bersambung....
Pembagian Sisa Hasil Likuidasi Perseroan
Bagian III
Pada bagian I dan bagian II dari materi Pembagian Sisa Hasil Likuidasi Perseroan telah kita ketahui dan pahami mengenai kapan waktunya pembagian sisa asset hasil likuidasi dapat dilakukan kepada para pemegang saham dan juga dapat ditentukan apakah sisa asset yang berupa barang tidak bergerak ( khususnya hak atas tanah berikut dengan segala bangunan yang berdiri di atasnya adalah merupakan suatu harta yang dimiliki bersama secara bebas atau terikat ( tergantung karakteristik perseroan ).
Pada bagian ini penulis akan menguraikan implikasi penerapan Teori Karakteristik Perseroan terhadap pengenaan Pajak kepada para pemegang saham yang berhak atas sisa hasil likuidasi perseroan.
Sebelum itu lebih baik kita memastikan lebih dahulu bagaimanakah caranya membagikan asset tersebut sesuai dengan proporsi kepemilikan saham dari para pemegang saham?
Sesuai dengan Keputusan Menteri Agraria nomor 3 tahun 1997 yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 dalam pasal 95 juncto pasal 2 Peraturan Kepala BPN nomor 1 tahun 2006 yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 1998 tentang Peraturan jabatan PPAT; aturan-aturan tersebut menentukan bahwa PPAT mempunyai tugas pokok yaitu melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan cara membuat akta otentik dan ditentukan pula bahwa PPAT hanya dapat membuat akta tanah yang dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yaitu :
a. Akta Jual Beli
b. Akta Tukar Menukar
c. Akta Hibah
d. Akta Pemasukan Ke Dalam Perusahaan
e. Akta Pembagian Hak Bersama
f. Akta Pemberian Hak Tanggungan
g. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik
h. Akta Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik
Jadi dalam bahasa orang awam diluar akta-akta tersebut tidak ada akta lain yang dapat dijadikan dasar untuk membalik nama suatu sertipikat dari pihak yang satu ke pihak yang lain.
Dari 8 pilihan akta tersebut para PPAT tentu akan memilih huruf E yaitu menggunakan akta Pembagian Hak Bersama, lalu dalam komparisi para pihaknya PPAT akan menentukan bahwa yang menjadi Pihak Pertama yaitu Sang Likuidator yang mewakili Perseroan dalam likuidasi dan yang menjadi Pihak Kedua adalah para pemegang saham bersama-sama, yang bagiannya masing-masing ditentukan berdasarkan komposisi kepemilikan saham masing-masing pemegang saham dalam perseroan secara proporsional.
Disamping itu PPAT harus menganalisa apakah akta tersebut dapat disahkan tanpa atau harus dengan membayar pajak khususnya BPHTB yang wajib disetor oleh masing-masing pemegang saham ?
Pada titik inilah pembahasan mengenai pengkategorian apakah asset sisa hasil likuidasi tersebut merupakan harta bersama bebas atau harta bersama terikat sangat relevan.
Karena dalam benak PPAT pasti terbayang peraturan perpajakan khususnya mengenai Pajak Penghasilan Final PP No. 48 Tahun 1994 jo. PP No. 27 Tahun 1996 dan mengenai BPHTB dalam UU No.20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas U2 No.21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (berlaku sejak 1 Januari 2001).
Dan sang PPAT agak bingung karena melihat Pasal 2 ayat (2) huruf a UU No.20 Tahun 2000 (dahulu Ps 2 ayat (2) angka 6 U2 No.21 Tahun 1997) yang mencantumkan bahwa obyek pajak adalah pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, dengan penjelasan:
“Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama”.
Untunglah kebingungan tersebut tidak berlangsung lama, oleh karena sang PPAT menemukan Surat Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional no. 600-1561 tanggal 21 April 1999 yang menjelaskan perbedaan antara jenis kepemilikan bersama dengan melihat pada perolehan asalnya yang membedakan pula antara pemilikan bersama yang bebas (vrije mede-eigendom) dan pemilikan bersama yang terikat (gebonden mede-eigendom) dimana sebagai kesimpulan dari Surat Menteri Agraria tersebut adalah :
“Pemisahan dan pembagian warisan masih termasuk dalam ‘rezim’ waris sehingga tidak termasuk kepada peralihan hak atau perolehan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 dan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997, atau dengan perkataan lain pendaftaran peralihan hak karena pemisahan dan pembagian warisan tidak dipersyaratkan adanya SSP PPh berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1994 dan SSB BPHTB berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997. Sudah tentu ketentuan tersebut termasuk pula pemisahan dan pembagian harta bersama (gono gini) yang disebabkan oleh perceraian suatu perkawinan”
PPAT tidak bingung ( terancam denda Rp.7.500.000,- ) dalam mengesahkan akta tanpa harus dilampiri SSB BPHTB; Instansi Pajak tetap dapat menarik Pajak (PPh) apabila memang pemegang saham memperoleh keuntungan dalam pembagian asset tersebut; Pemegang saham pasti tidak dikenakan pajak berganda!
Semoga 3 bagian tulisan mengenai Pembagian Sisa Hasil Likuidasi Perseroan ini berguna dan memberikan solusi bagi para pembaca.
Salam sejahtera
Jusuf Patrick
Pembagian Sisa Hasil Likuidasi Perseroan
Bagian II
Dalam artikel penulis mengenai Pembagian Sisa Hasil Likuidasi Perseroan bagian 1 kita telah mengetahui kapan waktunya sisa asset perseroan hasil likuidasi dapat dibagikan kepada para pemegang sahamnya sesuai proporsisi masing-masing dalam kepemilikan sahamnya dalam perseroan.
Permasalahan berikutnya yang harus kita analisa adalah siapakah yang menjadi subyek hukum dalam tindakan pembagian asset perseroan yang dalam hal ini berupa sebidang tanah dengan Hak Guna Bangunan seluas lebih kurang 25.000 m2 (2.5 Ha) atas nama Perseroan.
Persoalan ini akan selesai dengan mudah apabila para pemegang saham sepakat untuk menjual asset tersebut, namun yang terjadi disini sebaliknya para pemegang saham hendak mempertahankan tali "silaturahmi" diantara mereka dalam kepemilikan bersama atas asset tersebut.
Pertanyaan yang mendasar Apakah pemegang saham adalah pemilik perseroan yang merupakan satu kesatuan dengan keberadaan Perseroan ataukah Perseroan sebagai Person/Orang ( legal entity ) yang mandiri yang terdiri dari para pemegang saham (karena Perseroan didirikan berdasarkan perjanjian dan setelah didirikan maka Perseroan seolah-olah mempunyai "jiwa" tersendiri dari para pendirinya (pemegang saham)?
Jawaban atas pertanyaan tersebut membawa implikasi hukum yang berbeda, namun sebelum menganalisa jawaban tersebut; penulis hendak berteori sejenak ( jika sudah ada yang menemukan, penulis mohon ijin; namun jika belum ada penemu teori ini, silahkan pembaca mengujinya dalam suatu karya ilmiah...sebut aja teori ini sebagai Teori Karakteristik Perseroan© :).
Dalam Teori Karakteristik Perseroan penulis mendalilkan bahwa dalam perseroan terbatas dengan karakteristik tertutup, tanggung jawab pemegang saham lebih besar dibandingkan tanggung jawabnya dalam perseroan dengan karakteristik terbuka, demikian pula kekuasaan RUPS lebih utama daripada kekuasaan Pengurus, perseroan terbatas dengan karakteristik tertutup lebih berkarakter sebagai person yang mandiri, dibandingkan perseroan terbatas dengan karakteristik terbuka lebih sebagai alat (fungsi) daripada berkarakter sebagai person.
Undang-undang nomor 40 tahun 2007 lebih menganut paham perseroan dengan karakteristik terbuka, beda dengan UU nomor 1 tahun 1995 lebih menganut paham perseroan dengan karakteristik tertutup karena kekuasaan RUPS dalam UU 1/1995 diakui sebagai pemegang kekuasaan tertinggi ( Catatan : Mengenai pergeseran paradigma RUPS dalam perkembangannya akan penulis uraikan dalam artikel yang berikutnya ).
Menurut penulis relevansi pembahasan mengenai karakteristik perseroan ini erat kaitannya dengan penentuan apakah asset perseroan tersebut merupakan barang milik bersama secara bebas atau milik bersama secara terikat. Dan penentuan ini berdampak pada pengenaan pajak bagi para pemegang saham yang memperoleh asset /kekayaan hasil likuidasi perseroan.
Berikut ini penulis mengcopy paste dari presentasi rekan Herlien Budiono di Surabaya tanggal 8 Feb 2008 mengenai Pemilikan Bersama menurut teori dan praktek ( dengan segala hormat penulis meminta ijin kepada rekan Herlien Budiono ), pokok-pokok penting dari presentasi tersebut sebagai berikut :
Penentuan pemilikan bersama bersifat terikat atau bebas bergantung pada sebab (oorzaak) yang mengakibatkan para pemilik memiliki suatu kebendaan bersama-sama :
- Pemilikan bersama yang bebas (vrije medeeigendom) – pemilikan bersama merupakan
tujuan dari para pemiliknya
- Pemilikan bersama yang terikat (gebonden medeeigendom) – pemilikan bersama merupakan akibat dari suatu peristiwa hukum yang lain.
Persamaannya :
Pemiliknya memiliki bagian yang tak terbagi atas keseluruhan benda yang dimiliki bersama.
Contoh Pemilikan bersama yang terikat:
- karena bubarnya perkawinan, ex suami-isteri bersama memiliki harta benda perkawinan,
- karena bubarnya persekutuan perdata (maatschap) atau perkumpulan yang tidak berbadan hukum, para pesero bersama memiliki harta perseroan
- karena meninggalnya pewaris, para ahliwaris bersama memiliki harta peninggalan
(Ps 833 ayat (1) jo. Ps 955 KUHPerd)
Kewenangan bertindak:
Terwujud pada bebas atau tidaknya para pemilik untuk setiap saat mengalihkan bagian tak terbagi yang dimiliki atas harta bersama
- Pemilikan bersama yang terikat:
- Para pemilik tidak bebas untuk mengalihkan bagian tak terbaginya - semua tindakan hukum harus dilakukan bersama-sama
- Pemilikan bersama yang bebas:
- Para pemilik bebas untuk mengalihkan bagian tak terbaginya
Pemisahan dan pembagian: Pemilikan bersama yang bebas
Ps 573 KUHPerd: “Membagi sesuatu kebendaan yang menjadi milik lebih dari satu orang harus dilakukan menurut aturan-aturan yang ditentukan tentang pemisahan dan pembagian harta pembagian”
Pemisahan dan pembagian : Persekutuan perdata (maatschap)
Ps 1652 KUHPerd: “Aturan-aturan tentang pembagian warisan-warisan, cara-cara pembagian itu dilakukan, serta kewajiban-kewajiban yang terbit karenanya antara orang-orang yang turut mewaris, berlaku juga untuk pembagian di antara para pesero” .
Pemisahan dan pembagian bersifat pengalihan hak ?
Ps 1083 KUHPerd:
“Tiap waris dianggap seketika menggantikan si meninggal dalam hak miliknya atas benda-benda yang dibagikan kepadanya atau yang secara pembelian diperolehnya berdasarkan Ps 1076. Dengan demikian, maka tiada seorang pun dari para waris dianggap pernah memperoleh hak milik atas benda-benda yang lainnya dari harta peninggalan”
Kalau kepada ahliwaris A dibagikan sebuah rumah, ahliwaris B sebuah pabrik, maka:
– A tidak pernah memiliki pabrik dan B tidak pernah memiliki rumah;
- A dan B masing-masing memperoleh rumah dan pabrik bukan karena pemisahan dan pembagian tetapi karena warisan;
- Bukan peralihan/perolehan hak, tetapi mengkonstatir peristiwa hukum.
Apakah Ps 1083 KUHPerd membawa akibat hukum sama terhadap pemisahan dan pembagian atas pemilikan bersama yang bebas – mengingat Ps 573 KUHPerd menyatakan bahwa pemisahan dan pembagian suatu kebendaan milik lebih dari satu orang harus dilakukan menurut aturan yang ditentukan tentang pemisahan dan pembagian harta peninggalan ?
Pemisahan dan pembagian untuk pemilikan bersama yang terikat bersifat deklaratif – berlaku surut sejak terjadinya pemilikan bersama yaitu sejak bubarnya perkawinan, bubarnya persekutuan perdata (maatschap)/perkumpulan tidak berbadan hukum, meninggalnya pewaris. Hanya mengkonstatir peristiwa hukum .
Pemisahan dan pembagian untuk pemilikan bersama yang bebas bersifat pengalihan hak “translatif” – berlaku sejak terjadinya pemisahan dan pembagian
Tujuan Pemisahan dan Pembagian
– mengakhiri pemilikan bersama
– kepada pihak yang dipisahkan dan dibagikan suatu benda - mempunyai hak pengurusan dan pemilikan atas bendanya
Kembali pada topik bahasan Apakah asset sisa hasil likuidasi Perseroan merupakan harta pemilikan bersama bebas atau terikat dari para pemegang saham?
Patokannya bergantung pada sebab (oorzaak) yang mengakibatkan para pemilik memiliki suatu benda. Dalam hal inilah penting sekali untuk menganalisanya dari segi karakteristik Perseroan.
Jika karakteristik Perseroan terbuka, maka keberadaan PT sebagai alat (fungsi) membawa akibat pemilikan suatu benda adalah untuk memenuhi suatu tujuan yang hendak dicapai Perseroan melalui Pengurusnya untuk kepentingan para pemegang saham, sehingga dalam hal ini dapat dikatakan hakekat pemilikan benda oleh Perseroan merupakan pemilikan bersama yang bebas. Konsekuensinya pembagian asset tersebut kepada para pemegang sahamnya merupakan peralihan hak yang translatif.
Contoh : Perseroan yang berusaha di bidang developer/real estate, bubar dan dilikuidasi, sisa assetnya berupa kaplingan dan/atau rumah di perumahan yang dikembangkan oleh Perseroan ( contoh PT karakteristik terbuka dibidang kepemilikan bersama, PT sebagai alat, asset yang dimiliki untuk mencapai tujuan bersama )
Dan terhadap perbuatan hukum ini pemegang saham dikenai pajak (khususnya BPHTB).
Kalau mau dianalisa apakah Perseroan terutang PPH atas peralihan hak ini?? ( Penulis tidak menemukan jawaban yang tepat untuk hal ini, mungkin pembaca dapat melengkapinya. Disini akan terjadi debat yang seru mengenai dasar-dasar pengenaan pajak yang selama ini tidak jelas, namun semata-mata demi mencapai target pemasukan negara saja tanpa memperhatikan kesejahteraan dan perlindungan kepada masyarakat ).
Jika Perseroan dengan karakteristik tertutup, maka asset yang diperoleh Perseroan adalah merupakan asset yang digunakan untuk menunjang keberadaan perseroan, dalam hal ini kepemilikan asset merupakan kepemilikan bersama yang terikat. Konsekuensinya pembagian asset hasil likuidasi kepada para pemegang saham merupakan tindakan yang bersifat deklaratif ( hanya untuk mengkonstatir suatu peristiwa hukum dalam hal ini likuidasi ) dan oleh karena itu terhadap tindakan tersebut tidak dapat dikenai pajak, karena tidak terjadi peralihan hak
secara translatif.
Contoh : Perseroan yang berusaha di bidang Industri, memiliki asset pabrik berikut hak atas tanahnya, bubar dan dilikuidasi, sisa assetnya berupa bangunan dan tanah dimana pabrik tersebut didirikan ( contoh PT karakteristik tertutup dibidang kepemilikan bersama, pembelian dan kepemilikan atas asset untuk menunjang keberadaan Perseroan dan bukan untuk tujuan Perseroan ).
Kesimpulan penulis :
Sisa hasil likuidasi harta Perseroan yang dibubarkan tidak harus dalam bentuk uang tunai, namun dapat saja berupa asset berupa barang tidak bergerak ( khususnya hak atas tanah dan/atau bangunan ) dan/atau barang bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud.
Khusus mengenai sisa hasil likuidasi yang berupa asset dalam bentuk barang tidak bergerak khususnya hak atas tanah dan/atau bangunan, apabila asset tersebut diperoleh dan dipergunakan untuk menunjang keberadaan Perseroan, maka dapat dikategorikan sebagai barang milik bersama secara terikat dari para pemegang saham, sedangkan jika asset tersebut diperoleh dan dipergunakan untuk memenuhi tujuan Perseroan, maka sisa hasil likuidasi tersebut adalah merupakan barang milik bersama secara bebas.
Bersambung..
PEMBAGIAN SISA HASIL LIKUIDASI PERSEROAN
Bagian I
Dalam artikel yang lalu penulis pernah membahas tentang praktek pembubaran perseroan terbatas, dimana dalam salah satu tahap yang harus dilakukan adalah tahap pemberesan oleh likuidator.
Dalam tahap pemberesan ini ada satu masalah yang cukup krusial untuk dibahas secara mendalam, karena dalam masalah ini menyangkut beberapa bidang hukum yaitu hukum perseroan, hukum pertanahan dan hukum perpajakan.
Masalah yang terjadi adalah dalam tahap pemberesan ternyata terdapat sisa asset perseroan berupa hak atas tanah ( Hak Guna Bangunan ) atas nama perseroan.
Bagaimana cara membagikannya asset tersebut kepada para pemegang saham.
Di bagian pertama tulisan ini penulis akan lebih dahulu membahas dari segi hukum perseroan, khususnya untuk menentukan kapan waktunya dapat dilakukan pembagian sisa asset perseroan yang dibubarkan kepada para pemegang saham ( pemilik perseroan ).
Pembubaran dan likuidasi adalah dua perbuatan hukum yang tidak terpisahkan ( jaman Orla disebut Dwitunggal ), karena setiap pembubaran wajib diikuti oleh tindakan likuidasi ( lihat pasal 142 ayat 2 ).
Apakah akibat hukumnya jika hanya dilakukan tindakan pembubaran tanpa tindakan likuidasi? Silahkan pembaca menyimak ulang artikel penulis mengenai Praktek pelaksanaan pembubaran PT.
Jika Sisminbakum konsekuen terhadap bunyi peraturan yang ada, maka sebelum dilakukan tindakan likuidasi status badan hukum dari Perseroan tetap ada. Oleh karena itu pasti ada implikasinya apabila tindakan pembubaran tidak diikuti oleh tindakan likuidasi.
Salah satu kewajiban Likuidator adalah melakukan pembayaran sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham (Pasal 149 ayat 1 point d) yang dilakukan setelah dilaksanakannya pembayaran kepada kreditor.
Pertanyaannya dalam jangka waktu berapa lama setelah keputusan pembubaran perseroan, likuidator dapat melaksanakan pembagian sisa hasil likuidasi tersebut ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan konsentrasi khusus, karena terdapat masalah yang cukup membingungkan, karena dalam UU 40/2007 menyebutkan "tenggang-tenggang" waktu yang berbeda dalam pasal 147 ayat 3 dan pasal 149 ayat 3.
Memang jika diamati seolah-olah ketentuan mengenai tenggang-tengang waktu tersebut mengatur hal yang berbeda, dalam pasal 147 ayat 3 mengatur jangka waktu pengajuan tagihan, sedangkan dalam pasal 149 ayat 3 adalah mengenai jangka waktu untuk mengajukan keberatan terhadap rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi.Namun yang menjadi masalah adalah acuan penghitungan jangka waktu 60 hari itu dimulai darimana?
Dalam pasal 147 ayat 3 dan penjelasannya diketahui 60 hari sejak tanggal pengumuman paling akhir yaitu tanggal pegumuman dalam BNRI (bukan tanggal pengumuman di Surat Kabar); sedangkan dalam pasal 149 ayat 3 jangka waktu 60 hari dihitung dari pengumuman tentang rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi ( jadi bukan dari pengumuman pembubaran seperti yang tercantum dalam pasal 147 ayat 1 ). (Catatan : disini harus juga ditafsirkan tanggal pengumuman yang paling akhir yaitu tanggal pengumuman dalam BNRI, walaupun dalam penjelasan resmi pasal 149 ayat 3 cukup jelas).
Dalam praktek para Notaris sering hanya berpatokan pada tanggal Pengumuman pembubaran sesuai pasal 147 ayat 1, bahkan jarang sekali menyarankan kepada kliennya untuk melakukan Pengumuman tentang rencana pembagian kekayaan hasil liuidasi. Padahal akibat tidak dilaksanakannya tindakan ini adalah FATAL !
Karena dengan tidak dilakukannya tindakan tersebut hak kreditor untuk mengajukan keberatan telah ditiadakan, oleh karena itu setiap tindakan hukum berikutnya yang dilakukan oleh likuidator terhadap sisa hasil kekayaan perseroan dapat dinyatakan BATAL DEMI HUKUM. Ketentuan pasal 150 UU PT tidak dapat dipakai sebagai alasan untuk membela diri.
Untuk mengamati apakah tindakan pembubaran dan likuidasi yang dilakukan oleh suatu Perseroan benar-benar dilaksanakan sesuai prosedure yang sah, jika melalui perantaraan seorang Notaris sangat mudah patokannya.
Berikut ini joke serius....
Jika notaris tersebut hanya menarik biaya Rp.2.500.000,- s/d Rp.5.000.000,- ini dapat berarti Notaris atau pihak yang terafiliasi dengannya adalah pihak yang memiliki perseroan atau Notaris tersebut berjiwa sosial dan ikut berprihatin kepada kliennya ( wah yang ini pastilah Notaris tersebut sudah sangat kaya ) atau Notaris tersebut hanya melakukan sebagian dari prosedure yang seharusnya dilakukan untuk pembubaran dan likuidasi PT ( Nah kalau yang ini sih paling
banyak terjadi.... memprihatinkan...).
Pembaca dapat menghitung sendiri berapa kira-kira biaya yang dikeluarkan untuk pembubaran dan likuidasi suatu PT, yang paling tidak terdiri dari beberapa hal :
- biaya Akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham tentang pembubaran
- biaya Pengumuman di Surat Kabar dan di Berita Negara tentang pembubaran (pasal 147 ayat 1)
- biaya PNBP Sisminbakum untuk pemberitahuan kepada Menteri Hukum dan HAM
- biaya Pengumuman di Surat Kabar dan BNRI tentang rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi (pasal 149 ayat 1)
- biaya Akta Berita Acara RUPS pertanggungjawaban Likuidator ( pasal 152 ayat 1)
- biaya Pengumuman di Surat Kabar dan Pemberitahuan kepada Menteri hasil akhir proses likuidasi (pasal 152 ayat 3)
- Honor jasa pengurusan ??
Mari kembali ke Laptop ( meniru Tukul Arwana ), jadi solusi mengenai kapan dapat dibagikan sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham adalah sebagai berikut :
1. Apabila terdapat kreditur yang mengajukan tagihan, maka paling tidak pembagiannya harus menunggu setelah lewatnya waktu 60 hari setelah pengumuman rencana pembagian ( atau setidak-tidaknya 120 hari setelah pengumuman pembubaran perseroan );
2. Apabila terdapat kreditur yang menggajukan tagihan dan keberatannya terhadap rencana pembagian ditolak oleh Likuidator, maka pembagiannya harus menunggu sampai dengan adanya putusan Pengadilan terhadap pokok gugatan tersebut (pasal 149 ayat 4);
3. Apabila tidak terdapat kreditur yang mengajukan tagihan, maka setelah lewatnya jangka waktu 60 hari setelah tanggal pengumuman pembubaran ( Ingat yang digunakan adalah tanggal pengumuman di BNRI, bukan tanggal Pengumuman di Surat Kabar), dapat dilakukan pembagian.
Khusus mengenai point 3 karena tidak ada aturannya dalam UU, maka demi keamanan terhadap sahnya tindakan likuidator perlu diadakan penegasan dalam suatu RUPS bahwa setelah jangka waktu yang ditetapkan dalam pasal 147 ayat 3 benar-benar tidak terdapat tagihan dari kreditor manapun dan oleh karena itu RUPS memutuskan memberikan kewenangan kepada likuidator untuk membagikan sisa kekayaan perseroan kepada pemegang saham sesuai dengan proporsi kepemilikan sahamnya di dalam perseroan, semuanya dengan mengingat ketentuan dalam pasal 150 ayat 2 ( Kreditor tetap dapat mengajukan tagihan melalui Pengadilan dalam jangka waktu 2 tahun sejak pengumuman pembubaran Perseroan).
Permasalahan yang berikutnya adalah apakah asset perseroan tersebut adalah asset bersama dari para pemegang saham sesuai dengan proporsi kepemilikan saham masing-masing pemegang saham dalam perseroan? ( Hal ini akan dibahas pada bagian berikutnya di blog penulis)
Kesimpulan :
Dalam melakukan pembagian sisa kekayaan perseroan hasil likuidasi kepada pemegang sahamnya harus benar-benar diperhatikan waktu pelaksanaanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan dengan akibat hukum bahwa jika tidak dilakukan sesuai prosedure maka perbuatan hukum tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum.
Peringatan kepada para calon pembeli asset yang berasal dari sisa hasil likuidasi perseroan yang dibubarkan agar lebih berhati-hati, lebih aman jika membeli asset tersebut selewatnya 2 tahun setelah pengumuman pembubaran perseroan.