BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dimasa sekarang ini, tindak kriminal sudah menjadi salah satu masalah penting yang perlu segera ditanggulangi oleh pihak-pihak/aparat-aparat hukum di Indonesia . Tingkat kriminalitas yang tinggi di Indonesia merupakan salah satu bukti bahwa begitu banyak terjadi kejahatan dan pelanggaran. Tindak kriminal tersebut dilakukan oleh masyarakat yang tentu saja belum mengerti tentang aturan-aturan yang berlaku di Indonesia yang semestinya mereka patuhi. Selain itu, mungkin juga karena faktor ekonomi, kelalaian, karena masalah pribadi dan masih banyak alasan lainnya untuk berbuat jahat dan melakukan perbuatan melawan hukum.
Tindak kriminal sangat terkait dengan para penegak hukum. Mereka adalah orang-orang yang baik secara langsung maupun tidak langsung akan memiliki peran yang menjadi bagian penting dalam setiap pelaksanaan hingga penyelesaian perkara. Mereka yang terkait antara lain Aparat Kepolisian, Jaksa Penuntut Umum, PPNS khusus, Majelis Hakim, Panitera, Penasihat Hukum dll. Mereka memiliki tugas masing-masing tapi saling berhubungan satu sama lain. Tugas-tugas mereka terangkum dalam suatu proses penyelesaian perkara pidana mulai dari tingkat penyelidikan hingga tingkat pemberian putusan/vonis.
Dalam suatu proses peradilan, yang menjadi tokoh utama adalah pelaku atau tersangka kejahatan. Jika seseorang yang telah dituntut berdasarkan bukti-bukti yang telah diperoleh dari tim penyidik maka ia telah berubah status menjadi terdakwa. Terdakwa inilah yang lantas akan menjalani proses hukum dipengadilan. Seorang terdakwa berhak untuk memperoleh bantuan hukum bahkan sejak ia masih berstatus sebgai tersangka.
“…tercantum dalam KUHAP, terutama Pasal 54 sampai dengan Pasal 57 (mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan penasihat hukum) dan Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 (mengenai tata cara penasihat hukum berhubungan dengan tersangka atau terdakwa)” (Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H., 2005:87).
Seorang terdakwa dapat dipidana berdasarkan putusan majelis hakim. Majelis hakim memutuskan suatu perkara harus didasarkan pada alat-alat bukti yang sesuai dengan yang telah ditentukan oleh UU. Dalam hal ini adalah KUHAP Pasal 184 (1) yang mengatakan bahwa “alat-alat bukti yang sah ialah : a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat ;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa” (M. Karjadi dan R. Soesilo, 1997:162). Selain alat-alat bukti yang sah, keyakinan hakim juga menentukan dalam pemberian vonis bagi terdakwa.
Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti utama dalam proses penyelesaian perkara dipengadilan.
Reny Rawasita Pasaribu (2005:1) mengatakan bahwa keberadaan saksi memegang peranan penting dan dalam banyak kesempatan sangat menentukan hasil akhir dari berbagai kasus, baik perdata maupun pidana. Keterangan saksi yang diberikan di hadapan pengadilan merupakan salah satu bukti penting yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutus sebuah perkara.
Kenyataannya perangkat hukum di Indonesia khususnya KUHAP, belum mampu memberikan suatu bentuk pengaturan bantuan hukum yang dapat memberikan perlindungan bagi pihak saksi. Hal serupa pun terjadi dipihak korban yang sama sekali tidak memiliki perlindungan hukum ketika mereka memberikan kesaksiannya. Perlindungan hukum untuk pihak saksi/korban seharusnya ada untuk melindungi diri mereka sendiri maupun keluarga mereka dari segala macam bentuk kekerasan fisik dan mental.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Dimana letak kelemahan KUHAP terhadap pengaturan bantuan hukum untuk pihak saksi/korban ?
2. Apa perlunya bantuan hukum jika dikaitkan dengan hak dan kewajiban saksi/korban ?
3. Apa upaya-upaya yang harus dilakukan untuk memberikan perlindungan hukum kepada saksi/korban
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dimana letak kelemahan KUHAP terhadap pengaturan bantuan hukum untuk pihak saksi/korban ?
2. Untuk mengetahui perlunya bantuan hukum jika dikaitkan dengan hak dan kewajiban saksi/korban ?
3. Untuk mengetahui upaya-upaya yang harus dilakukan untuk memberikan perlindungan hukum kepada saksi/korban ?
D. Manfaat
1. Agar menemukan sistem pengaturan bantuan hukum untuk pihak saksi/korban.
2. Agar memahami perlunya bantuan hukum untuk pihak saksi/korban.
3. Agar saksi/korban mendapat perlindungan hukum sesuai dengan hak-haknya.
E. Metodologi
Metode pengumpulan data yang penulis gunakan yaitu dengan observasi melalui media elektronik (internet). Dan untuk menganalisa data, penulis menggunakan teknik pendekatan yang bersifat kualitatif yaitu metode yang datanya diperoleh berdasarkan analisis-analisis teori dan asumsi umum.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Letak Kelemahan KUHAP terhadap Pengaturan Bantuan Hukum untuk Pihak Saksi/Korban
Sebenarnya masalah pengaturan bantuan hukum untuk pihak saksi/korban tidak ada pengaturannya dalam KUHAP. Tidak ada satu pasal pun yang menyebutkan mengenai adanya pengaturan bantuan hukum untuk pihak saksi/korban.
Meskipun demikian, Reny Rawasita Pasaribu (2005:2) mengatakan bahwa perlindungan terhadap saksi dalam KUHAP diatur dalam Pasal 116-120 dan Pasal 159-179, dimana diatur bahwa :
1. adanya kewajiban mengucapkan sumpah bagi saksi, kecuali untuk:
a. anak yang umurnya belum cukup 15 tahun (Pasal 171 butir (a))
b. orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali (Pasal 171 butir (b))
2. dapat didengarnya kesaksian saksi tanpa kehadiran terdakwa (Pasal 173)
3. dapat ditunjuknya juru bahasa bagi saksi yang tidak pahambahasa
4. dapat ditunjuknya penterjemah bagi saksi bisu tuli serta tidak dapat menulis (Pasal 178).
Akan tetapi, Mekanisme perlindungan yang ada dalam KUHAP tersebut dalam perkembangannya sangat tidak memadai dalam upaya mendukung proses penegakan hukum dan keadilan.
Dalam kenyataannya, hukum pidana materil dan formil hanya lebih menekankan kewajiban saksi dari pada hak-haknya. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 224 dan Pasal 522 KUHP .
Dimana dalam Pasal 224 menyebutkan bahwa barangsiapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi suatu kewajiban yang menurut undang-undang selaku demikian harus dipenuhinya,diancam :
Ke-1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.
Ke-2. dalam perkara lain, dengan pidana paling lama enam bulan. (Prof. Moeljatno, S.H., 2003:84).
Selain itu dalam Pasal 184 (1) KUHAP hanya menyebutkan bahwa saksi merupakan salah satu alat bukti sehingga secara tersirat dapat dilihat bahwa saksi wajib memberikan keterangan/kesaksiannya karena keterangan saksi adalah alat bukti utama untuk membantu hakim menjatuhkan putusan untuk terdakwa.
Karena kelemahan-kelemahan KUHAP inilah, sejak sebelum orde reformasi pun, banyak kalangan yang menyatakan perlunya revisi terhadap substansi dalam KUHAP. Salah satunya adalah masalah pengaturan bantuan hukum untuk pihak saksi/korban. Karena meskipun saksi diberikan perlindungan namun dalam realitanya, saksi/korban tidak mendapatkan perlindungan hukum yang semestinya.
Oetojo oesman (1996:2) mengatakan kalau kita terbatas hanya melihat KUHAP, kita harus melihat dulu terbentuknya KUHAP itu bagaimana. Disamping itu juga kita harus melihat kepada perundang-undangan yang lain, maka bisa saja terjadi pengembangan-pengembangan. Kalau hal itu dirasa tidak cukup, bisa saja dituangkan dalam bentuk peraturan tertulis. Kelemahan KUHAP lebih terletak pada pelaksanaannya.
Advokasi RUU KDRT (2004:3) mengatakan pandangan yang menganggap semua masalah kejahatan harus diatur dalam suatu kodifikasi hukum seperti KUHP atau KUHAP adalah pandangan yang sempit dan ketinggalan zaman serta tidak sesuai dengan tuntutan yang ada. Karena pada era modernisasi dimana pembagian kerja semakin kompleks,kebutuhan aan adanya peraturan-peraturan khusus yang bisa menjangkau permasalahan di lapangan semakin mendesak untuk segera diakomodir.
Salah satu contoh dari pendapat diatas adalah masalah kekerasan dalam rumah tangga yang memiliki konteks permasalahan yang spesifik sehingga dibutuhkan secara khusus aturan dalam bentuk sebuah UU. Menilik soal ini, didalam KUHAP ternyata sejauh ini terbukti tidak mampu memberi perlindungan bagi korban KDRT. Karena aturan tersebut masih sangat umum, tidak mempertimbangkan kesulitan-kesulitan korban untuk mengakses perlindungan hukum (Advokasi RUU KDRT, 2004:3).
B. Perlunya Bantuan Hukum dikaitkan dengan Hak dan Kewajiban Saksi/Korban
Bantuan hukum untuk pihak saksi/korban dibutuhkan karena hal itu terkait dengan hak dan kewajiban saksi/korban. Pemberian bantuan ini dianggap perlu mengingat bahwa ini adalah bentuk keadilan yang harus diberikan kepada seluruh pihak yang terlibat dalam perkara baik itu terdakwa, saksi, dan korban maupun keluarganya. Hal tersebut sering kali terlupakan, padahal semangat kita untuk menghukum terdakwa tidak boleh melupakan kita akan keadilan dan pemulihan bagi para pihak lainnya. Untuk itulah perlu adanya bantuan hukum dalam bentuk perlindungan terhadap hak para pihak dalam suatu peristiwa kejahatan baik terhadap terdakwa maupun terhadap saksi dan korban (Amir Syamsuddin, 2003:2).
Amir Syamsuddin (2003:2) mengatakan bahwa “Asas persidangan yang fair mengisyaratkan adanya perlindungan terhadap hak terdakwa, hak korban, dan hak saksi secara baik sejak tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai pemeriksaan di pengadilan sehingga pengadilan dapat berjalan secara transparan, independen, dan adil”.
“Saksi adalah mereka yang mempunyai pengetahuan sendiri berdasarkan apa yang dialaminya, dilihatnya, dan/atau didengarnya berkenaan dengan dugaan terjadinya tindak pidana. Berdasarkan definisi tersebut, maka tidaklah mustahil saksi adalah juga korban-pihak yang dirugikan dari peristiwa tersebut” (Komnas HAM, 2004:1).
Yang dilihat disini adalah bahwa perlunya bantuan hukum demi untuk memberikan perlindungan karena saksi adalah kunci dalam pengungkapan perkara pidana. Jika suatu tindak pidana tanpa ada saksi, akan sulit bagi para penegak hukum untuk mengungkap siapa pelakunya. Kesulitan yang sama, ketika saksi tidak mau memberikan kesaksiannya karena adanya tekanan baik yang sifatnya fisik maupun mental yang ditujukan kepada para saksi atau keluarga saksi maupun orang terdekat saksi. Sehingga jelas disini, saksi harus dilindungi secara hukum sebab posisi mereka termasuk dalam posisi yang berat dilihat dari konsekuensi yang harus ditanggung. Konsekuensi itu dapat berupa ancaman, kekerasan fisik, diadukan balik dengan tuduhan pencemaran nama baik, alasan penyuapan dll.
Beberapa aturan atau perundang-undangan telah ada ketentuan atau pasal yang memberikan perlindungan hukum sehubungan dengan hak dan kewajiban saksi/korban. Misalnya dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pasal 15 yang menyebutkan bahwa KPK berkewajiban memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan atau memberikan keterangan mengenai tindak pidana korupsi. Kemudian dalam UU No. 23 Tahun 2002, Pasal 18 menyebutkan bahwa “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya”. Selain itu dalam PP No. 2 Tahun 2002 tentang Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksidalam Pelanggaran Berat HAM, disebutkan bahwa setiap korban dan saksi dalam pelanggaran berat HAM berhak untuk mendapat perlindungan dari aparat penegak hukum.
Dari ketentuan diatas dapat diketahui bahwa seorang saksi berhak untuk memperoleh perlindungan hukum dan berkewajiban untuk disumpah sebelum menyampaikan kesaksiannya didepan pengadilan.
Sedangkan hak-hak korban antara lain:
1. Berhak atas kompensasi/restitusi;
2. Berhak atas pembinaan dan rehabilitasi;
3. Berhak menolak menjadi saksi;
4. Berhak atas perlindungan dari ancaman pelaku;
5. Berhak didampingi penasihat hukum; dll.
Dan kewajiban korban yaitu :
1. Tidak menciptakan korban dengan mengadakan pembalasan;
2. Ikut berpartisipasi dalam mencegah viktimisasi lebih lanjut;
3. Bersedia dibina atau membina dari sendiri untuk tidak menjadi korban lagi;
4. Tidak menuntut kompensasi yang berlebihan;
5. Menjadi saksi jika tidak membahayakan diri sendiri atau keluarganya.
Perlunya bantuan hukum untuk pihak saksi/korban yang juga menjadi merupakan bentuk kesetaraan dan keadilan dalam proses perkara pidana adalah demi peningkatan harkat dan martabat pengadilan. Untuk mewujudkan hal ini, diperlukan suatu sistem pengadilan inkuisitorial (inquisitorial system) yang memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada para pihak (the right to confront and examine each another) dalam perkara karena sistem ini dapat memberikan rasa keadilan dan perlindungan kepada para subyek dalam perkara (subject to the witness protection) sehingga mereka mendapatkan kesetaraan (equal footing) dalam membela hak-hak hukumnya (Amir Syamsuddin, 2003:3).
C. Upaya-upaya untuk Memberikan Perlindungan Hukum kepada Saksi/Korban
Mengingat bahwa perlindungan KUHAP belum mencerminkan asas persamaan dimuka hukum maka saksi/korban membutuhkan suatu perangkat hukum untuk melindungi mereka. Perangkat hukum itu adalah dengan membentuk UU Perlindungan Saksi dan Korban. Upaya ini harus segera dilaksanakan oleh pemerintah. Sebab tanpa adanya perlindungan dari pemerintah, akan semakin banyak korban dan saksi yang enggan memberikan keterangan di depan pengadilan karena banyaknya tekanan yang mereka alami. Padahal keterangan dari saksi korban maupun saksi yang melihat atau mendengar langsung peristiwa pidana tersebut sangatlah penting guna menemukan dan mencari titik terang pidana yang dilakukan pelaku. Perlindungan tersebut bukan hanya untuk pribadi seorang saksi saja tetapi juga untuk saudara, keluarga (anak dan istri), bahkan orang bekerja dengan/kepada saksi itu (Adnan Topan Husodo, 2005:1).
Gagasan untuk membuat perangkat hukum yang dapat memberikan perlindungan bagi saksi dan korban tersebut maka akhirnya diwacanakanlah pembentukan RUU Perlindungan Saksi dan Korban.
“Perintah pembentukan RUU Perlindungan Saksi dan Korban merupakan amanat dari Ketetapan MPR NO. VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang ditetapkan tanggal 9 November 2001. Mulanya RUU Perlindungan Saksi dan Korban direncanakan untuk memberikan perlindungan terhadap para pihak yang memberikan kesaksian terhadap kasus-kasus korupsi” (Reny Rawasita Pasaribu, 2005:2-3).
Dimana seorang saksi perlu mendapatkan perlindungan hukum dari ancaman para pihak yang tidak menyenangi atau merasa dirugikan atas apa yang telah disampaikan seorang saksi dugaan korupsi kepada publik (Adnan Topan Husodo, 2005:1).
Perangkat hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap saksi atau korban dalam kasus tindak pidana korupsi yaitu Pasal 15 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) yang menyebutkan tentang perlindungan saksi yang meliputi pemberian jaminan keamanan dengan meminta bantuan dari kepolisian atau mengganti identitas pelapor atau melakukan evakuasi termasuk melakukan perlindungan hukum. Selain itu ada pula Pasal 5 dan 6 PP No. 71 Tahun 2000 tentang Cara Pelaksanaan dan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi yang memaparkan pemberian perlindungan hukum baik mengenai status hukum atau rasa aman,penegak hukum wajib merahasiakan identitas pelapor atau isi informasi yang disampaikannya serta pengamanan fisik kepada pelapor dan keluarganya (Heru Susetyo, 2005:2-3).
Heru Susetyo (2005:3) menambahkan bahwa masalahnya adalah, pasal-pasal diatas amat indah didengar, namun belum mewujud dalam kenyataannya. Tanpa bermaksud merendahkan KPK, lembaga ini baru berdiri dan belum teruji dalam hal perlindungan saksi tindak pidana korupsi. Membiarkan KPK bekerja sendiri melindungi saksi tanpa dukungan negara dan masyarakat jelas kurang arif. Apalagi di tengah ketiadaan UU Perlindungan Saksi.
Legalisasi terhadap RUU Perlindungan Saksi hendaknya segera dilakukan pemerintah jika ingin mempercepat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Akan tetapi dalam perkembangannya perlindungan saksi dan korban juga dirasakan sangat penting dalam kasus-kasus lain seperti kasus pelanggaran HAM, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT),perlindungan anak dll.
Reny Rawasita Pasaribu (2005:3) mengatakan untuk kasus pelanggaran HAM, pemerintah kemudian membuat PP No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM berat yang diharapkan mampu mandorong terwujudnya proses peradilan HAM yang adil dan mampu mengungkapkan kebenaran materil. PP ini juga berdasarkan Pasal 34 (1) UU No. 26 Tahun 2002 tentang Pengadilan HAM, menyatakan “Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun”.
Perangkat hukum diatas tersebut dianggap oleh banyak pihak masih jauh dari memadai. Bentuk pengaturan yang dikeluarkan dalam bentuk PP, bukannya undang-undang, berimplikasi pada kekuatan memaksanya yang tidak cukup besar. Dari sisi substansi, PP tersebut tidak mengatur secara rinci bentuk-bentuk perlindungan yang dapat diberikan. Alhasil, tidak heran jika kemudian dalam prakteknya kasus-kasus pengadilan HAM di Indonesia masih terus terbentur di proses kesaksian (Reny Rawasita Pasaribu, 2005:3).
Perlindungan saksi dan korban yang diatur lebih lanjut dalam PP No. 2 Tahun 2002 sebenarnya ketentuan tersebut masih bersifat parsial tidak bersifat universal untuk semua perkara kejahatan. (Amir Syamsuddin, 2003:2). Oleh sebab itu, kita menyadari pentingnya pengadaan sebuah lembaga perlindungan saksi dan korban dalam mekanisme peradilan HAM. Argumentasi tersebut didasrkan pada fakta real pincangnya proses peradilan HAM akibat tidak adanya mekanisme perlindungan saksi dan korban (Komnas HAM, 2004:1).
Di sisi lain, kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) mengisyaratkan bahwa adanya RUU anti KDRT menjadi penting, karena RUU tersebut mencantumkan mekanisme yang didasarkan pada kebutuhan dan kepentingan korban, yang antara lain pokok-pokoknya berisi kewajiban masyarakat dan negara untuk melindungi korban, perintah perlindungan terhadap korban serta perintah pembatasan gerak sementara terhadap pelaku, bantuan hukum bagi korban, perlindungan saksi dsb (Advokasi RUU KDRT, 2004:2).
“Pengaturan yang terpisah-pisah dan belum memadainya berbagai perangkat hukum yang mampu memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban tersebut menggambarkan kesemrawutan sistem perlindungan saksi dan korban yang dimiliki Indonesia. Untuk itulah RUU Perlindungan Saksi dan Korban semakin mendesak keberadaannya” (Reny Rawasita Pasaribu, 2005:4-5).
Menyadari pentingnya RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban, beberapa Organisasi Non-Pemerintah (Ornop) membentuk koalisi untuk menguatkan jaringan advokasi untuk mempercepat terbentuknya UU Perlindungan Saksi dan Korban. Beberapa anggota dari koalisi tersebut adalah ICW, TAPAL, PSHK, LeIP, MAPPI FHUI, KRHN, KONTRAS, JARI, JATAM, P3I, WALHI, AJI, LBH APIK, LBH Jakarta, Solidaritas Perempuan, Mitra Perempuan, KOPBUMI, dan BAKUBAE (Reny Rawasita Pasaribu, 2005:5).
Koalisi Perlindungan Saksi telah berhasil merumuskan pokok-pokok pikiran tentang RUU Perlindungan Saksi dan Korban, naskah akademis, RUU Perlindungan Saksi dan Korban versi Koalisi, dan berbagai kajian terkait dengan perlindungan saksi dan korban. Selain itu berbagai bentuk desakan telah ditujukan kepada para anggota DPR dan pemerintah sejak tahun 2003 agar mempercepat pembahasan RUU ini (Reny Rawasita Pasaribu, 2005:5).
Selain bentuk perlindungan normatif yaitu dengan disahkannya UU Perlindungan Saksi dan korban yang saat ini masih berupa rancangan undang-undang, adanya UU tersebut akan mengakibatkan adanya perlindungan psikologis. Sebab, bagaimanapun juga ketika seseorang dipanggil polisi, mereka selalu merasa sudah bersalah. Ini dikarenakan ketidaktahuan mereka untuk membedakan kapasitas pemanggilan itu apakah sebagai terdakwa atau hanya sebagai saksi. Perasaan bersalah inilah yang kemudian menimdulkan rasa takut sehingga tanpa disadarinya, ia akan mengiyakan saja semua pertanyaan yang ditujukan kepadanya.
Disamping perlindungan secara normatif, secara empiris pun masyarakat dan pemerintah wajib mengupayakan perlindungan terhadap para saksi whistleblower yaitu seorang pegawai (employee) atau karyawan dalam suatu organisasi yang melaporkan, menyaksikan, mengetahui adanya kejahatan ataupun adanya praktik yang menyimpang dan mengancam kepentingan publik di dalam organisasinya dan yang memutuskan untuk mengungkap penyimpangan tersebut kepada publik atau instansi yang berwenang (wilkipedia, Columbia electronic encyclopedia : 2005). Antara lain dengan tidak mudah mengungkap identitas mereka dan keluarganya untuk tujuan-tujuan yang kurang penting mengingat perlindungan secara normatif dan legalis saja kurang cukup di negeri ini (Heru Susetyo, 2005:4).
Mungkin perlu juga digali dari khasanah kearifan lokal negeri ini, suatu mekanisme, entah bernama hukum kebiasaan, adat, solidaritas, semi autonomous sicial field, apapun namanya, yang dapat saling memproteksi orang-orang yang perlu diproteksi tanpa harus terlalu bergantung pada lembaga negara ( Heru Susetyo, 2005:4).
“…perlindungan yuridis dalam bentuk perlindungan hukum yang memadai melalui undang-undang mutlak patut dibutuhkan… Selain itu, patut dipertimbangan pula seorang pelapor… diberikan reward dalam menghargai langkah berani yang dilakukannya… apa salahnya dia mendapatkan Bung Hatta award…” (Muh. Risnain, 2005:1).
Bagi korban sendiri yaitu dengan memberikan jaminan pemulihan secara fisik dan mental. Dan terakhir, menigkatkan harkat dan martabat korban dengan memperlakukannya secara layak yang disesuaikan dengan kondisi kejahatan yang menimpa mereka khususnya tindak kekerasan yang berkaitan dengan perempuan dan seksualitas (Amir Syamsuddin, 2003:3).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Letak kelemahan KUHAP terhadap pengaturan bantuan hukum untuk pihak saksi/korban yaitu tidak adanya satu ketentuan atau pasal yang menjelaskan tentang pengaturan bantuan hukum untuk pihak saksi/korban dalam KUHAP. Meskipun begitu, dalam KUHAP diatur mengenai perlindungan terhadap saksi, hanya saja aturan tersebut hanya menekankan pada kewajiban saksi. Kelemahan dalam KUHAP terletak pada pelaksanaannya yang belum memadai untuk memberikan penegakan hukum dan keadilan di Indonesia .
2. Bantuan hukum sangat diperlukan bagi saksi/korban karena saksi/korban adalah pihak yang penting dalam sebuah perkara pidana dan hal itu dilihat sehubungan dengan hak dan kewajiban mereka. Bantuan hukum itu dapat memberikan suatu perlindungan kepada saksi/korban, keluarganya, orang terdekat maupun orang yang bekerja bersama mereka sehingga mereka terhindar dari segala macam bentuk kekerasan fisik maupun mental (ancaman), penyuapan dan diadukan balik dengan tuduhan pencemaran nama baik. Selain itu dalam proses penyelesaian perkara di pengadilan harus memberikan keadilan bagi seluruh pihak yang terkait dengan perkara tersebut, salah satunya yaitu dengan memperhatikan hak dan kewajiban saksi/korban.
3. Upaya-upaya untuk memberikan perlindungan hukum kepada saksi/korban yaitu dengan membentuk UU Perlindungan Saksi dan Korban sebagai perlindungan normatif yang memberikan keadilan bagi saksi dan korban, perlindungan psikologis mengenai status hukum bagi saksi, perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi dan keluarganya dari ancaman fisik dan mental, perahasiaan identitas korban atau saksi, pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka, pemberian penghargaan atau award kepada para saksi khususnya dalam kasus tindak pidana korupsi, peningkatan harkat dan martabat korban dengan pemberian jaminan adanya pemulihan secara fisik maupun mental khususnya tindak kekerasan yang berkaitan dengan perempuan dan seksualitas, serta suatu mekanisme, entah bernama hukum kebiasaan, adat, solidaritas, semi autonomous social field, apapun namanya, yang dapat saling memproteksi orang-orang yang perlu diproteksi tanpa harus terlalu bergantung pada lembaga negara.
B. Saran-saran
1. Pemerintah dapat memberikan suatu perangkat hukum berbentuk UU untuk melindungi saksi/korban.
2. Para penegak hukum dapat memberikan kebebasan kepada saksi/korban untuk mendapatkan bantuan hukum.
3. Baik pemerintah maupun para penegak hukum dapat menghormati dan menghargai hak dan kewajiban saksi/korban.
4. Untuk saksi/korban dapat melaksanakan kewajibannya dan memperoleh hak-haknya.
5. Semoga kesetaraan dan keadilan bagi seluruh pihak dapat diwujudkan dalam setiap proses persidangan dan atau penyelesaian suatu perkara pidana demi tercapainya penegakan hukum dan berlakunya sistem peradilan inkuisatorial yang semestinya di Indonesia .
DAFTAR PUSTAKA
HAM, Komnas. 2004. Perlindungan Saksi dan Korban dalam Peradilan HAM. Tempo Interaktif, (Online), diakses 29 Juni 2006.
Hamzah, Andi. 2005. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.
Husodo, Topan, Adnan. 2005. Pentingnya UU Perlindungan Saksi dalam Memberantas Korupsi. Solusi Hukum.com, (Online), diakses 29 Juni 2006.
Karjadi, M. & Soesilo, R. 1997. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar. Bogor : Politeia.
KDRT, RUU, Advokasi. 2004. Pentingnya RUU Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Online), diakses 29 Juni 2006.
Moeljatno. 2003. KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta : Bumi Aksara.
Oesman, Oetojo.1996. Tidak Menutup Kemungkinan Direvisi. IN : FORUM, (Online), diakses 29 Juni 2006.
Pasaribu, Rawasita, Reny. 2005. RUU Tentang Perlindungan Saksi dan Korban : Perjalanan Panjang Perlindungan Hukum Bagi Pengungkap Tindak Pidana.
Parlemen.net, (Online), diakses 29 Juni 2006.
Risnain, Muh. 21 Mei 2005. Khairiansyah pantas dapatkan Bung Hatta award. Kepada Heru Susetyo (Hukum Online.com).
Susetyo, Heru. 2005. Perlindungan Terhadap Saksi Perkara Korupsi. Hukum Online.com, (Online), diakses 29 Juni 2006.
Syamsuddin, Amir. 2003. Menyaksikan Sidang Pengadilan Indonesia. KOMPAS : Amanat Hati Nurani Rakyat, (Online), diakses 29 Juni 2006.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, (Online), diakses 29 Juni 2006).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar