Kamis, 08 Mei 2008

NOTARIS DAN UU No 11 Th 2008

ESENSI KEBERADAAN LEMBAGA NOTARIAT
DENGAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO 11 TH 2008 TTG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK


Esensi keberadaan lembaga notariat yang berisi para pejabat umum ( Notaris ) diakui keberadaannya di dalam sistem hukum Indonesia khususnya melalui pasal 1868 KUHPdt :
”Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang- undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat "
Jadi syarat otentistas suatu dokumen yaitu :
- dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang
- oleh atau dihadapan Pejabat Umum
- Pejabat tersebut harus berwenang di tempat akta dibuat
Yang kemudian ditegaskan melalui Undang-undang nomor 30 tahun 2004 dalam pasal 1 : Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

Dalam penegasan tersebut ditetapkan bahwa Notaris adalah pejabat umum ”yang bukan satu-satunya” berwenang untuk membuat akta otentik.
Sehingga muncul ide-ide yang ”sangat merangsang syaraf” untuk disimak bersama sebagaimana diluncurkan oleh rekan Arianto Mukti Wibowo ( pakar telematika ) dalam penelitiannya dan tulisannya yang dituangkan dalam Naskah Akademik Rancangan UU tentang Tanda Tangan elektronik dan Transaksi Elektronik tahun 2001 di halaman 108 telah mengajukan pendapat :” jika sebuah CA (Certification Authority ) mendapatkan lisensi dari Pemerintah, maka CA tersebut dapat bertindak sebagai pejabat umum”.
Pada halaman yang sama dikatakan pula olehnya : ” Dengan memanfaatkan infrastruktur yang diberikan CA khususnya kemampuan untuk mengetahui identitas dari penandatanganan dan kemampuan untuk mengetahui kapan transaksi elektronik itu ditanda tangani, maka transaksi elektronik yang ditanda tangani dipersamakan dengan akta otentik yang dibuat di depan pejabat yang berwenang ”.
Pertanyaannya apakah transaksi elektronik atau dokumen elektronik dapat dipersamakan dengan akta otentik ?
Jawaban terhadap pertanyaan ini dapat menimbulkan polemik yang panjang jika para pengurus INI tidak segera mengajukan judicial review terhadap ketentuan pasal 5 UU no 11 th 2008 tentang ITE, khususnya ketentuan yang diatur dalam ayat 4 pasal tersebut. ( catatan : UU ITE diundangkan tanggal 21 April 2008 ).
Pada artikel yang berikutnya kita akan merenungkan lebih mendalam lagi tentang ”kesalahan” yang terjadi dalam perumusan pasal 5 ayat 4 UU ITE.

Sebelumnya harus diketahui lebih dahulu posisi Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dalam sistem hukum pembuktian yang berlaku di Indonesia.
Sesuai dengan pasal 5 ayat 1 s/d 3 dipastikan bahwa Informasi dan/atau dokumen elektronik berikut dengan hasil cetaknya adalah merupakan alat bukti yang sah, yang merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia, apabila dibuat dengan menggunakan Sistem Elektronik yang diatur dalam UU ITE.
Nah dalam kerangka berpikir inilah pendapat Arrianto di atas dapat dimengerti bahwa kekuatan pembuktian dokumen elektronik dapat dipersamakan dengan akta otentik, dengan alasan bahwa terhadap suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang telah ditanda tangani secara elektronik berarti terhadap informasi dan/atau dokumen tersebut telah diverifikasi dan diautentikasi ( lihat pasal 1 point 12 definisi mengenai Tanda Tangan Elektronik ).
KUHPdt hanya mengakui surat yang ditanda tangani sebagai suatu alat bukti yang mengikat, sedangkan surat tanpa tanda tangan adalah sekedar bukti permulaan yang tidak mengikat.
(Mengenai arti tanda tangan / penanda tanganan surat silahkan baca artikel : Arti sebuah tanda tangan.)
Bagaimana dengan tanda tangan elektronik apakah aplikasinya semudah tanda tangan konvensional ?
Agar tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah maka harus dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang dalam pasal 11 :

  1. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan;
  2. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa Penanda Tangan;
  3. segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
  4. segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
  5. terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya; dan
  6. terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang terkait.

Disamping itu masih ada syarat pengaman yang wajib ditempuh oleh pengguna tanda tangan elektronik sebagaimana ditentukan dalam pasal 12 (2) UU ITE :
Pengamanan Tanda Tangan Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
a. sistem tidak dapat diakses oleh Orang lain yang tidak berhak;
b. Penanda Tangan harus menerapkan prinsip kehati hatian untuk menghindari
penggunaan secara tidak sah terhadap data terkait pembuatan Tanda Tangan
Elektronik;
c. Penanda Tangan harus tanpa menunda-nunda, menggunakan cara yang dianjurkan
oleh penyelenggara Tanda Tangan Elektronik ataupun cara lain yang layak dan
sepatutnya harus segera memberitahukan kepada seseorang yang oleh Penanda
Tangan dianggap memercayai Tanda Tangan Elektronik atau kepada pihak
pendukung layanan Tanda Tangan Elektronik jika:
1. Penanda Tangan mengetahui bahwa data pembuatan Tanda Tangan Elektronik
telah dibobol; atau
2. keadaan yang diketahui oleh Penanda Tangan dapat menimbulkan risiko yang
berarti,kemungkinan akibat bobolnya data pembuatan Tanda Tangan
Elektronik; dan
d. dalam hal Sertifikat Elektronik digunakan untuk mendukung Tanda Tangan
Elektronik,Penanda Tangan harus memastikan kebenaran dan keutuhan semua
informasi yang terkait dengan Sertifikat Elektronik tersebut.

Dengan dilaksanakannya prosedure dan prinsip kehati-hatian, maka jelas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dapat dijadikan sebagai alasan timbulnya suatu hak (menyatakan adanya suatu hak atau memperkuat adanya suatu hak) atau menolak suatu hak (lihat pasal 7 UU ITE), lalu apakah bedanya dengan akta otentik yang dibuat oleh Notaris ??
Bagaimana dengan praktek para notaris sendiri, apakah dalam menjalankan jabatannya telah menerapkan aturan jabatan notaris dan prinsip kehati-hatian sedemikian rupa ? Silahkan pembaca merenungkannya sendiri-sendiri. ( Sebagai bahan perenungan lebih lanjut baca pula artikel penulis : Harkat dan martabat notaris, Sistem Komputer lebih berharga daripada Minuta Akta ).
Sedangkan secara ekternal penggerogotan kewenangan notaris telah terjadi secara sistematis sesuai dengan perkembangan sistem hukum campuran yang diterapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia ( campuran antara sistem hukum Civil Law / Continental, Common Law / Anglo Saxon, Islam dan Adat ) dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan saat ini.
Dengan melihat penggerogotan secara internal maupun eksternal, penulis merasa yakin bahwa keberadaan lembaga notariat dari hari ke hari terus mengalami kemerosotan dan jika hal ini dibiarkan berlarut-larut dengan sikap diam para pengurus organisasi yang membawahi para notaris, maka niscaya tidak lama lagi lembaga notariat akan menjadi lembaga para tukang stempel.

Tulisan ini dipersembahkan untuk memperingati 100 th HUT Ikatan Notaris Indonesia.
Bersambung .....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar