ESENSI KEBERADAAN LEMBAGA NOTARIAT
DENGAN BERLAKUNYA
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TH 2008
TTG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Bagian ke 2
Dari dua artikel penulis yang sebelumnya yaitu tentang Notaris dan UU nomor 11 tahun 2008 dan Arti suatu Tanda Tangan, dapat dinyatakan suatu adagium sebagai berikut : Seluruh transaksi elektronik dengan tanda tangan elektronik dapat dianggap sebagai akta, bahkan kekuatan pembuktiannya sama seperti akta otentik.
Pertanyaan yang mendasar adalah : Apakah itu berarti suatu akta otentik yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris dapat digantikan fungsinya oleh suatu dokumen elektronik yang ditanda tangani secara elektronik yang sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku?
Pasal 5 ayat 4 UU ITE mengatur bahwa : ”ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis;
Penjelasannya : Surat yang menurut undang-undang harus dibuat tertulis meliputi tetapi tidak terbatas pada surat berharga, surat yang berharga, dan surat yang digunakan dalam proses penegakan hukum acara perdata, pidana, dan administrasi negara.
dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Penjelasannya : Cukup jelas.
Sebelum membahas lebih lanjut dari pasal 5 ayat 4 ini ada baiknya kalau kita bersama-sama mengetahui sejarah dari pembentukan pasal ini.
Dalam pasal 8 ayat 3 RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi : ”Ketentuan mengenai dokumen elektronik dan tanda tangan digital sebagaimana diatur dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku untuk :
a. pembuatan dan pelaksanaan surat wasiat;
b. surat-surat berharga selain saham yang diperdagangkan di bursa efek;
c. perjanjian yang berkaitan dengan transaksi barang tidak bergerak;
d. dokumen-dokumen yang berkaitan dengan hak kepemilikan; dan
e. dokumen-dokumen lain yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku mengharuskan adanya pengesahan notaris atau pejabat yang berwenang”.
Penjelasan Ayat (3) :
Ketentuan ini merupakan pengecualian terhadap kedudukan dokumen elektronik dan tanda tangan digital. Dalam pembuatan dan pelaksanaan surat-surat wasiat, surat-surat berharga, perjanjian yang obyeknya barang tidak bergerak, dokumen hak kepemilikan seperti sertifikat hak milik, dokumen elektronik dan tanda tangan digital tidak memiliki kedudukan yang sama dengan dokumen tertulis lainnya dan tanda tangan manual pada umumnya.
Jika pembaca hendak meneliti lebih jauh Rapat Panja mengenai hal ini silahkan klik : http://www.dpr.go.id/dpr/berkas/lapsingKomisiFile/dim%20koiy_dim%20panja%2002.rtf
Pembahasan mengenai DIM 64 s/d 68 sehingga akhirnya rumusannya berbunyi :
Surat beserta dokumennya yang menurut peraturan perundang-undangan mengharuskan dibuat dalam akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Bunyi rumusan ini sama dengan bunyi rumusan pasal 5 ayat 4 UU 1/2008 dan tidak disertai penjelasan seperti dalam RUUnya. Malahan salah satu fraksi menegaskan bahwa jika dokumen2 yang dikecualikan tersebut dibuat dalam dokumen elektronik maka tidak bisa menjadi alat bukti yang sah.
Sekarang marilah kita bahas tiga frasa kalimat yang berbeda-beda dalam RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi, Hasil rumusan Panja tahun 2002 dan Undang-undang 11 /2008.
Dalam RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi :
dokumen-dokumen lain yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku mengharuskan adanya pengesahan notaris ;
Dalam rumusan Panja :
Surat beserta dokumennya yang menurut peraturan perundang-undangan mengharuskan dibuat dalam akta notaril ;
Dalam UU 11/2008 :
surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril.
Intinya rumusan-rumusan tersebut bahwa surat beserta dokumen yang diharuskan oleh Undang-undang dibuat dalam atau dalam bentuk akta notaril, dikecualikan dari ketentuan UU ITE.
Nah disinilah terletak inti permasalahannya bahwa dokumen yang harus dibuat dalam bentuk Akta notaril ( Akta Otentik ) hanya sebagian kecil dari seluruh perbuatan hukum dalam bidang hukum privat, padahal Notaris adalah Pejabat Umum yang diberi wewenang atas sebagian kekuasaan negara dibidang hukum privat untuk membuat alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Penulis mencoba untuk meneliti dalam KUHPdt ternyata sedikit sekali dokumen-dokumen yang disyaratkan dibuat dalam bentuk akta notaril ( sekitar 15-20 macam akta notariil ), silahkan bandingkan dengan yang penulis utarakan dalam http://groups.yahoo.com/group/Notaris_Indonesia/message/1736.
Rumusan-rumusan yang berbunyi : .... Dokumen yang mengharuskan adanya pengesahan notaris, dokumen yang mengharuskan dibuat dalam akta notaril dan dokumen yang menurut UU harus dibuat dalam bentuk akta notaril....., semuanya adalah rumusan yang salah menurut penulis karena tidak mencapai apa yang dituju atau dimaksud, yaitu bahwa dokumen elektronik dan tanda tangan elektronik tidak dapat menggantikan kedudukan akta otentik yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris/PPAT.
Menurut penulis rumusan yang benar adalah sebagai berikut :
Pasal 5 ayat 4 huruf b :Semua surat dan/atau dokumen yang dinyatakan dalam bentuk akta yang dibuat dihadapan atau oleh Pejabat Umum sesuai yang ditentukan oleh Undang-undang.
Argumentasi :
Penulis menggunakan kata semua artinya bukan hanya yang ditentukan UU harus dalam bentuk akta notaril, namun juga yang dikehendaki oleh masyarakat ( pihak dalam dokumen ) untuk dinyatakan dalam bentuk akta otentik.
Kata-kata yang dinyatakan berarti yang nyata bentuknya, memakai kertas ( tidak berbentuk informasi elektronik ).
Kata-kata dibuat dihadapan atau oleh Pejabat Umum mengacu kepada peraturan yang ada bahwa ada 2 jenis akta otentik yaitu akta party dan akta relaas; dimana dalam akta party akta tersebut dibuat dihadapan Pejabat yang berwenang, sedangkan akta relaas yaitu suatu akta yang dibuat oleh Pejabat yang berwenang.
Kata-kata Pejabat Umum dimaksudkan bahwa tidak hanya notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah saja yang berwenang membuat akta otentik, Pegawai Catatan Sipil dan lain-lain pejabat yang diberi kewenangan pula untuk membuat akta otentik; oleh karena itu harus juga dikecualikan dari ketentuan UU ITE.( Coba bayangkan Akta Perkawinan, Akta Kematian, Akta Kelahiran yang dibuat dalam bentuk dokumen elektronik .....seru juga yaaa ).
Sedangkan dalam penjelasan pasal 5 ayat 4 huruf b dapat dirumuskan sebagai berikut :
Ketentuan ini merupakan pengecualian terhadap kedudukan dokumen elektronik dan tanda tangan digital. Dokumen elektronik dan tanda tangan digital tidak dapat menggantikan kedudukan dan fungsi akta otentik yang dibuat dihadapan atau oleh Pejabat Umum, baik yang diharuskan oleh Undang-undang maupun yang dikehendaki oleh masyarakat.
Dengan perumusan seperti tersebut di atas, penulis merasa yakin tidak akan terjadi polemik yang berkepanjangan mengenai kedudukan akta otentik dibandingkan dengan dokumen elektronik dan tanda tangan elektronik.
Oleh karena itu Penulis menyerukan kepada pihak-pihak yang terkait : Para pengurus Ikatan Notaris Indonesia, Pengurus Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah maupun Pejabat Pejabat Umum yang lain agar segera melakukan JUDICIAL REVIEW terhadap Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 khususnya terhadap ketentuan pasal 5 ayat 4 huruf b.
Tulisan ini dipersembahkan sebagai bakti penulis kepada lembaga Notariat Indonesia, khususnya dalam rangka memperingati ulang tahun ke 100 dari Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia.
VIVA NOTARIUS !!
Surabaya, 11 Mei 2008
Jusuf Patrianto Tjahjono SH
Notaris di Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar