Kedudukan Majelis Pengawas Notaris
dalam sistem hukum Indonesia.
dalam sistem hukum Indonesia.
Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris. ( Oleh karena yang diawasi adalah Notaris maka disebut juga sebagai Majelis Pengawas Notaris ).
Badan ini dibentuk oleh Menteri guna mendelegasikan kewajibannya untuk mengawasi (sekaligus membina) Notaris yang meliputi perilaku dan pelaksanaan jabatan Notaris (lihat pasal 67 UU JN juncto pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004).
Dalam melaksanakan tugas kewajibannya Badan tersebut secara fungsional dibagi menjadi 3 bagian secara hirarki sesuai dengan pembagian suatu wilayah administratif ( Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat ) yaitu : Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat. (Pasal 68 UU JN )
Dari uraian di atas maka timbul permasalahan mengenai kedudukan dan fungsi Majelis Pengawas tersebut sebagai berikut :
1. Apakah Majelis Pengawas adalah merupakan Badan Tata Usaha Negara yang tunduk pada Hukum Administrasi Tata Usaha Negara?
2. Apakah Keputusan Majelis Pengawas yang telah menjatuhkan Sanksi Administratif telah memenuhi ketentuan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara ?
Untuk menjawab permasalahan di atas akan lebih jelas jika kita melihat ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UU no 5 tahun 1986 juncto UU no 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Didalam Pasal 1 UU no 5 tahun 1986 diuraikan definisi/pengertian dari :
1. Tata Usaha Negara adalah Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah;
2. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3. Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Maka nampaklah dengan jelas ketentuan pasal 67 ayat 1 dan ayat 2 UUJN termasuk didalam pengertian pasal 1 UU PTUN, bahwa Menteri selaku Badan atau Jabatan TUN yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan telah mendelegasikan kewenangannya kepada Majelis Pengawas yang oleh karena itu secara fungsional dan keberadaannya sebagai Badan Tata Usaha Negara.
Untuk menjawab permasalahan yang kedua tidaklah semudah mencari jawaban untuk permasalahan yang pertama, karena tidak semua Keputusan dari Badan TUN adalah termasuk keputusan TUN yang diatur dalam UU 9 tahun 2004.
Dalam pasal 2 UU PTUN disebutkan terdapat 7 (tujuh) macam Keputusan TUN yang tidak termasuk diatur dalam UU PTUN ( yang tidak dapat menjadi obyek sengketa TUN ) yaitu :
a. Keputusan Tata Usaha Negara merupakan perbuatan hukum perdata;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum."
Menarik untuk dicermati penjelasan pasal 2 huruf e point nomor 3 yang berkaitan dengan dunia kenotariatan yaitu sebagai berikut :
Penjelasan pasal 2 Huruf e :
Keputusan Tata Usaha Negara yang dimaksud pada huruf ini umpamanya:
1. Keputusan Badan Pertanahan Nasional yang mengeluarkan sertifikat tanah atas nama seseorang yang didasarkan atas pertimbangan putusan pengadilan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang menjelaskan bahwa tanah sengketa tersebut merupakan tanah negara dan tidak berstatus tanah warisan yang diperebutkan oleh para pihak.
2. Keputusan serupa angka 1, tetapi didasarkan atas amar putusan pengadilan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
3. Keputusan pemecatan seorang notaris oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi jabatan notaris, setelah menerima usul Ketua Pengadilan Negeri atas dasar kewenangannya menurut ketentuan Undang-Undang Peradilan Umum.
Perlu diketahui dalam UU 9 tahun 2004 yang diundangkan tanggal 29 maret 2004 pada waktu itu yang menjadi acuan untuk menjatuhkan hukuman/sanksi pemberhentian dengan tidak hormat atas seorang Notaris adalah atas usulan dari Ketua Pengadilan Negeri ( pada waktu itu berfungsi sebagai Pengawas Notaris ); maka dengan berlakunya UU 30 tahun 2004 yang diundangkan pada tanggal 6 Oktober 2004 ketentuan dalam pasal 2 UU 9 tahun 2004 tidak dapat digunakan khususnya untuk kasus/permasalahan yanng berkaitan dengan keputusan pemberian sanksi bagi Notaris, demikian berdasarkan asas hukum Lex posterior derogat legi priori/anteriori ( Undang-Undang yang lebih baru mengenyampingkan Undang-Undang yang lama ).
Dalam hal ini Unsur Peradilan Umum ( unsur eksternal diluar Badan TUN ) tidak ada lagi kaitannya dengan dunia kenotariatan dalam hal pemeriksaan, pengawasan dan pemberian pertimbangan dalam pembuatan Keputusan TUN oleh Menteri dan maupun oleh Badan Majelis Pengawas yang dibentuk oleh Menteri.
Keputusan Menteri maupun Majelis Pengawas yang memberikan sanksi kepada Notaris memenuhi kriteria sebagai Keputusan TUN sesuai pasal 1 point 3 UU 5 tahun 1986 yang unsur-unsurnya adalah :
a. penetapan tertulis
b. yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
c. yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
d. yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Sebagai kesimpulan dari tulisan ini penulis menyimpulkan bahwa Majelis Pengawas Notaris yang dibentuk oleh Menteri dalam menjalankan tugas tata usaha berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku yaitu melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap Notaris, termasuk dalam lingkup Hukum Tata Usaha Negara/Hukum Administrasi Negara demikian pula Keputusan yang dibuat dalam rangka melakukan tugas pengawasannya adalah merupakan Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat dijadikan sebagai obyek sengketa Tata Usaha Negara.
Selanjutnya penulis mereferensikan agar pembaca membaca lebih lanjut tulisan rekan Habib Adjie dalam draft Judicial Review atas Permenkum nomor 3 tahun 2007 ( KLIK DISINI )sebagai sarana untuk memperkaya wacana kita semua dalam memahami permasalahan di atas.
Dan sebagai penutup penulis ingin memberikan sedikit catatan menngenai betapa uniknya kedudukan Notaris yang menjadi pejabat/ anggota Majelis Pengawas; karena yang bersangkutan disamping mempunyai kedudukan sebagai Notaris (Pejabat Umum yang bukan pejabat TUN), juga sebagai pejabat TUN serta pula sebagai warga negara Indonesia yang mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan yang lain. ( wah betapa kompleksnya…. ).
Akhirnya dengan mengangkat topi dan memberikan hormat/saluut kepada para anggota Majelis Pengawas Notaris penulis mengucapkan Selamat bekerja dan berkarya, semoga Tuhan yang Maha Esa selalu membimbing sodara-sodara sekalian dalam menjalankan amanah Undang-Undang.
Salam sejahtera
Jusuf Patrick
Sby, 1 April 2008
Salam sejahtera
Jusuf Patrick
Sby, 1 April 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar