Apakah Notaris tunduk pada prinsip Equality before the law ?
Equality before the law adalah pilar utama dari bangunan Negara Hukum ( state law ) yang mengutamakan hukum di atas segalanya ( supreme of law ) .
Pengakuan kedudukan tiap individu di muka hukum ditempatkan dalam kedudukan yang sama tanpa memandang status sosial ( social stratum ) .
Keberlakuan prinsip equality before the law dalam praktek penegakan negara hukum yang berdasarkan supremasi hukum ( kedaulatan hukum ) ternyata mengalami “penghalusan” kalau tidak mau dikatakan “exception” (pengecualian) demi mempertahankan kewibawaan hukum itu sendiri.
Pengecualian mana berlaku bagi orang-orang / kelompok orang-orang tertentu yaitu mereka yang oleh karena melaksanakan suatu perbuatan yang ditugaskan oleh Undang-undang tidak dapat dihukum/dipidana.
Terhadap orang-orang ini tidak berlaku kekebalan hukum, karena apabila mereka terbukti melakukan tindak pidana dengan menggunakan kekuasaan dan kewenangannya, maka hukuman terhadap mereka lebih berat daripada hukuman yang seharusnya diterima oleh orang biasa.
Jadi terhadap orang-orang ini jika melakukan suatu perbuatan guna melaksanakan ketentuan Undang-undang tidak dapat dihukum ( bukan kebal hukum ), sebaliknya apabila yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum dengan menggunakan kekuasaan dan atau kewenangannya ( abuse de droit ), maka hukumannya diperberat.
Untuk menjadi orang yang dikecualikan dari prinsip equality before the law, tentu saja harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang dibuat sesuai standart pemenuhan nilai-nilai sebagai “nobile person” ( orang yang terhormat ).
Siapakah yang termasuk dalam golongan nobile person tersebut ?
Penulis sangat yakin bahwa salah satunya adalah Notaris yang dalam pasal 1868 KUHPerdata, dikenal sebagai Pejabat Umum (Openbare Ambtenaren) dan telah dijabarkan dalam Undang-undang nomor 30 tahun 2004.
Notaris adalah seorang yang dalam menjalankan jabatannya tidak tunduk terhadap prinsip equality before the law, sepanjang dalam melaksanakan jabatannya telah mengikuti prosedure yang ditentukan oleh Undang-undang ( lihat khususnya pasal 16 dan pasal 17 UU 30/2004 tentang kewajiban dan larangan).
Sepanjang telah dilaksanakan ketentuan-ketentuan dalam UU tersebut maka seorang yang menjalankan jabatan Notaris adalah “kebal hukum”. Artinya Notaris tidak dapat dihukum oleh karena atau berdasarkan perbuatan yang dilakukannya menurut UU yaitu melakukan perbuatan mengkonstatir maksud/ kehendak dari pihak-pihak yang menghendaki perbuatan hukum yang mereka lakukan dapat dibuktikan dengan akte otentik.
Namun perlu diingat bahwa seorang Notaris yang tidak sedang dalam kapasitas sebagai Notaris adalah sama dengan orang pada umumnya, yang tunduk pada prinsip equality before the law dan tidak “kebal hukum”.
Pertanyaan yang mendesak untuk dijawab apakah pengecualian terhadap prinsip equality before the law terhadap orang-orang yang melaksanakan ketentuan Undang-undang tersebut dapat disimpangi dengan asas hukum (rechtsbeginselen) Qui tact consentire videtur = siapa yang berdiam diri dianggap menyetujui ?
Hal ini sedang terjadi di dunia kenotariatan Indonesia pada saat ini, dimana Peraturan Menteri Hukum&HAM nomor 3 tahun 2007 dapat dikategorikan sebagai sarana untuk mengesampingkan ketentuan pasal 50 KUHPidana.
Dengan ketentuan dalam pasal 12 ayat 2 dan pasal 18 ayat 2 dalam Peraturan tersebut yang pada intinya mengatur apabila Majelis Pengawas Daerah tidak memberikan jawaban dalam waktu 14 hari sejak surat permohonan pemeriksaan oleh penyidik, penuntut umum dan atau hakim, maka dianggap Majelis Pengawas Daerah menyetujui permohonan penyitaan/pengambilan minuta akta /protokol notaris dan/atau pemanggilan notaris untuk diperiksa lebih lanjut.
Dengan “disetujuinya” Notaris dan/atau minuta Akta/protokol Notaris diperiksa oleh penyidik, penuntut umum dan/atau hakim, maka sudah terdapat unsur pengkondisian bagi Notaris tersebut untuk ditempatkan dalam posisi tidak berada dalam golongan “nobile person”, melainkan seperti seorang yang tunduk pada prinsip equality before the law seperti yang terjadi pada orang pada umumnya.
Selanjutnya yang menjadi pertanyaan mendasar Apakah notaris yang merupakan jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat di dalam sistem hukum Indonesia telah mendapatkan perlindungan hukum secara layak?
Pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh para notaris sendiri dengan sikap dan tingkah lakunya dalam menjalankan jabatannya. Seberapa layak anda mendapatkan penghormatan dalam bentuk perlindungan hukum adalah ditentukan oleh ketaatan pada pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam UU Jabatan Notaris.
Pendapat penulis pribadi terhadap masalah pengambilan minuta akta/ protokol Notaris
bahwa pengambilan minuta akta/protokol notaris hanya dapat dilakukan dalam tahap pemeriksaan oleh Hakim guna mencari kebenaran materiil, bukan dalam tahap penyidikan atau penuntutan oleh penyidik atau penuntut umum.
Apabila dalam tahap pemeriksaan oleh Hakim dapat dibuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran hukum oleh Notaris melalui akta yang dibuat dihadapan/olehnya, maka barulah sang Notaris dapat dituntut telah melakukan penyalahgunaan wewenang / jabatannya.
Dengan demikian notaris tidak serta merta dikaitkan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang menggunakan jasa notaris dalam pembuatan akte otentik. Namun juga tidak menutup kemungkinan bahwa Notaris yang tidak melaksanakan ketentuan UU Jabatan Notaris dalam pembuatan aktanya, dapat dituntut baik secara pidana maupun secara perdata oleh orang yang merasa dirugikan.
Salam sejahtera
Jusuf Patrianto Tjahjono
Sby, 31 Maret 2008
Equality before the law adalah pilar utama dari bangunan Negara Hukum ( state law ) yang mengutamakan hukum di atas segalanya ( supreme of law ) .
Pengakuan kedudukan tiap individu di muka hukum ditempatkan dalam kedudukan yang sama tanpa memandang status sosial ( social stratum ) .
Keberlakuan prinsip equality before the law dalam praktek penegakan negara hukum yang berdasarkan supremasi hukum ( kedaulatan hukum ) ternyata mengalami “penghalusan” kalau tidak mau dikatakan “exception” (pengecualian) demi mempertahankan kewibawaan hukum itu sendiri.
Pengecualian mana berlaku bagi orang-orang / kelompok orang-orang tertentu yaitu mereka yang oleh karena melaksanakan suatu perbuatan yang ditugaskan oleh Undang-undang tidak dapat dihukum/dipidana.
Terhadap orang-orang ini tidak berlaku kekebalan hukum, karena apabila mereka terbukti melakukan tindak pidana dengan menggunakan kekuasaan dan kewenangannya, maka hukuman terhadap mereka lebih berat daripada hukuman yang seharusnya diterima oleh orang biasa.
Jadi terhadap orang-orang ini jika melakukan suatu perbuatan guna melaksanakan ketentuan Undang-undang tidak dapat dihukum ( bukan kebal hukum ), sebaliknya apabila yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum dengan menggunakan kekuasaan dan atau kewenangannya ( abuse de droit ), maka hukumannya diperberat.
Untuk menjadi orang yang dikecualikan dari prinsip equality before the law, tentu saja harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang dibuat sesuai standart pemenuhan nilai-nilai sebagai “nobile person” ( orang yang terhormat ).
Siapakah yang termasuk dalam golongan nobile person tersebut ?
Penulis sangat yakin bahwa salah satunya adalah Notaris yang dalam pasal 1868 KUHPerdata, dikenal sebagai Pejabat Umum (Openbare Ambtenaren) dan telah dijabarkan dalam Undang-undang nomor 30 tahun 2004.
Notaris adalah seorang yang dalam menjalankan jabatannya tidak tunduk terhadap prinsip equality before the law, sepanjang dalam melaksanakan jabatannya telah mengikuti prosedure yang ditentukan oleh Undang-undang ( lihat khususnya pasal 16 dan pasal 17 UU 30/2004 tentang kewajiban dan larangan).
Sepanjang telah dilaksanakan ketentuan-ketentuan dalam UU tersebut maka seorang yang menjalankan jabatan Notaris adalah “kebal hukum”. Artinya Notaris tidak dapat dihukum oleh karena atau berdasarkan perbuatan yang dilakukannya menurut UU yaitu melakukan perbuatan mengkonstatir maksud/ kehendak dari pihak-pihak yang menghendaki perbuatan hukum yang mereka lakukan dapat dibuktikan dengan akte otentik.
Namun perlu diingat bahwa seorang Notaris yang tidak sedang dalam kapasitas sebagai Notaris adalah sama dengan orang pada umumnya, yang tunduk pada prinsip equality before the law dan tidak “kebal hukum”.
Pertanyaan yang mendesak untuk dijawab apakah pengecualian terhadap prinsip equality before the law terhadap orang-orang yang melaksanakan ketentuan Undang-undang tersebut dapat disimpangi dengan asas hukum (rechtsbeginselen) Qui tact consentire videtur = siapa yang berdiam diri dianggap menyetujui ?
Hal ini sedang terjadi di dunia kenotariatan Indonesia pada saat ini, dimana Peraturan Menteri Hukum&HAM nomor 3 tahun 2007 dapat dikategorikan sebagai sarana untuk mengesampingkan ketentuan pasal 50 KUHPidana.
Dengan ketentuan dalam pasal 12 ayat 2 dan pasal 18 ayat 2 dalam Peraturan tersebut yang pada intinya mengatur apabila Majelis Pengawas Daerah tidak memberikan jawaban dalam waktu 14 hari sejak surat permohonan pemeriksaan oleh penyidik, penuntut umum dan atau hakim, maka dianggap Majelis Pengawas Daerah menyetujui permohonan penyitaan/pengambilan minuta akta /protokol notaris dan/atau pemanggilan notaris untuk diperiksa lebih lanjut.
Dengan “disetujuinya” Notaris dan/atau minuta Akta/protokol Notaris diperiksa oleh penyidik, penuntut umum dan/atau hakim, maka sudah terdapat unsur pengkondisian bagi Notaris tersebut untuk ditempatkan dalam posisi tidak berada dalam golongan “nobile person”, melainkan seperti seorang yang tunduk pada prinsip equality before the law seperti yang terjadi pada orang pada umumnya.
Selanjutnya yang menjadi pertanyaan mendasar Apakah notaris yang merupakan jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat di dalam sistem hukum Indonesia telah mendapatkan perlindungan hukum secara layak?
Pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh para notaris sendiri dengan sikap dan tingkah lakunya dalam menjalankan jabatannya. Seberapa layak anda mendapatkan penghormatan dalam bentuk perlindungan hukum adalah ditentukan oleh ketaatan pada pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam UU Jabatan Notaris.
Pendapat penulis pribadi terhadap masalah pengambilan minuta akta/ protokol Notaris
bahwa pengambilan minuta akta/protokol notaris hanya dapat dilakukan dalam tahap pemeriksaan oleh Hakim guna mencari kebenaran materiil, bukan dalam tahap penyidikan atau penuntutan oleh penyidik atau penuntut umum.
Apabila dalam tahap pemeriksaan oleh Hakim dapat dibuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran hukum oleh Notaris melalui akta yang dibuat dihadapan/olehnya, maka barulah sang Notaris dapat dituntut telah melakukan penyalahgunaan wewenang / jabatannya.
Dengan demikian notaris tidak serta merta dikaitkan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang menggunakan jasa notaris dalam pembuatan akte otentik. Namun juga tidak menutup kemungkinan bahwa Notaris yang tidak melaksanakan ketentuan UU Jabatan Notaris dalam pembuatan aktanya, dapat dituntut baik secara pidana maupun secara perdata oleh orang yang merasa dirugikan.
Salam sejahtera
Jusuf Patrianto Tjahjono
Sby, 31 Maret 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar