Kamis, 30 Juni 2011

Damai dan berbagi






Indah hidup berdampingan dengan damai



Saling mengerti

Iklanisasi



Oleh: Boy Yendra Tamin.





Iklan bukan kata yang asing bagi banyak orang. Iklan adalah sepatah kata yang sudah merakyat dan iklanisasi bukan hanya milik masyarakat di negara-negara maju, melainkan juga milik masyarakat negara terbelakang atau masyarakat negara berkembang. Meskipun John Kennet Galbraith memandang iklan sebagai tuntuntan manajemen modern, tetapi hal itu tidak sepenuhnya benar.

Rabu, 29 Juni 2011

Pergeseran Kewenangan Komisi Yudisial Dalam Melakukan Pengawasan Terhadap Perilaku Hakim Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006



Oleh: Adithiya Diar



A. Pendahuluan






Negara Indonesia adalah negara hukum yang berdemokrasi dan menjunjung tinggi Pancasila sebagai falsafah bangsa. Melihat dari tatatan hukum yang ada, negara Indonesia merupakan negara yang menganut sistem hukum yang mengarah kepada Eropa Kontinental. Dimana ciri-ciri sistem hukum Eropa Kontinental yang menonjol yaitu adanya berbagai ketentuan-ketentuan

Jimly Asshidiqqie: Administrasi MK Sangat Baik





Tundingan Arsyad Sanusi bertubi-tubi terhadap sistem administrasi MK terkait dengan persiteruanya dengan Ketua MK Mahfud MD berkaitan dengan adanya surat palsu MK. Meskipun demikian, tundingan Arsyad Sanusi sebaiknya tidak ditelan mentah-mentah oleh publik. Hal ini setidaknya karena sistem administrasi peradilan dan pelayanan MK saat ini bisa dipandang sangat baik. Bagi yang pernah bersidang

Senin, 27 Juni 2011

Mahfud Tutup Mulut Soal Nama Tersangka Surat Palsu Mahkamah Konstitusi



Kasus surat MK yang dipalsukan kian menajam dan Polri terus mengintensifkan pengumpulan bukti dan tetap mengedepankan azas praduga tidak bersalah. Kepala Bareskrim Polri Komjen Ito Sumardi  belum mau menyebutkan nama-nama yang terlibat atau terkait kasus pemalsuan surat MK itu.





tempointeraktif.com Senin, 27 Juni 2011 | 16:03 WIB sebagaimana ditulis JAYADI SUPRIADIN memberitakan, Ketua

Sabtu, 25 Juni 2011

Membangun Kembali Hubungan Komisi Yudisial Dan Mahkamah Agung

Hubungan KY dan MA akhir-akhir ini (kembali) memanas karena KY menganggap bahwa MA gagal dalam mengawasi tingkah laku para Hakim. Saking gemasnya, Taufiqurrahman Syahuri, Komisioner KY, dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Trijaya FM mengatakan bahwa Hakim itu ndableg,
karena walaupun sudah 16 orang Hakim yang diberhentikan karena bertingkah laku tercela, ternyata masih saja tetap ada masih hakim-hakim yang “nakal”, ini terbukti dari ditangkapnya Hakim Syarifuddin karena menerima suap.
Lebih jauh, Taufiqurrahman Syahuri juga mengungkapkan bahwa KY harus diberi kewenangan dalam Undang-Undang yang baru untuk menyeleksi Hakim, sehingga calon hakim yang akan diterima benar-benar bersih dan berintegritas, dan praktek yang selama ini berjalan bahwa calon Hakim yang lolos seleksi adalah hasil nepotisme bisa dihilangkan.
Belum lagi terjadi pertempuran yang alot dalam perumusan Rancangan Undang-undang KY yang baru di DPR dimana terjadi perdebatan tentang perlu tidaknya dimasukkannya pasal kewenangan KY untuk menyadap Hakim dan untuk menjatuhkan sanksi kepada Hakim demi mencegah adanya Hakim-hakim yang “nakal”.
Panasnya hubungan ini, seakan semakin “tersiram bensin” dengan penolakan MA terhadap pemanggilan Majelis Hakim pemeriksa perkara Antasari dan Abu Bakar Baasyir oleh KY untuk diperiksa dengan dugaan pelanggaraan kode etik. Terakhir, KY menyatakan bahwa 214 Calon Hakim yang telah diterima oleh MA medio 2009 yg lalu terancam illegal dan tidak sah karena tidak melibatkan KY dalam proses seleksi terbsebut. Hubungan antara MA dan KY pun berada di puncak pertikaiannya.
Antara Seharusnya dan Sebaiknya
Denny Indrayana (2008:20) berpendapat bahwa ada tiga macam relasi antara KY  dan MA: Konstruktif, Kolutif, dan Konfrontatif. Relasi yang konstruktif adalah hubungan yang berjalan di atas kesepahaman untuk saling kontrol dan saling imbang (check and balances) guna menciptakan peradilan yang lebih bersih dan berwibawa. Relasi yang kolutif menunjukkan bahwa KY tidak berfungsi sebagai lembaga pengawas hakim, melainkan hanya menjadi pemberi stempel bersih kepada apapun keputusan para hakim. Relasi ketiga, konfrontatif, adalah hubungan KY dan MA yang selalu berseteru, dengan akibatnya tertinggalnya agenda bersama untuk memerangi judicial corruption.
Dari ketiga relasi tersebut, yang seharusnya terjadi antara KY dan MA adalah relasi yang konstruktif, hubungan yang saling membangun dan bekerjasa sama antar lembaga negara menuju sebuah penegakan hukum yang adil dan bermartabat, juga Hakim yang terhormat dan berperilaku luhur. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi sekarang adalah relasi yang konfrontatif, saling menyerang satu sama lain, tidak tergambar sama sekali sebuah keharmonisan hubungan antara lembaga negara.
Salah satu faktor pendukung relasi yang konstruktif adalah ketika KY dan MA dapat bertindak sesuai dengan porsi kewenangan, kewajiban dan tanggung jawab masing-masing, apa hal yang “seharusnya” dilakukan, dan apa yang “tidak seharusnya” dilakukan terkait kewenangan.
Kewenangan yang “seharusnya” dilakukan oleh KY selain melakukan pendaftaran, seleksi, menetapkan calon Hakim Agung, dan mengajukan calon Hakim Agung tersebut ke DPR, adalah menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim (UUD Pasal 24B dan UU No 22 tahun 2004 Pasal 13).
Kewenangan “seharusnya” dari KY terhadap MA (Hakim), dalam kalimat “menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim” itu berarti KY bukanlah semata menjadi lembaga penghukum, lembaga penyadap dan lembaga penyeleksi bagi Hakim, akan tetapi lebih luas dari itu.
“Menjaga dan menegakkan kehormatan” itu berlaku dalam setiap sendi kedinasan seorang Hakim, dalam khidmatnya proses persidangan, dalam ketertiban dan keamanan proses persidangan, dalam keselamatan dan ketenangan seorang Hakim dalam mengambil putusan untuk perkara apapun tanpa harus mengalami ancaman dan tekanan dari pihak manapun, dan tidak semata tergambar hanya dalam sebuah amar putusan. Sehingga tidak tepat apabila kehormatan itu hanya dinilai dari benar/tidak atau adil/tidaknya sebuah putusan, tapi tidak melihat kepada bagaimana proses dijatuhkannya amar tersebut.
Dalam kalimat itu pula, tergambar bahwa KY “seharusnya” lebih berfungsi untuk mencegah terjadinya contempt of court dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan Hakim, berusaha bersama MA agar semua orang dapat menghormati proses persidangan dan putusan, mengusahakan agar tidak ada ancaman dan tekanan kepada Hakim untuk menjamin independensi seorang Hakim dalam memutus perkara, daripada hanya sekedar berfungsi sebagai pengawas dan pemeriksa Hakim.
Adapun kalimat selanjutnya berbunyi “Keluhuran martabat serta perilaku Hakim” berlaku dalam setiap sendi kehidupan sehari-hari seorang Hakim, dalam pergaulan sehari-hari seorang Hakim, dalam fasilitas yg diberikan kepada Hakim untuk menunjang nama baik serta martabat Hakim tersebut, termasuk bagaimana seorang Hakim bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya dengan layak untuk mewujudkan keluarga Hakim yang harmonis dan berperilaku luhur. Sehingga tidak tepat jika keluhuran martabat dan perilaku tersebut hanya dinilai dari penyimpangan-penyimpangan yang terjadi tanpa menganalisa apa akar dan sebab terjadinya penyimpangan tersebut. Tidak hanya sekedar mencari kesalahan, tapi juga mencari jalan keluar agar kesalahan itu tidak kembali terulang.
Namun ada kalanya, ketika pendekatan apa “yang seharusnya” tidak dapat menyelesaikan masalah, patut dikedepankan pendekatan “yang sebaiknya”, dimana ketika pendekatan “yang sebaiknya” dipakai maka akan sangat berkaitan dengan norma dan etika.
Ketika etika diartikan sebagai sesuatu yang dibatasi dengan dasar nilal moral menyangkut apa yang diperbolehkan atau tidak, yang baik atau tidak baik, yang pantas atau tidak pantas pada perilaku manusia, maka setiap tingkah laku yang dilakukan baik oleh KY dan MA untuk kebaikan bersama harus berlandaskan kepada nilai dasar etika.
Ditilik dari pendekatan “seharusnya”, maka KY tidak dapat memaksa untuk memeriksa seorang Hakim berdasarkan putusan yang telah Hakim tersebut jatuhkan, dan Hakim (juga MA) berhak untuk menolak itu. Akan tetapi ketika pendekatan “sebaiknya” dipakai, maka KY bisa saja memeriksa seorang Hakim, tapi tidak dengan cara memaksa, akan tetapi dengan membina hubungan baik dengan MA agar bisa menghasilkan kesepakatan bersama yang berisi bahwa KY dapat memeriksa seorang Hakim (yang sampai saat ini belum ada), lengkap dengan rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar dan teknis pelaksanaannya.
Secara kelembagaan, KY dan MA “sebaiknya” tidak berkonflik secara institusional, bahkan sampai saling menyerang lewat media, melainkan mengarahkan secara bersama-sama konflik tersebut ke ranah personal, kepada oknum-oknum hakim yang berpraktik menyimpang, dan ini memerlukan kerjasama antar kedua lembaga tersebut untuk membentuk satu visi yang sama demi membumi hanguskan praktik mafia peradilan, yang tentu saja tidak akan pernah terwujud jika pendekatan etika antar institusi tidak dilakukan.
Pendekatan “sebaiknya” juga tidak akan pernah dapat membenarkan pernyataan-pernyataan seperti yang telah disebutkan di awal tulisan ini, karena kalimat-kalimat yang terlontar itu sangat rawan konflik, debatable, dan tanpa ada dasar yang jelas. Pendekatan “sebaiknya” mensyaratkan pemilihan kalimat yang santun dan elegan, yang tidak berpotensi untuk menjadi api dalam sekam bagi kedua belah pihak, yang dapat mendinginkan dan meredakan tensi suasana konflik.
Tidak bisa dipungkiri bahwa ada ribuan laporan dari masyarakat kepada KY tentang Hakim yang diduga melanggar kode etik ataupun bermain api perkara, namun akan sangat bijak jika “sebaiknya” KY dalam menindak lanjuti semua laporan yang ada dengan tetap menempatkan laporan tersebut sebagai “dugaan”, dan bukan “vonis”. Seorang terdakwa di persidangan pun tetap mempunyai hak praduga tak bersalah, apalagi laporan tentang Hakim yang diduga/disinyalir melanggar kode etik atau berbuat nakal.
Bersekutu atau Berseteru
Bruce Ackerman menyatakan bahwa sistem checks and balances dalam sebuah pemerintahan (di Amerika Serikat) tidak lagi dilakukan tiga cabang kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), akan tetapi lima cabang: Presiden, DPR, Senat, MA dan komisi-komisi independen, sehingga teori check and balance yang hanya berlaku diantara lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif ala montesquieu pun mulai menjadi usang, sehingga pembentukan KY, sebagai check and balance terhadap MA, adalah salah satu bentuk dari penerapan teori ini.
Lembaga-lembaga negara yang telah ada, termasuk di dalamnya antara KY dan MA, harus bisa membangun hubungan baik dan saling bersekutu untuk menegakkan hukum dan keadilan demi menuju sebuah negara yang baik dan sehat. Bersekutu disini tidak diartikan dengan hubungan yang kolutif yang penuh basa-basi dan saling pengertian, akan tetapi dalam arti hubungan yang konstruktif dengan menghindari adanya relasi yang konfrontatif.
Untuk membayangkan relasi KY dan MA yang kolutif dapat dianalogikan dengan relasi presiden dan DPR. Hubungan presiden dengan DPR yang terlalu mesra akan menghadirkan relasi yang kolutif yang dapat menyebabkan DPR tidak akan kritis, fungsi pengawasan DPR menjadi mandul dan setiap kebijakan keliru sekalipun akan mendapatkan pemakluman dan persetujuan DPR. Adapun relasi yang konfrontotatif akan menyebabkan kehidupan bernegara akan terus berkonflik dan terganggu, yang muaranya hanya akan melahirkan kelelahan serta kejenuhan politik yang luar biasa.
Sama halnya dengan relasi presiden dengan DPR, hubungan ideal KY dan MA adalah hubungan check and balance yang konstruktif, yang berarti konfrontasi yang sekarang terjadi harus segera diakhiri, dan kemudian segera bekerja sama menyusun agenda kerja bersama menegakkan dunia hukum yang adil peradilan yang agung dan bermartabat.
KY tidak berada di depan MA sebagai pemimpin dan guru, KY tidak berada di belakang MA sebagai pengikut dan tukang cap stempel, KY tidak berada di atas MA sebagai pengawas dan penghukum, KY juga tidak berada di bawah MA sebagai seorang bawahan, akan tetapi KY berada di samping MA untuk berjalan seiring, untuk saling bekerjasama memecahkan permasalahan, dan untuk mengingatkan ketika ada kesalahan.
Jika hubungan konfrontatif antara KY dan MA ini tetap diteruskan, niscaya tidak akan ada pihak, baik itu KY atau MA, yang muncul menjadi pemenang, semuanya pasti kalah. Karena satu-satunya pihak yang menari-nari dan bersenang-senang di atas konfrontasi ini adalah para koruptor, para terdakwa, dan semua orang yang tidak menginginkan adanya peradilan yang agung dan bermartabat, juga Hakim yang profesional, adil, berintegritas dan berbudi luhur.
Apabila hubungan antara KY dan MA yang konstruktif telah terbangun, entah itu menggunakan pendekatan “seharusnya” atau “sebaiknya”, maka cita-cita dan relasi ideal KY dan MA yang bersama-sama dan berjalan seiring dalam membasmi mafia peradilan bisa terwujud.

Kamis, 23 Juni 2011

Pandangan Bung Hatta Dalam Penegakkan Supremasi Hukum



Oleh: Boy Yendra Tamin

Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta dan Advokat



Selain dikenal memiliki pandangan dan pemikiran yang luas dalam bidang ekonomi dan politik, Bung Hatta memiliki pandangan yang dalan terhadap hukum. Pandangan Bung Hatta terhadap penegakkan suoremasi hukum. Pandangan Bung Hatta tersebut menjadi penting ketika UUD 1945 sudah dengan tegas menyatakan dirinya sebagai

Rabu, 22 Juni 2011

Proklamasi Ditandatangani



Oleh : Adam Malik



Pada malam 16 Agustus 1945 kira-kira tengah malam, ketika penduduk Jakarta sudah tidur, tibalah rombongan Sukarno-Hatta dari Rengas-Dengklok, menuju Oranje Nassauboulevard, rumah Laksamada Maeda.



Sebelum rombongan itu tiba, orang-orang dari berbagai rombongan  yang tersebut di atas , sudah mengetahui bahwa Sukarno-Hatta akan kembali ke Jakarta dan orang-orang yang dekat

Menikmati Pesona Alam Panorama Tabek Patah Nan Elok





Indonesia sungguh kaya dengan pesona alam yang indah dan tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Alam yang indah itu belum semuanya terekspose sebagaimana adanya di Bali. Selain belum begitu dikenal luas, juga belum terkelola dengan baik atau dikembangkan secara professional sebagai objek wisata . Salah satu panorama alam Indonesia yang indah itu adalah Panorama Tabek Patah yang terletak di

Belajar dari “The Everywhereist” Sebagai Blog Terbaik 2011





25 blog terbaik 2011 yang dirilis Situs Majalah TIME, urutan pertama diraih Blog “The Everywhereist”. Saya jadi penasaran dan setelah melihat blog “The Everywhereist”, ada pelajaran yang menarik bagi para bloger, bahwa blog terbaik itu sepertinya lebih melihat pada isi dan bukan pada asesorisnya. Bahkan “The Everywhereist” nyaris tidak terlihat tidak adanya iklan. Saya sih tidak ngerti

Senin, 20 Juni 2011

Fungsi Legislasi DPRD Dan Pembentukan Peraturan Daerah (bagian pertama)



Oleh: Boy Yendra Tamin

Dosen  Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta dan advokat .  



Pembentukan peraturan daerah  untuk   mendorong dan mengoptimalisasikan pembangunan daerah hanya dapat terwujud apabila pembentukan peraturan daerah didukung oleh cara dan metode yang pasti, dan memperhatikan kebutuhan daerah dan kearifan lokal dengan sungguh-sungguh.  




I. Pendahuluan

Soal

Minggu, 19 Juni 2011

Sistem Kamar Mahkamah Agung

Tahun ini Mahkamah Agung berencana untuk memberlakukan sistem lima kamar yakni Kamar Perdata, Pidana, Agama, Militer dan Tata Usaha Negara. Kalau bulan ini (Juni) surat keputusan (SK) tentang kamarisasi sudah keluar, maka paling lambat September sistem kamarisasi sudah bisa berjalan.


Harifin Tumpa (Ketua Mahkamah Agung) menjelaskan bahwa untuk teknis sistem kamarisasi ini, setelah SK tersebut kamarisasi keluar, para Hakim Agung akan langsung dibagi ke dalam lima kamar tersebut. Khusus untuk kamar Pidana dibagi menjadi dua sub kamar: pidana khusus dan pidana umum, sedangkan kamar perdata dibagi menjadi dua sub kamar yaitu perdata khusus dan perdata.

Khusus untuk perkara uji materi akan dimasukkan ke dalam perkara khusus yang, majelis hakimnya akan ditentukan kemudian secara khusus pula oleh Ketua MA. Misal: Kalau perkara uji materi tersebut berkaitan dengan administrasi negara, kemungkinan besar majelisnya bakal diambil dari Hakim Agung Tata Usaha Negara, dst.

Dengan pelaksanaan sistem kamar ini, diharapkan ada pemerataan penangan perkara antar Hakim Agung. Untuk masalah pemerataan ini, terutama untuk Hakim Agung yang berlatar belakang Agama dan Militer, misalnya perkara Agama dan militer tidak terlalu banyak, maka Hakim Agung tersebut dapat diperbantukan di kamar lain. 

Adapun Ketua Muda MA (Tuada) kelak tidak mengontrol secara langsung penanganan perkara dalam tiap kamar, dan jika ada persoalan penting Tuada yang bersangkutan akan mengkoordinir ke pleno kamar. Misalnya ada majelis Peninjauan Kembali yang akan membatalkan putusan kasasi harus dibawa ke pleno, untuk koordinasi, agar ada saling menghargai antarhakim agung.

Dilihat dari jumlah perkara yang diterima oleh Mahkamah Agung, sistem kamar mungkin cara konkrit yang paling realistis yang bisa dilaksanakan. Pada tahun 2010 ada 13.480 perkara Kasasi dan Peninjauan Kembali, jumlah sekian banyak  terbagi kepada 7.915 perkara perdata umum, 5.025 perkara pidana khusus, 3.965 perkara pidana umum, 2.475 perkara perdata Tata Usaha Negara, 1.655 perkara Perdata Khusus, 982 perkara peradata Agama dan 373 perkara Peradilan Militer.

Untuk pelaksanaan Sistem Kamar ini, Mahkamah Agung mungkin perlu berkaca kepada Federal Court of Australia. Justice Michael Moore (Hakim Agung FCA) pernah menyampaikan bahwa distribusi hakim dalam sistem kamar adalah salah satu masalah yang paling rumit dalam implementasi sistem kamar.

Untuk diketahui, Federal Court of Australia menerapkan dua sistem kamar yaitu perkara umum dan perkara khusus, dam semua hakim Agung pada prinsipnya wajib menangani seluruh perkara yang ada. Untuk teknis pelaksanaannya, misal bagi Hakim Agung yang yurisdiksinya perkara-perkara perdata, maka perkara yang dikategorikan sebagai perkara khusus harus ditangani secara panel/majelis yang terdiri dari beberapa orang hakim spesialis. Hakim-hakim Agung di Federal Court of Australia juga didorong untuk menggabungkan diri kepada panel/majelis spesialis tertentu berdasarkan keahlian yang dimilikinya, Hakim juga bisa tergabung dalam lebih dari satu panel/majelis spesialis dan juga dimungkinkan untuk melakukan rotasi dari satu panel/majelis ke panel/majelis lainnya.

Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh Federal Court of Australia adalah ketika muncul ketidakseimbangan antara keinginan hakim untuk bergabung dalam panel/majelis tertentu dengan ketersediaan posisi pada panel/majelis tersebut. 

Harus diakui bahwa sistem kamar merupakan sistem yang rumit, bahkan di Federal Court of Australia sistem kamar dianggap belum sepenuhnya sempurna, karena masih muncul beberapa permasalahan dalam praktek dan implementasi nya. Bagaimanapun, sesulit dan serumit apapun sebuah sistem tetap harus dicoba, semoga sambil berjalan nanti akan ditemukan sistem teknis yang pas dengan kondisi Mahkamah Agung Indonesia.

(Bukan) Komisi Konstitusi


Oleh Prof.Dr.Saldi Isra,SH.MPA
Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Univ. Andalas, Padang




Ketika menyampaikan pidato dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Daerah (23/08), Presiden SBY mengusulkan untuk membentuk sebuah komisi nasional guna mengkaji sistem ketatanegaraan Indonesia secara menyeluruh. Kemudian, setelah pertemuan dengan Dewan Pertimbangan Presiden di Istana Tampaksiring,

Cerita hukum di balik perkara-perkara “Nenek Minah”

Dalam agama Islam, ada hadist yang berbunyi: “Hakim itu ada tiga, dua orang di neraka dan seorang lagi di surga. Seorang yang tahu kebenaran dan ia memutuskan dengannya, maka ia di surga; seorang yang tahu kebenaran, namun ia tidak memutuskan dengannya, maka ia di neraka; dan seorang yang tidak tahu kebenaran dan ia memutuskan untuk masyarakat dengan ketidaktahuan, maka ia di neraka.

Dengan kata lain, seorang Hakim harus memutus sebuah perkara berdasarkan pengetahuan yang telah ia miliki, bukan berdasarkan ketidaktahuan, apalagi berdasarkan nafsu belaka. Seorang Hakim harus bisa menegakkan legal justice, sebagai penerapan hukum formil, dengan tanpa mengabaikan social justice, sebagai penerapan rasa keadilan.
Satu hal yang kadang dilupakan, bahwa Asas dasar dalam sebuah proses peradilan adalah Hakim Bersifat Menunggu (iudex ne procedat ex officio), dgn kata lain inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak atau penuntutan bukanlah pada Hakim, akan tetapi pada pihak yang berpentingan (Penggugat/JPU). Apabila Hakim sudah menerima sebuah perkara, maka hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya, sekalipun dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas (Pasal 10 UU no. 48 tahun 2009) karena hakim dianggap tahu akan hukum (ius curia novit).
Kalau seorang Hakim tidak menemukan hukum tertulis tentang perkara tersebut, maka ia wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 UU no. 48 tahun 2009). Dengan demikian dituntut keterampilan dan intelektualitas dari Hakim untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono, silahkan klik disini untuk membaca pembahasan lengkap tentang ex aequo et bono)
Tanpa bermaksud untuk menyalahkan siapapun, dalam setiap perkara “sensitif” yang diperiksa dalam sebuah persidangan Majelis, media massa (baik cetak ataupun elektronik) langsung mengekspos perkara tersebut habis-habisan. Yang patut disesalkan, kadang-kadang berita yang diekspos tersebut hanya setengah dan sepotong, tidak menyeluruh, dan tidak memberikan gambaran obyektif tentang perkara yang sedang berjalan. Itu kadang masih dilengkapi dengan narasi sang pembawa acara yang terlihat sama sekali tidak paham hukum (baik itu formil maupun meteriil) akan tetapi dengan gampang menjatuhkan vonis “sesat” atau “mafia” kepada Majelis yang bersangkutan.
Contoh-contoh perkara sensitif ini misalnya perkara Nenek Minah, perkara Kakek Sardjo, perkara Petani Aspuri, dan perkara David Dwi Yusuf. Kesan yang timbul dari berita tersebut adalah dengan adanya fakta bahwa pengadilan telah mengadili para terdakwa diatas, telahlah nyata bahwa pengadilan ini sangat tidak adil, berat sebelah, berisi mafia, dan semua tuduhan sesat lain. Saya ndak tahu entah ada keselip atau kesalahan atau kekhilafan, mereka lupa bahwa “Hakim itu Menunggu”, dan seperti yang telah dijelas diatas, Hakim itu tidak boleh menolak perkara yang masuk.
Sebagai gambaran sederhana, jika Hakim melihat seorang pencuri di jalan, Hakim tersebut tidak bisa langsung menangkap dan menyidangkan pencuri tersebut, hanya JPU yang bisa membawa pencuri tersebut ke persidangan, Hakim hanya menunggu tidak boleh menolak jika perkara tersebut masuk. Juga apabila ada Hakim yang melihat tetangganya bersengketa akan sesuatu, Hakim tidak boleh berinisiatif memasukkan masalah tersebut ke pengadilan dan mengadilinya, hanya tetangga yg bersangkutan yang bisa membawa perkara tersebut ke pengadilan, dan Hakim tidak boleh menolak mengadili apabila perkara tersebut telah masuk ke persidangan.
Mungkin pemaparan beberapa perkara dibawah ini akan memberikan sedikit gambaran tentang bagaimana teknis hukum, baik itu hukum formil maupun materiil, dan kaitannya dengan social justice/keadilan sosial itu telah dilaksanakan oleh Hakim Majelis pemeriksa perkara yang bersangkutan:
1.  Perkara Nenek Minah
Nenek Minah disidang di PN Purwokerto dengan dakwaan pencurian  3 (tiga) butir kakao dari kebun milik suatu perusahaan. Ketua Majelis Hakim Muslih Luqmono, Ketua Majelis terlihat menangis saat membacakan putusan. Dalam pembacaan putusan tersebut, beliau menilai bahwa kasus seperti ini tidak perlu dibawa ke pengadilan, dan menyatakan bahwa kasus ini kecil namun sudah melukai banyak orang. Majelis Hakim memutuskan, Nenek Minah bersalah dan dihukum penjara 1 bulan 15 hari dgn masa percobaan masa percobaan tiga bulan.
Yang patut menjadi catatan, Majelis Hakim pemeriksa perkara ini tidak dapat dijadikan pihak yang sangat bersalah karena menyidangkan Nenek Minah. Memang benar bahwa perkara ini telah melukai rasa keadilan banyak orang, sebagaimana yang telah Hakim pemeriksa perkara juga akui di persidangan, akan tetapi sebagai Hakim ia tidak dapat menolak perkara yang telah diberikan kepadanya.
Sedikit kembali kepada hadist diatas, Hakim terikat dengan pengetahuan bahwa mencuri, apapun bentuknya, adalah salah, dan oleh karena itu dalam amar putusan pertama tetap diputuskan bahwa terdakwa bersalah, ini adalah legal justice-nya. Tapi tidak berhenti sampai disini, pada amar kedua Hakim menerapkan social justice, dengan menghukum Nenek Minah penjara 1 bulan 15 hari dgn masa percobaan tiga bulan, dengan kata lain Nenek Minah tidak perlu masuk penjara (dengan asumsi selama 3 bulan berikutnya Nenek Minah tidak melakukan tindak pidana).
Dalam ranah ideal, seharusnya perkara seperti ini dapat diselesaikan secara kekeluargaan antara Nenek Minah dengan Perusahaan Kakao tersebut tanpa harus dilaporkan ke kepolisian. Sehingga yang harus dipertanyakan lebih lanjut apakah ada itikad tertentu dari sang pelapor sehingga Nenek Minah dilaporkan ke Polisi hanya gara-gara mengambil 3 buah Kakao tersebut, dan bukan malah menghujat pengadilan karena telah menyidangkan perkara ini.

2.  Perkara Kakek Sardjo.
Sardjo bin Raswad (77) disidang di PN Sumber dgn dakwaan mencuri dua sabun mandi dan kacang hijau 500 gram di sebuah minimarket total senilai Rp 13.450,-. Ketua majelis hakim Sulasdyanto didampingi hakim anggota Immanuel dan Ika Lusiana Riyanti menjatuhkan vonis bahwa terdakwa dinyatakan bersalah melanggar Pasal 362 KUHP dan dihukum hukuman dua belas hari penjara dengn masa percobaan satu bulan, dengan kata lain Kakek Sardjo tidak perlu masuk penjara karena perbuatannya tersebut (dgn asumsi selama 1 bulan berikutnya Kakek Sardjo tidak melakukan tindak pidana).
Dalam pemeriksaan perkara tersebut, Ketua Majelis juga menyarankan kepada pemilik supermarket tersebut untuk mengembalikan uang sejumlah Rp. 134.450,- yang ternyata telah dibayarkan oleh keluarga Kakek Sardjo sebagai untuk membayar denda 10 kali lipat dari harga barang yang diambil Kakek Sardjo. Ketua Majelis memerintahkan pengembalian uang tersebut dengan nasehat bahwa jika tidak dikembalikan maka pemilik supermarket dapat dikenai tindak pidana pemerasan.
Dengan analisa yang hampir sama dengan kasus Nenek Minah, karena memang Hakim tidak bisa menolak perkara yang masuk, sekecil apapun perkaranya, maka putusan ini adalah pemenuhan rasa keadilan terbaik yang dapat diputuskan oleh Majelis. Menyatakan terdakwa tetap bersalah (legal justice terpenuhi), dan membebaskan terdakwa “dengan syarat tertentu/masa percobaan” (social justice terpenuhi), juga masih ditambah dengan saran pengembalian denda 10 kali lipat yang telah dibayarkan oleh Kakek Sardjo.
3.  Perkara Petani Aspuri
Petani Aspuri disidang di PN Serang dengan dakwaan mengambil kaus bekas dari halaman tetangganya tanpa hak. Namun sedikit berbeda dengan dua kasus terdahulu, dalam perkara ini Petani Aspuri tidak berada dalam tahanan luar, akan tetapi telah menjalani masa tahanan selama 3 bulan (sampai ketika vonis dijatuhkan).
Ketua Majelis Hakim Sabarudin menjatuhkan vonis Petani Aspuri dinyatakan bersalah dan diberi hukuman yang persis sama dengan masa tahanan yang telah dijalani Aspuri sehingga ia langsung bebas begitu vonis dijatuhkan.
Sedikit jalan ceritanya, bahwa dalam persidangan terungkap kalau Aspuri mengambil kaus itu sepulang dari menyiram timun suri di ladang, dekat rumah Dewi karena mengira kaus yang tergeletak di pagar rumah Dewi itu sudah tak dipakai sehingga sayang kalau tidak di manfaatkan. Bahkan Aspuri tidak memakai sendiri karena kaus hasil memungut di pagar itu karena dia berikan kepada Juheli yang dianggap Aspuri sebagai paman angkat. Dewi yang tidak bisa menerima hal tersebut langsung melaporkan Aspuri ke kepolisian.
Hakim dalam perkara ini sudah menerapkan legal justice dan social justice dengan semaksimal mungkin. Dengan tidak menafikan bahwa pencurian itu pasti salah apapun alasannya, akan tetapi mungkin Dewi sebagai pemilik kaus bekas tersebut seharusnya bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik-baik secara kekeluargaan, tanpa perlu melaporkan ke pihak kepolisian. Akan tetapi, dengan berprasangka baik bahwa yang bersangkutan adalah seorang yang menjunjung tinggi hukum, maka kita hanya bisa berharap bahwa pribadi seorang Dewi juga akan melakukan hal yang sama ketika dia melihat ada penyimpangan hukum lain yang level-nya lebih besar dari hanya sekedar “pengambilan kaus bekas”.
4.  Perkara David Dwi Yusuf
David Dwi Yusuf, seorang siswa Kelas 3 SDN dr Sutomo VIII Surabaya disidang di PN Surabaya dengan dakwaan penganiayaan karena David telah menyengatkan lebah kepada temannya. Dian Nirmalasari, anak seorang polisi di Surabaya. Hakim Yahya Sutriadi menjatuhkan vonis bersalah kepada David (legal justice), dan David dihukum dengan hukuman dikembalikan kepada orang tuanya untuk dibina dan dijaga sebagaimana selayaknya seorang anak (social justice).
Hakim Yahya Sutriadi dalam proses persidangan pernah mengatakan bahwa kasus ini tak layak masuk di persidangan, karena melibatkan anak kecil, dan tingkat kenakalannya pun masih dalam taraf kenakalan anak-anak. Namun, sebagaimana telah diterangkan diawal tulisan ini, karena Hakim tidak boleh menolak perkara dan harus menyelesaikan perkara yang telah ia terima, maka akhirnya beliau tetap memeriksa perkara ini dan menjatuhkan putusan sebagaimana disebut diatas. Tidak mungkin Hakim Yahya Sutriadi memutuskan bahwa David Dwi Yusuf tidak bersalah, karena berdasarkan pengetahuan yang ia miliki David memang terbukti bersalah dan harus dinyatakan bersalah. Namun tetap ini tidak berhenti sampai disini, legal justice tersebut harus diikuti dengan social justice, untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, dan agar seorang Hakim benar-benar berfungsi menjadi selayaknya seorang Hakim.
Saya yakin masih banyak perkara-perkara “nenek minah” yang lain, yang tidak sempat terekspos di media dan mendapatkan perhatian yang cukup dari masyarakat. Dalam perkara-perkara tersebut, hukum telah ditegakkan, prosedur beracara telah dipatuhi, namun bagaimana dengan keadilannya? Inilah yang belum tergambar secara utuh dalam ekspos media.
Lawrence Friedman, pakar hukum Amerika Serikat, menyatakan bahwa masyarakat pada umumnya merujuk “keadilan” sebagai suatu rasa tentang sesuatu yang benar yang terkandung didalam nilai-nilai yang mereka junjung tinggi. Rasa keadilan itu bersifat universal. Walaupun tidak ada satu definisi yang disepakati mengenai apa itu “keadilan” namun tidak terdapat masyarakat dimana konsep keadilan sama sekali tidak dikenal.
Keadilan merupakan roh dan esensi dari hukum. Melayani keadilan adalah tujuan tertinggi dari penegakan hukum. Hukum tidak dapat dikerdilkan menjadi hanya sekadar alat pengatur dan penjaga ketertiban masyarakat. Walaupun keadilan dan hukum adalah unsur yang berbeda mereka adalah satu dan tidak terpisahkan, yang satu dengan yang lain saling terkait agar keduanya dapat berfungsi dengan baik.
Disisi lain, kepada para Hakim dan penegak hukum lain, walaupun hukum telah ditegakkan, prosedur beracara telah dipatuhi, ada kalanya segala aturan yang tertera pada kitab-kitab hukum bisa disimpangi, karena Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 UU no. 48 tahun 2009), sebagaimana para Hakim dalam perkara-perkara diatas telah melaksanakan hal yang sama.
Juga jangan sampai muncul kesan bahwa pendekatan legalistik dalam penanganan perkara hanya sekedar untuk menjamin kepastian hukum (legal justice) semata, dan semua hukum acara adalah sebuah kitab suci yang harus diikuti tanpa boleh disimpangi sedikitpun sehingga muncul ironi kontradiktif bahwa penegakan hukum malah menghambat keadilan.
Yang jelas, harapan akan perlindungan hukum dan keadilan itu selalu ada....

Sabtu, 18 Juni 2011

Vivanews Tulis Kisah Lengkap Dora Gadis Berkeringat Darah





“Hidup dilakoninya dengan berat, dari menjadi kuli angkut hingga OB. Dia berkeringat darah” begitulah anak judul tulisan Eri Naldi  dari Vivanews.com Jum'at, 17 Juni 2011, 21:43 WIB mengenai Dora gadis berkeringat darah.





Vivanews.com melanjutkan, mereka bergegas dari lantai delapan. Dari kamar 814 gedung tinggi itu suster sigap mendorong tempat tidur sang pasien. Seorang satpam sigap

Menata Ulang Tradisi Pembentukan Hukum di Indonesia



Oleh: Boy Yendra Tamin



Suatu kepastian hukum dapat terwujud apabila sistem hukumnya juga pasti dan berdasarkan norma fundamental negara. Hukum akan dirasakan adil, apabila di dalam hukum yang dibentuk sesuai dengan sistem nilai yang pakai oleh bangsa-negara dimana hukum itu hidup dan diterapkan. Bila hukum telah dibangun dengan dasar yang demikian, maka baru semangat penyelenggara negara dan

Jumat, 17 Juni 2011

Formalitas Surat Gugatan

Sebuah sengketa perdata terjadi karena adanya tuntutan hak yang diajukan oleh salah satu pihak kepada pihak lain ke pengadilan. Tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah tindakan main hakim sendiri (eingenrichting). Pihak yang mengajukan tuntutan hak memerlukan perlindungan dan kepastian hukum, sehingga adanya kepentingan adalah salah satu syarat untuk mengajukan tuntutan hak, jadi tidak setiap orang dapat mengajukan tuntutan hak ke pengadilan.

Untuk mencegah agar tidak setiap orang bisa mengajukan tuntutan hak ke pengadilan tanpa dasar, maka hanya pihak yang memiliki kepentingan yang cukup dan layak serta mempunyai dasar hukum saja lah yang dapat diterima sebagai dasar tuntutan hak, dengan kata lain gugatan harus diajukan oleh orang yang mempunyai tuntutan hukum (Yurisprudensi no. 294K/Sip/1971).
Tuntutan hak (Pasal 118 ayat 1 HIR/Pasal 142 ayat 1 Rbg) disebut sebagai tuntutan perdata (burgerlijke vordering) atau tuntutan yang hak yang mengandung sengketa, secara umum disebut sebagai gugatan. Gugatan dapat diajukan baik secara tertulis (Pasal 118 ayat 1 HIR/Pasal 142 ayat 1 Rbg) maupun secara lisan (Pasal 120 HIR/Pasal 144 ayat 1 Rbg).
Gugatan yang diajukan ke pengadilan pada pokoknya memuat (pasal 8 no. 3 Rv):
1.  Identitas para pihak
Termasuk nama, tempat tinggal, umur, Alamat, dst.
2.  Dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari pada tuntutan (fundamentum petendi/posita).
Posita terdiri dari dua bagian, yaitu bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwa dan bagian yang menguraikan tentang hukum. Uraian tentang kejadian merupakan penjelasan duduk perkara, sedang uraian tentang hukum ialah uraian tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis daripada tuntutan.
Kejadian-kejadian yang disebutkan dalam gugatan harus menunjukkan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar tuntutan, tanpa harus dijelaskan secara rinci dan panjang lebar tentang dasar, jalan cerita, atau sejarah kejadian, karena hal itu dapat dikemukakan di dalam persidangan disertai pembuktian (teori individualisasi). Hal ini sesuai dengan yurisprudensi No. 547K/Sip/1971 yang menyatakan bahwa perumusan kejadian materiil secara singkat dalam surat gugatan sudah memenuhi syarat.
3.  Tuntutan (petitum)
Petitum ialah apa yang oleh Penggugat diminta atau diharapkan agar diputuskan oleh hakim. Jadi petitum itu akan mendapatkan jawabannya di dalam dictum (amar putusan). Petitum harus dirumuskan dengan jelas dan tegas. Perumusan petitum yang tidak tegas dan jelas akan berakibat gugatan tersebut menjadi tidak dapat diterima (N.O./niet onvankelijke velkraad), karena walaupun pasal 94 Rv disebutkan bahwa apabila pasal 8 Rv tidak terpenuhi berakibat gugatan batal, akan tetapi dalam Yurisprudensi disebutkan bahwa tuntutan yang tidak jelas atau tidak sempurna dapat berakibat tidak diterimanya tuntutan tersebut.
Supaya kemungkinan dikabulkannya sebuah tuntutan/gugatan besar semakin besar, biasanya tuntutan pokok (petitum primair) diikuti dengan tuntutan pengganti (petitum subsidair). Tuntutan subsidair biasanya berbunyi “Agar hakim mengadili menurut keadilan yang benar” atau “mohon putusan yang seadil-adilnya” (et aquo et bono), hal ini bertujuan agar kalau tuntutan primair ditolak masih ada kemungkinan dikabulkannya gugatan yang didasarkan atas kebebasan dari hakim serta keadilan. Tuntutan subsidair ini diperbolehkan dalam hukum perdata Indonesia (yurisprudensi No. 547K/Sip/1971, dan untuk lebih lengkapnya, silahkan klik disini untuk membaca artikel tentang et aquo et bono)
Di dalam sebuah sengketa perkara perdata, ada sekurang-kurangnya dua pihak, yaitu pihak Penggugat (yang mengajukan gugatan) dan Tergugat. Pihak Penggugat dan Tergugat ini merupakan pihak materiil, karena mereka mempunyai kepentingan langsung dalam perkara yang bersangkutan, sekaligus merupakan pihak formil, karena merekalah yang beracara di muka pengadilan bertindak untuk kepentingan dan atas namanya sendiri.
Akan tetapi seseorang dapat pula bertindak sebagai Penggugat atau Tergugat di muka pengadilan tanpa mempunyai kepentingan secara langsung dalam perkara yang bersangkutan, misalnya seorang wali atau pengampu bertindak sebagai pihak di muka pengadilan atas namanya sendiri, tetapi untuk kepentingan orang yang yang diwakilinya. Nama mereka harus dimuat dalam gugatan di disebut dalam putusan, disamping nama-nama yang mereka wakili. Wali tersebut merupakan pihak formil, sedangkan yang dwakilinya adalah pihak materiil (Pasal 383, 446, 452, 403-405 BW).
Walaupun begitu, harus digaris bawahi bahwa seorang pengacara, walaupun bertindak atas nama dan kepentingan kliennya, bukanlah merupakan pihak baik formil maupun materiil.
Ada beberapa istilah yang berkaitan dengan pengajuan gugatan, diantaranya:
1.  Obscur Libel
Obscuur secara sederhana disebut “tidak jelas”. Misal tidak jelas dasar hukum yang menjadi dasar gugatan, tidak jelas obyek gugatan (jika itu berupa tanah maka batas2, letak, ukuran), Petitum tidak jelas (tidak rinci), atau ada kontradiksi antara posita dan petitum.
Salah satu contoh kontradiksi antara posita dan petitum adalah antara tuntutan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum (artikel tentang ini pernah saya dibahas di blog ini dengan artikel berjudul “Antara Wan Prestasi dan Perbuatan Melawan Hukum", silahkan klik disini untuk membaca artikel tersebut”).
Untuk mengingatkan, bahwa tuntutan wan prestasi dan perbuatan melawan hukum tidak dapat dijadikan satu, sehingga apabila positanya menjelaskan masalah wan prestasi, petitum tidak dapat berisi tuntutan perbuatan melawan hukum. Hal ini terjadi karena beberapa hal:
a)  Segi sumber hukum
-   Wanprestasi berdasarkan pasal 1243 KUHPerd yang timbul dari persetujuan, tuntutan terjadi karena perjanjian tidak dipenuhi sama sekali/tidak tepat waktu/tidak dipenuhi secara layak.
-   Melawan hukum berdasarkan pasal 1365 KUHPerd, terdapat unsur perbuatan melanggar hukum dan dapat dituntut sekaligus secara pidana dan perdata.
b)  Segi hak menuntut
-  Wanprestasi memerlukan proses atas pernyataan lalai, apabila ada klausul debitur langsung wanprestasi, namun jika tidak ada klausul maka harus somasi terlebih dahulu.
-   Perbuatan Melawan Hukum tidak diperlukan somasi
c)  Segi tuntutan ganti rugi
-   Tuntutan ganti rugi untuk Wanprestasi dihitung sejak terjadi kelalaian (1237 KUHPerd), meliputi kerugian yang dialami dan keuntungan yang akan diperoleh (1236 & 1243 KUHPerd)
-   Tuntutan ganti rugi Perbuatan Melawan Hukum dapat tidak dirinci, dan dapat dituntut ganti rugi immateriil dan materiil tanpa ada standar tertentu (1365 KUHPerd).
2.  Error In Persona
Suatu gugatan/permohonan dapat dianggap error in persona apabila diajukan oleh anak di bawah umur (Pasal 1330 KUHPer), mereka yang berada di bawah perwalian/curatele (Pasal 446 dan 452 KUHPer), tidak memiliki kedudukan hukum/legal standing untuk mengajukan gugatan (persona standi in judicio).
Dapat juga dianggap error in persona apabila pihak yang ditarik sebagai Tergugat/Termohon keliru/salah (Putusan MA No.601 K/SIP/1975), atau pihak Penggugat/pemohon atau Tergugat/Termohon yang tercantum dalam surat gugatan/permohonan tidak lengkap (Plurium Litis Consorsium, Putusan MA 156 K/Pdt/1983)
3.  Melanggar Kompetensi
          a.  Tidak berwenang mengadili secara Absolut
Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan absolut 4 Lingkungan peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer), Peradilan khusus (Arbitrase, Peradilan Niaga, P4D, dst)
          b.  Tidak berwenang mengadili secara Relatif.
Kompetensi Relatif berkaitan dengan wilayah hukum dari suatu pengadilan dalam satu lingkungan peradilan yang sama (pasal 118 HIR). Eksepsi jenis ini dapat diakibatkan beberapa hal:
a)  Pengadilan yang berwenang adalah dimana Tergugat bertempat tinggal (Actor Sequitur Forum Rei)
b)  Pengadilan yang berwenang adalah pengadilan dimana debitur bertempat tinggal (Actor Sequitur tanpa hak opsi)
c)  Pengadilan yang berwenang adalah pengadilan dimana Penggugat bertempat tinggal, dengan catatan tergugat tidak diketahui keberadaannya.
d)  Pengadilan yang berwenang adalah pengadilan dimana Harta sengketa (tidak bergerak) berada (Forum Rei sitae)
e)  Pengadilan yang berwenang adalah pengadilan di salah satu tempat dari beberapa harta sengketa (tdk bergerak) berada (Forum Rei Sitae dengan hak opsi)
4.  Set Aside
Set Aside berarti menyisihkan, maksudnya dalam mengajukan gugatan, ada beberapa hal yang sering disisihkan, dilupakan atau dilalaikan oleh Penggugat, misal:
a.  Apa yang digugat sesungguhnya sudah dipenuhi,
b.  Sudah dihapuskan sendiri oleh penggugat,
c. Sudah melepaskan diri, misal penggugat pada waktu terbukanya harta warisan menolak sebagai ahli waris.
d.  Faktor lewat waktu (daluwarsa)
5.  Perkara sudah diajukan dan sedang diperiksa
Hal ini dikenal dengan istilah rei judicata deductae, yaitu perkara tersebut sudah diajukan, belum berkekuatan hukum tetap, dan masih dalam pemeriksaan proses persidangan, entah itu belum diputus oleh Majelis, atau sudah diputus akan tetapi masih dalam proses upaya hukum (Banding, Kasasi). Perkara seperti ini harus dibatalkan demi hukum.
6.  Gugatan Prematur
Suatu gugatan disebut prematur jika ada faktor hukum yang menangguhkan adanya gugatan tersebut, misalnya gugatan warisan disebut prematur jika pewaris belum meninggal dunia, atau hutang yang belum jatuh tempo tidak dapat dituntut untuk ditunaikan.
7.  Nebis in Idem
Nebis in idem adalah sebuah perkara para pihak yang sama, dengan obyek sama, dan materi pokok perkara yang sama tidak dapat diperiksa lagi. Jika ada perkara obyek dan materi perkara yang sama, akan tetapi pihak-pihaknya berbeda tidak termasuk nebis in idem (Pasal 1917 KUHPerd, Yurisprudensi No. 588 K/SIP/1973, dan Yurisprudensi MA No. 647 K /SIP/1973). Dengan demikian, suatu perkara dapat dikatakan Nebis In Idem apabila:
1)  Pernah diperkarakan sebelumnya (yurisprudensi MA No. 1743 K/SIP/1983)
2)  Telah berkekuatan hukum tetap (yurisprudensi MA No. 647 K/SIP/1973)
3)  Telah tertutup upaya hukum biasa (banding dan kasasi)
4)  Telah diajukan banding dan kasasi.
5)  Telah lewat waktu banding dan kasasi.
6)  Tidak diajukan upaya hukum.
Akan tetapi, apabila ada perkara sama yang telah diputus tidak dapat diterima/N.O. karena tidak memenuhi syarat formil, maka itu tidak termasuk nebis in idem dan dapat digugat kembali untuk kedua kalinya (yurisprudensi No. 878 k/Sip/1977).