Minggu, 11 Mei 2008

NOTARIS dan UU No 11Th 2008 (Bagian 2)

ESENSI KEBERADAAN LEMBAGA NOTARIAT
DENGAN BERLAKUNYA
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TH 2008
TTG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Bagian ke 2


Dari dua artikel penulis yang sebelumnya yaitu tentang Notaris dan UU nomor 11 tahun 2008 dan Arti suatu Tanda Tangan, dapat dinyatakan suatu adagium sebagai berikut : Seluruh transaksi elektronik dengan tanda tangan elektronik dapat dianggap sebagai akta, bahkan kekuatan pembuktiannya sama seperti akta otentik.

Pertanyaan yang mendasar adalah : Apakah itu berarti suatu akta otentik yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris dapat digantikan fungsinya oleh suatu dokumen elektronik yang ditanda tangani secara elektronik yang sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku?
Pasal 5 ayat 4 UU ITE mengatur bahwa : ”ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis;
Penjelasannya : Surat yang menurut undang-undang harus dibuat tertulis meliputi tetapi tidak terbatas pada surat berharga, surat yang berharga, dan surat yang digunakan dalam proses penegakan hukum acara perdata, pidana, dan administrasi negara.
dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Penjelasannya :
Cukup jelas.

Sebelum membahas lebih lanjut dari pasal 5 ayat 4 ini ada baiknya kalau kita bersama-sama mengetahui sejarah dari pembentukan pasal ini.
Dalam pasal 8 ayat 3 RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi : ”Ketentuan mengenai dokumen elektronik dan tanda tangan digital sebagaimana diatur dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku untuk :
a. pembuatan dan pelaksanaan surat wasiat;
b. surat-surat berharga selain saham yang diperdagangkan di bursa efek;
c. perjanjian yang berkaitan dengan transaksi barang tidak bergerak;
d. dokumen-dokumen yang berkaitan dengan hak kepemilikan; dan
e. dokumen-dokumen lain yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku mengharuskan a
danya pengesahan notaris atau pejabat yang berwenang”.
Penjelasan Ayat (3) :
Ketentuan ini merupakan pengecualian terhadap kedudukan dokumen elektronik dan tanda tangan digital. Dalam pembuatan dan pelaksanaan surat-surat wasiat, surat-surat berharga, perjanjian yang obyeknya barang tidak bergerak, dokumen hak kepemilikan seperti sertifikat hak milik, dokumen elektronik dan tanda tangan digital tidak memiliki
kedudukan yang sama dengan dokumen tertulis lainnya dan tanda tangan manual pada umumnya.
Jika pembaca hendak meneliti lebih jauh Rapat Panja mengenai hal ini silahkan klik : http://www.dpr.go.id/dpr/berkas/lapsingKomisiFile/dim%20koiy_dim%20panja%2002.rtf
Pembahasan mengenai DIM 64 s/d 68 sehingga akhirnya rumusannya berbunyi :

Surat beserta dokumennya yang menurut peraturan perundang-undangan mengharuskan dibuat dalam akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Bunyi rumusan ini sama dengan bunyi rumusan pasal 5 ayat 4 UU 1/2008 dan tidak disertai penjelasan seperti dalam RUUnya.
Malahan salah satu fraksi menegaskan bahwa jika dokumen2 yang dikecualikan tersebut dibuat dalam dokumen elektronik maka tidak bisa menjadi alat bukti yang sah.
Sekarang marilah kita bahas tiga frasa kalimat yang berbeda-beda dalam RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi, Hasil rumusan Panja tahun 2002 dan Undang-undang 11 /2008.
Dalam RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi :
dokumen-dokumen lain yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku mengharuskan adanya pengesahan notaris ;
Dalam rumusan Panja :
Surat beserta dokumennya yang menurut peraturan perundang-undangan mengharuskan dibuat dalam akta notaril ;
Dalam UU 11/2008 :
surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril
.
Intinya rumusan-rumusan tersebut bahwa surat beserta dokumen yang diharuskan oleh Undang-undang dibuat dalam atau dalam bentuk akta notaril, dikecualikan dari ketentuan UU ITE.

Nah disinilah terletak inti permasalahannya bahwa dokumen yang harus dibuat dalam bentuk Akta notaril ( Akta Otentik ) hanya sebagian kecil dari seluruh perbuatan hukum dalam bidang hukum privat, padahal Notaris adalah Pejabat Umum yang diberi wewenang atas sebagian kekuasaan negara dibidang hukum privat untuk membuat alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Penulis mencoba untuk meneliti dalam KUHPdt ternyata sedikit sekali dokumen-dokumen yang disyaratkan dibuat dalam bentuk akta notaril ( sekitar 15-20 macam akta notariil ), silahkan bandingkan dengan yang penulis utarakan dalam http://groups.yahoo.com/group/Notaris_Indonesia/message/1736.

Rumusan-rumusan yang berbunyi : .... Dokumen yang mengharuskan adanya pengesahan notaris, dokumen yang mengharuskan dibuat dalam akta notaril dan dokumen yang menurut UU harus dibuat dalam bentuk akta notaril....., semuanya adalah rumusan yang salah menurut penulis karena tidak mencapai apa yang dituju atau dimaksud, yaitu bahwa dokumen elektronik dan tanda tangan elektronik tidak dapat menggantikan kedudukan akta otentik yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris/PPAT.
Menurut penulis rumusan yang benar adalah sebagai berikut :
Pasal 5 ayat 4 huruf b :
Semua surat dan/atau dokumen yang dinyatakan dalam bentuk akta yang dibuat dihadapan atau oleh Pejabat Umum sesuai yang ditentukan oleh Undang-undang.
Argumentasi :
Penulis menggunakan kata semua artinya bukan hanya yang ditentukan UU harus dalam bentuk akta notaril, namun juga yang dikehendaki oleh masyarakat ( pihak dalam dokumen ) untuk dinyatakan dalam bentuk akta otentik.
Kata-kata yang dinyatakan berarti yang nyata bentuknya, memakai kertas ( tidak berbentuk informasi elektronik ).
Kata-kata dibuat dihadapan atau oleh Pejabat Umum mengacu kepada peraturan yang ada bahwa ada 2 jenis akta otentik yaitu akta party dan akta relaas; dimana dalam akta party akta tersebut dibuat dihadapan Pejabat yang berwenang, sedangkan akta relaas yaitu suatu akta yang dibuat oleh Pejabat yang berwenang.
Kata-kata Pejabat Umum dimaksudkan bahwa tidak hanya notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah saja yang berwenang membuat akta otentik, Pegawai Catatan Sipil dan lain-lain pejabat yang diberi kewenangan pula untuk membuat akta otentik; oleh karena itu harus juga dikecualikan dari ketentuan UU ITE.( Coba bayangkan Akta Perkawinan, Akta Kematian, Akta Kelahiran yang dibuat dalam bentuk dokumen elektronik .....seru juga yaaa ).
Sedangkan dalam penjelasan pasal 5 ayat 4 huruf b dapat dirumuskan sebagai berikut :
Ketentuan ini merupakan pengecualian terhadap kedudukan dokumen elektronik dan tanda tangan digital. Dokumen elektronik dan tanda tangan digital tidak dapat menggantikan kedudukan dan fungsi akta otentik yang dibuat dihadapan atau oleh Pejabat Umum, baik yang diharuskan oleh Undang-undang maupun yang dikehendaki oleh masyarakat.

Dengan perumusan seperti tersebut di atas, penulis merasa yakin tidak akan terjadi polemik yang berkepanjangan mengenai kedudukan akta otentik dibandingkan dengan dokumen elektronik dan tanda tangan elektronik.
Oleh karena itu Penulis menyerukan kepada pihak-pihak yang terkait : Para pengurus Ikatan Notaris Indonesia, Pengurus Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah maupun Pejabat Pejabat Umum yang lain agar segera melakukan JUDICIAL REVIEW terhadap Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 khususnya terhadap ketentuan pasal 5 ayat 4 huruf b.

Tulisan ini dipersembahkan sebagai bakti penulis kepada lembaga Notariat Indonesia, khususnya dalam rangka memperingati ulang tahun ke 100 dari Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia.

VIVA NOTARIUS !!
Surabaya, 11 Mei 2008
Jusuf Patrianto Tjahjono SH
Notaris di Surabaya

Jumat, 09 Mei 2008

Arti dan Kedudukan Tanda Tangan Dalam Suatu Dokumen

ARTI SEBUAH TANDA TANGAN

Apalah arti sebuah nama ? demikian ujar Shakepeare. Seolah nama tidaklah memberikan suatu arti bagi pemakainya; tidaklah demikian dengan arti suatu tanda tangan pada suatu dokumen. Dalam kesempatan ini penulis akan menguraikan sedikit mengenai arti dan kedudukan tanda tangan bagi dokumen konvensional maupun bagi dokumen elektronik.

Dalam KUHPdt diakui surat yang bertanda tangan, sedangkan surat yang tidak bertanda tangan, tidak diakui, karena tidak dapat diketahui siapa penulisnya. ( dalam KUHAPidana surat tanpa tanda tangan masih dapat dijadikan bukti dalam perkara pidana ).
Pentingnya ada/keberadaan tanda tangan oleh karena dengan adanya tanda tangan berarti orang yang menanda tangani mengetahui isi dari akta tersebut, sehingga dengan demikian orang tersebut terikat dengan isi dari akta tersebut.

Surat yang bertanda tangan, dibuat untuk dipakai sebagai alat bukti dan untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat disebut akta, yang didalam KUHPdt dibedakan menjadi 2 jenis yaitu akta otentik dan akta di bawah tangan. (pasal 1868, 1869, 1874).

Jika dicermati ketentuan pasal 1875 KUHPdt :
” Suatu tulisan di bawah tangan yang diakui kebenarannya oleh orang yang dihadapkan kepadanya atau secara hukum dianggap telah dibenarkan olehnya, menimbulkan bukti lengkap seperti suatu akta otentik bagi orang yang menandatanganinya...dst”
Fungsi tanda tangan adalah untuk memberikan ciri atau mengindividualisir suatu akta ( Arianto Mukti Wibowo, Naskah Akademik RUU Tanda Tangan Elektronik dan Transaksi Elektronik, 2001 : 66 ).

Penanda tanganan suatu dokumen secara umum mempunyai tujuan sebagai berikut :
Bukti (Evidence) : suatu tanda tangan mengidentifikasikan penandatangan dengan dokumen yang ditandatanganinya. Pada saat penandatangan membubuhkan tanda tangan dalam bentuk yang khusus, tulisan tersebut akan mempunyai hubungan (attribute) dengan penandatangan.
Ceremony : penandatanganan suatu dokumen akan berakibat sipenandatangan mengetahui bahwa ia telah melakukan perbuatan hukum, sehingga akan mengeliminasi adanya inconsiderate engagement .
Persetujuan (approval) : tanda tangan melambangkan adanya persetujuan atau otorisasi terhadap suatu tulisan.
Jadi suatu tulisan yang telah ditanda tangani dan dibenarkan kebenarannya mempunyai kekuatan pembuktian yang sama seperti akta otentik.

Bagaimana kalau dihubungkan dengan transaksi elektronik yang dituangkan dalam perjanjian/kontrak elektronik?
Pasal 18 juncto pasal 7 juncto pasal 11 UU 11/2008 ttg ITE telah menegaskan transaksi elektronik yang dituangkan dalam kontrak elektronik mengikat para pihak yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak, asalkan ditanda tangani secara elektronik oleh para pihak sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku.
Dari sini dapat ditarik suatu pernyataan : seluruh transaksi elektronik dengan tanda tangan elektronik dapat dianggap sebagai akta, bahkan kekuatan pembuktiannya sama seperti akta otentik.

Perkembangan selanjutnya dalam dunia hukum pembuktian menyangkut beban pembuktian, jika pasal 1877 KUHPdt mengatur apabila seseorang memungkiri tulisan atau tanda tangan, maka pihak lawan harus membuktikan bahwa tanda tangan itu merupakan tanda tangan orang yang memungkirinya.
Bagaimanakah beban pembuktian dari suatu tanda tangan elektronik yang dipungkiri?
Penulis setuju dengan pendapat Arrianto Mukti Wibowo, bahwa dapat ditentukan keaslian tanda tangan elektronik langsung dapat diakui keasliannya di pengadilan, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Hal ini karena adanya keterkaitan infrastruktur diluar para pihak yang diberi lisensi oleh Pemerintah untuk menerbitkan tanda tangan elektronik yaitu suatu lembaga yang diberi nama Penyelenggara Sertifikasi Elektronik (Certification Authority). Lisensi tersebut memberikan jaminan bahwa infrastruktur tersebut telah diaudit dan memenuhi syarat minimum yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Saran penulis demi mengikuti perkembangan era informasi sudah selayaknya Organisasi yang membawahi para notaris di Indonesia mulai memikirkan untuk membentuk suatu infrastruktur nir laba yang menyelenggarakan Sertifikasi Elektronik.
Dipersembahkan untuk memperingati 100 th HUT Ikatan Notaris Indonesia.
( catatan : tulisan ini merupakan bagian dari artikel : Esensi keberadaan lembaga notariat dengan berlakunya UU 11/2008 ).

Kamis, 08 Mei 2008

NOTARIS DAN UU No 11 Th 2008

ESENSI KEBERADAAN LEMBAGA NOTARIAT
DENGAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO 11 TH 2008 TTG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK


Esensi keberadaan lembaga notariat yang berisi para pejabat umum ( Notaris ) diakui keberadaannya di dalam sistem hukum Indonesia khususnya melalui pasal 1868 KUHPdt :
”Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang- undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat "
Jadi syarat otentistas suatu dokumen yaitu :
- dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang
- oleh atau dihadapan Pejabat Umum
- Pejabat tersebut harus berwenang di tempat akta dibuat
Yang kemudian ditegaskan melalui Undang-undang nomor 30 tahun 2004 dalam pasal 1 : Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

Dalam penegasan tersebut ditetapkan bahwa Notaris adalah pejabat umum ”yang bukan satu-satunya” berwenang untuk membuat akta otentik.
Sehingga muncul ide-ide yang ”sangat merangsang syaraf” untuk disimak bersama sebagaimana diluncurkan oleh rekan Arianto Mukti Wibowo ( pakar telematika ) dalam penelitiannya dan tulisannya yang dituangkan dalam Naskah Akademik Rancangan UU tentang Tanda Tangan elektronik dan Transaksi Elektronik tahun 2001 di halaman 108 telah mengajukan pendapat :” jika sebuah CA (Certification Authority ) mendapatkan lisensi dari Pemerintah, maka CA tersebut dapat bertindak sebagai pejabat umum”.
Pada halaman yang sama dikatakan pula olehnya : ” Dengan memanfaatkan infrastruktur yang diberikan CA khususnya kemampuan untuk mengetahui identitas dari penandatanganan dan kemampuan untuk mengetahui kapan transaksi elektronik itu ditanda tangani, maka transaksi elektronik yang ditanda tangani dipersamakan dengan akta otentik yang dibuat di depan pejabat yang berwenang ”.
Pertanyaannya apakah transaksi elektronik atau dokumen elektronik dapat dipersamakan dengan akta otentik ?
Jawaban terhadap pertanyaan ini dapat menimbulkan polemik yang panjang jika para pengurus INI tidak segera mengajukan judicial review terhadap ketentuan pasal 5 UU no 11 th 2008 tentang ITE, khususnya ketentuan yang diatur dalam ayat 4 pasal tersebut. ( catatan : UU ITE diundangkan tanggal 21 April 2008 ).
Pada artikel yang berikutnya kita akan merenungkan lebih mendalam lagi tentang ”kesalahan” yang terjadi dalam perumusan pasal 5 ayat 4 UU ITE.

Sebelumnya harus diketahui lebih dahulu posisi Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dalam sistem hukum pembuktian yang berlaku di Indonesia.
Sesuai dengan pasal 5 ayat 1 s/d 3 dipastikan bahwa Informasi dan/atau dokumen elektronik berikut dengan hasil cetaknya adalah merupakan alat bukti yang sah, yang merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia, apabila dibuat dengan menggunakan Sistem Elektronik yang diatur dalam UU ITE.
Nah dalam kerangka berpikir inilah pendapat Arrianto di atas dapat dimengerti bahwa kekuatan pembuktian dokumen elektronik dapat dipersamakan dengan akta otentik, dengan alasan bahwa terhadap suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang telah ditanda tangani secara elektronik berarti terhadap informasi dan/atau dokumen tersebut telah diverifikasi dan diautentikasi ( lihat pasal 1 point 12 definisi mengenai Tanda Tangan Elektronik ).
KUHPdt hanya mengakui surat yang ditanda tangani sebagai suatu alat bukti yang mengikat, sedangkan surat tanpa tanda tangan adalah sekedar bukti permulaan yang tidak mengikat.
(Mengenai arti tanda tangan / penanda tanganan surat silahkan baca artikel : Arti sebuah tanda tangan.)
Bagaimana dengan tanda tangan elektronik apakah aplikasinya semudah tanda tangan konvensional ?
Agar tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah maka harus dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang dalam pasal 11 :

  1. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan;
  2. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa Penanda Tangan;
  3. segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
  4. segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
  5. terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya; dan
  6. terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang terkait.

Disamping itu masih ada syarat pengaman yang wajib ditempuh oleh pengguna tanda tangan elektronik sebagaimana ditentukan dalam pasal 12 (2) UU ITE :
Pengamanan Tanda Tangan Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
a. sistem tidak dapat diakses oleh Orang lain yang tidak berhak;
b. Penanda Tangan harus menerapkan prinsip kehati hatian untuk menghindari
penggunaan secara tidak sah terhadap data terkait pembuatan Tanda Tangan
Elektronik;
c. Penanda Tangan harus tanpa menunda-nunda, menggunakan cara yang dianjurkan
oleh penyelenggara Tanda Tangan Elektronik ataupun cara lain yang layak dan
sepatutnya harus segera memberitahukan kepada seseorang yang oleh Penanda
Tangan dianggap memercayai Tanda Tangan Elektronik atau kepada pihak
pendukung layanan Tanda Tangan Elektronik jika:
1. Penanda Tangan mengetahui bahwa data pembuatan Tanda Tangan Elektronik
telah dibobol; atau
2. keadaan yang diketahui oleh Penanda Tangan dapat menimbulkan risiko yang
berarti,kemungkinan akibat bobolnya data pembuatan Tanda Tangan
Elektronik; dan
d. dalam hal Sertifikat Elektronik digunakan untuk mendukung Tanda Tangan
Elektronik,Penanda Tangan harus memastikan kebenaran dan keutuhan semua
informasi yang terkait dengan Sertifikat Elektronik tersebut.

Dengan dilaksanakannya prosedure dan prinsip kehati-hatian, maka jelas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dapat dijadikan sebagai alasan timbulnya suatu hak (menyatakan adanya suatu hak atau memperkuat adanya suatu hak) atau menolak suatu hak (lihat pasal 7 UU ITE), lalu apakah bedanya dengan akta otentik yang dibuat oleh Notaris ??
Bagaimana dengan praktek para notaris sendiri, apakah dalam menjalankan jabatannya telah menerapkan aturan jabatan notaris dan prinsip kehati-hatian sedemikian rupa ? Silahkan pembaca merenungkannya sendiri-sendiri. ( Sebagai bahan perenungan lebih lanjut baca pula artikel penulis : Harkat dan martabat notaris, Sistem Komputer lebih berharga daripada Minuta Akta ).
Sedangkan secara ekternal penggerogotan kewenangan notaris telah terjadi secara sistematis sesuai dengan perkembangan sistem hukum campuran yang diterapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia ( campuran antara sistem hukum Civil Law / Continental, Common Law / Anglo Saxon, Islam dan Adat ) dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan saat ini.
Dengan melihat penggerogotan secara internal maupun eksternal, penulis merasa yakin bahwa keberadaan lembaga notariat dari hari ke hari terus mengalami kemerosotan dan jika hal ini dibiarkan berlarut-larut dengan sikap diam para pengurus organisasi yang membawahi para notaris, maka niscaya tidak lama lagi lembaga notariat akan menjadi lembaga para tukang stempel.

Tulisan ini dipersembahkan untuk memperingati 100 th HUT Ikatan Notaris Indonesia.
Bersambung .....