Senin, 31 Maret 2008

Majelis Pengawas Notaris

Kedudukan Majelis Pengawas Notaris
dalam sistem hukum Indonesia.



Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris. ( Oleh karena yang diawasi adalah Notaris maka disebut juga sebagai Majelis Pengawas Notaris ).
Badan ini dibentuk oleh Menteri guna mendelegasikan kewajibannya untuk mengawasi (sekaligus membina) Notaris yang meliputi perilaku dan pelaksanaan jabatan Notaris (lihat pasal 67 UU JN juncto pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004).
Dalam melaksanakan tugas kewajibannya Badan tersebut secara fungsional dibagi menjadi 3 bagian secara hirarki sesuai dengan pembagian suatu wilayah administratif ( Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat ) yaitu : Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat. (Pasal 68 UU JN )
Dari uraian di atas maka timbul permasalahan mengenai kedudukan dan fungsi Majelis Pengawas tersebut sebagai berikut :
1. Apakah Majelis Pengawas adalah merupakan Badan Tata Usaha Negara yang tunduk pada Hukum Administrasi Tata Usaha Negara?
2. Apakah Keputusan Majelis Pengawas yang telah menjatuhkan Sanksi Administratif telah memenuhi ketentuan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara ?
Untuk menjawab permasalahan di atas akan lebih jelas jika kita melihat ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UU no 5 tahun 1986 juncto UU no 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Didalam Pasal 1 UU no 5 tahun 1986 diuraikan definisi/pengertian dari :
1. Tata Usaha Negara adalah Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah;
2. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3. Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Maka nampaklah dengan jelas ketentuan pasal 67 ayat 1 dan ayat 2 UUJN termasuk didalam pengertian pasal 1 UU PTUN, bahwa Menteri selaku Badan atau Jabatan TUN yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan telah mendelegasikan kewenangannya kepada Majelis Pengawas yang oleh karena itu secara fungsional dan keberadaannya sebagai Badan Tata Usaha Negara.
Untuk menjawab permasalahan yang kedua tidaklah semudah mencari jawaban untuk permasalahan yang pertama, karena tidak semua Keputusan dari Badan TUN adalah termasuk keputusan TUN yang diatur dalam UU 9 tahun 2004.
Dalam pasal 2 UU PTUN disebutkan terdapat 7 (tujuh) macam Keputusan TUN yang tidak termasuk diatur dalam UU PTUN ( yang tidak dapat menjadi obyek sengketa TUN ) yaitu :
a. Keputusan Tata Usaha Negara merupakan perbuatan hukum perdata;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum."
Menarik untuk dicermati penjelasan pasal 2 huruf e point nomor 3 yang berkaitan dengan dunia kenotariatan yaitu sebagai berikut :
Penjelasan pasal 2 Huruf e :
Keputusan Tata Usaha Negara yang dimaksud pada huruf ini umpamanya:
1. Keputusan Badan Pertanahan Nasional yang mengeluarkan sertifikat tanah atas nama seseorang yang didasarkan atas pertimbangan putusan pengadilan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang menjelaskan bahwa tanah sengketa tersebut merupakan tanah negara dan tidak berstatus tanah warisan yang diperebutkan oleh para pihak.
2. Keputusan serupa angka 1, tetapi didasarkan atas amar putusan pengadilan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
3. Keputusan pemecatan seorang notaris oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi jabatan notaris, setelah menerima usul Ketua Pengadilan Negeri atas dasar kewenangannya menurut ketentuan Undang-Undang Peradilan Umum.
Perlu diketahui dalam UU 9 tahun 2004 yang diundangkan tanggal 29 maret 2004 pada waktu itu yang menjadi acuan untuk menjatuhkan hukuman/sanksi pemberhentian dengan tidak hormat atas seorang Notaris adalah atas usulan dari Ketua Pengadilan Negeri ( pada waktu itu berfungsi sebagai Pengawas Notaris ); maka dengan berlakunya UU 30 tahun 2004 yang diundangkan pada tanggal 6 Oktober 2004 ketentuan dalam pasal 2 UU 9 tahun 2004 tidak dapat digunakan khususnya untuk kasus/permasalahan yanng berkaitan dengan keputusan pemberian sanksi bagi Notaris, demikian berdasarkan asas hukum Lex posterior derogat legi priori/anteriori ( Undang-Undang yang lebih baru mengenyampingkan Undang-Undang yang lama ).
Dalam hal ini Unsur Peradilan Umum ( unsur eksternal diluar Badan TUN ) tidak ada lagi kaitannya dengan dunia kenotariatan dalam hal pemeriksaan, pengawasan dan pemberian pertimbangan dalam pembuatan Keputusan TUN oleh Menteri dan maupun oleh Badan Majelis Pengawas yang dibentuk oleh Menteri.
Keputusan Menteri maupun Majelis Pengawas yang memberikan sanksi kepada Notaris memenuhi kriteria sebagai Keputusan TUN sesuai pasal 1 point 3 UU 5 tahun 1986 yang unsur-unsurnya adalah :
a. penetapan tertulis
b. yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
c. yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
d. yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Sebagai kesimpulan dari tulisan ini penulis menyimpulkan bahwa Majelis Pengawas Notaris yang dibentuk oleh Menteri dalam menjalankan tugas tata usaha berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku yaitu melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap Notaris, termasuk dalam lingkup Hukum Tata Usaha Negara/Hukum Administrasi Negara demikian pula Keputusan yang dibuat dalam rangka melakukan tugas pengawasannya adalah merupakan Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat dijadikan sebagai obyek sengketa Tata Usaha Negara.
Selanjutnya penulis mereferensikan agar pembaca membaca lebih lanjut tulisan rekan Habib Adjie dalam draft Judicial Review atas Permenkum nomor 3 tahun 2007 ( KLIK DISINI )sebagai sarana untuk memperkaya wacana kita semua dalam memahami permasalahan di atas.
Dan sebagai penutup penulis ingin memberikan sedikit catatan menngenai betapa uniknya kedudukan Notaris yang menjadi pejabat/ anggota Majelis Pengawas; karena yang bersangkutan disamping mempunyai kedudukan sebagai Notaris (Pejabat Umum yang bukan pejabat TUN), juga sebagai pejabat TUN serta pula sebagai warga negara Indonesia yang mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan yang lain. ( wah betapa kompleksnya…. ).


Akhirnya dengan mengangkat topi dan memberikan hormat/saluut kepada para anggota Majelis Pengawas Notaris penulis mengucapkan Selamat bekerja dan berkarya, semoga Tuhan yang Maha Esa selalu membimbing sodara-sodara sekalian dalam menjalankan amanah Undang-Undang.
Salam sejahtera
Jusuf Patrick
Sby, 1 April 2008

Minggu, 30 Maret 2008

Apakah Notaris tunduk pada prinsip Equality before the law ?

Apakah Notaris tunduk pada prinsip Equality before the law ?

Equality before the law adalah pilar utama dari bangunan Negara Hukum ( state law ) yang mengutamakan hukum di atas segalanya ( supreme of law ) .
Pengakuan kedudukan tiap individu di muka hukum ditempatkan dalam kedudukan yang sama tanpa memandang status sosial ( social stratum ) .
Keberlakuan prinsip equality before the law dalam praktek penegakan negara hukum yang berdasarkan supremasi hukum ( kedaulatan hukum ) ternyata mengalami “penghalusan” kalau tidak mau dikatakan “exception” (pengecualian) demi mempertahankan kewibawaan hukum itu sendiri.

Pengecualian mana berlaku bagi orang-orang / kelompok orang-orang tertentu yaitu mereka yang oleh karena melaksanakan suatu perbuatan yang ditugaskan oleh Undang-undang tidak dapat dihukum/dipidana.
Terhadap orang-orang ini tidak berlaku kekebalan hukum, karena apabila mereka terbukti melakukan tindak pidana dengan menggunakan kekuasaan dan kewenangannya, maka hukuman terhadap mereka lebih berat daripada hukuman yang seharusnya diterima oleh orang biasa.

Jadi terhadap orang-orang ini jika melakukan suatu perbuatan guna melaksanakan ketentuan Undang-undang tidak dapat dihukum ( bukan kebal hukum ), sebaliknya apabila yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum dengan menggunakan kekuasaan dan atau kewenangannya ( abuse de droit ), maka hukumannya diperberat.

Untuk menjadi orang yang dikecualikan dari prinsip equality before the law, tentu saja harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang dibuat sesuai standart pemenuhan nilai-nilai sebagai “nobile person” ( orang yang terhormat ).
Siapakah yang termasuk dalam golongan nobile person tersebut ?
Penulis sangat yakin bahwa salah satunya adalah Notaris yang dalam pasal 1868 KUHPerdata, dikenal sebagai Pejabat Umum (Openbare Ambtenaren) dan telah dijabarkan dalam Undang-undang nomor 30 tahun 2004.

Notaris adalah seorang yang dalam menjalankan jabatannya tidak tunduk terhadap prinsip equality before the law, sepanjang dalam melaksanakan jabatannya telah mengikuti prosedure yang ditentukan oleh Undang-undang ( lihat khususnya pasal 16 dan pasal 17 UU 30/2004 tentang kewajiban dan larangan).
Sepanjang telah dilaksanakan ketentuan-ketentuan dalam UU tersebut maka seorang yang menjalankan jabatan Notaris adalah “kebal hukum”. Artinya Notaris tidak dapat dihukum oleh karena atau berdasarkan perbuatan yang dilakukannya menurut UU yaitu melakukan perbuatan mengkonstatir maksud/ kehendak dari pihak-pihak yang menghendaki perbuatan hukum yang mereka lakukan dapat dibuktikan dengan akte otentik.
Namun perlu diingat bahwa seorang Notaris yang tidak sedang dalam kapasitas sebagai Notaris adalah sama dengan orang pada umumnya, yang tunduk pada prinsip equality before the law dan tidak “kebal hukum”.

Pertanyaan yang mendesak untuk dijawab apakah pengecualian terhadap prinsip equality before the law terhadap orang-orang yang melaksanakan ketentuan Undang-undang tersebut dapat disimpangi dengan asas hukum (rechtsbeginselen) Qui tact consentire videtur = siapa yang berdiam diri dianggap menyetujui ?

Hal ini sedang terjadi di dunia kenotariatan Indonesia pada saat ini, dimana Peraturan Menteri Hukum&HAM nomor 3 tahun 2007 dapat dikategorikan sebagai sarana untuk mengesampingkan ketentuan pasal 50 KUHPidana.
Dengan ketentuan dalam pasal 12 ayat 2 dan pasal 18 ayat 2 dalam Peraturan tersebut yang pada intinya mengatur apabila Majelis Pengawas Daerah tidak memberikan jawaban dalam waktu 14 hari sejak surat permohonan pemeriksaan oleh penyidik, penuntut umum dan atau hakim, maka dianggap Majelis Pengawas Daerah menyetujui permohonan penyitaan/pengambilan minuta akta /protokol notaris dan/atau pemanggilan notaris untuk diperiksa lebih lanjut.

Dengan “disetujuinya” Notaris dan/atau minuta Akta/protokol Notaris diperiksa oleh penyidik, penuntut umum dan/atau hakim, maka sudah terdapat unsur pengkondisian bagi Notaris tersebut untuk ditempatkan dalam posisi tidak berada dalam golongan “nobile person”, melainkan seperti seorang yang tunduk pada prinsip equality before the law seperti yang terjadi pada orang pada umumnya.
Selanjutnya yang menjadi pertanyaan mendasar Apakah notaris yang merupakan jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat di dalam sistem hukum Indonesia telah mendapatkan perlindungan hukum secara layak?

Pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh para notaris sendiri dengan sikap dan tingkah lakunya dalam menjalankan jabatannya. Seberapa layak anda mendapatkan penghormatan dalam bentuk perlindungan hukum adalah ditentukan oleh ketaatan pada pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam UU Jabatan Notaris.

Pendapat penulis pribadi terhadap masalah pengambilan minuta akta/ protokol Notaris
bahwa pengambilan minuta akta/protokol notaris hanya dapat dilakukan dalam tahap pemeriksaan oleh Hakim guna mencari kebenaran materiil, bukan dalam tahap penyidikan atau penuntutan oleh penyidik atau penuntut umum.
Apabila dalam tahap pemeriksaan oleh Hakim dapat dibuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran hukum oleh Notaris melalui akta yang dibuat dihadapan/olehnya, maka barulah sang Notaris dapat dituntut telah melakukan penyalahgunaan wewenang / jabatannya.
Dengan demikian notaris tidak serta merta dikaitkan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang menggunakan jasa notaris dalam pembuatan akte otentik. Namun juga tidak menutup kemungkinan bahwa Notaris yang tidak melaksanakan ketentuan UU Jabatan Notaris dalam pembuatan aktanya, dapat dituntut baik secara pidana maupun secara perdata oleh orang yang merasa dirugikan.

Salam sejahtera
Jusuf Patrianto Tjahjono
Sby, 31 Maret 2008

Kamis, 27 Maret 2008

Harkat dan Martabat Notaris di dalam Permenkum no 3 th 2007

Tulisan ini dimaksudkan untuk menyampaikan sikap pribadi dalam menyikapi makalah “ Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris” yang dibawakan oleh rekan Miftach dalam acara Pertemuan Berkala INI Daerah Surabaya tanggal 25 Maret 2008.
Dalam makalah yang berisi 4 Bab tersebut diuraikan mengenai Kedudukan, Fungsi, dan Wewenang Majelis Pengawas Notaris; Hukum pembuktian dan keberadaan Notaris serta Perlindungan hukum bagi Notaris. Dan sebelumnya dalam Pengantar makalah diuraikan bahwa dalam UU 30 th 2004 tentang Jabatan Notaris ada 6 perihal yang perlu diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan yaitu tentang pasal 14, pasal 16 ayat 3, pasal 20 ayat 3, pasal 22 ayat 2, pasal 23 ayat 5 dan pasal 81.
Didalam makalah serta uraian penjelasannya pembawa makalah berusaha mencari landasan bagi keberadaan Permenkum nomor 3 th 2007, bahkan diharapkan dengan aturan tersebut :
a. secara perlahan-lahan masyarakat mengetahui secara benar tentang kedudukan dan fungsi Notaris serta akta yanng dibuat oleh atau dihadapannya;
b. dapat mengurangi kecenderungan pihak-pihak tertentu yang beritikad tidak atau kurang baik dalam usaha mendapatkan suatu hak atau mengingkari suatu kewajiban dengan cara melaporkan kepada instansi yang berwenang dengan menggunakan dalil ketidakabsahan suatu akta notaris;
c. dapat mengurangi beban penyidik, penuntut umum dan hakim dalam proses peradilan, mengingat setidak-tidaknya saksi yang diperiksa berkurang;
d. para Notaris harus lebih profesional dan obyektif dalam melaksanakan tugas jabatannya, sebab secara tidak langsung adanya persetujuan Majelis Pengawas bisa ditafsirkan atau setidak-tidaknya merupakan suatu petunjuk bahwa dalam proses, progres dan prosedur pembuatan akta Notaris yang bersangkutan telah terjadi sesuatu yang tidak atau kurang sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Dalam kesimpulannya pembawa makalah menyampaikan sikap ketidak- setujuannya terhadap upaya judicial review yang akan/sedang diajukan oleh rekan-rekan Notaris diberbagai daerah; olehnya disarankan lebih baik diupayakan lewat perundingan antara pihak INI dengan pihak Menteri Hukum&HAM demi menjaga hubungan yang harmonis yang telah terjalin sampai saat ini dan seterusnya.
Penulis sebagai seseorang yang selama ini dididik untuk memahami hukum sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan bukan sebagai ilmu deskriptif, maka sudah selayaknya bahwa penulis akan mendudukan harkat, martabat, fungsi, kewenangan dan kewajiban seorang notaris sebagaimana YANG SEHARUSNYA, bukan sebagaimana YANG ADANYA.
Sebagai seorang dengan jabatan NOTARIS sudah seharusnya orang tersebut dalam menjalankan jabatannya lebih “ diistimewakan” kedudukannya dalam hukum dibandingkan dengan orang lain; namun seorang notaris diluar jabatannya adalah orang yang memiliki kedudukan yang sama dengan orang yang lain (prinsip equality before the law); ini penting untuk dibedakan dalam menyikapi keberadaan Permenkum tersebut sekaligus dalam upaya menjelaskan kedudukan seorang Notaris kepada masyarakat.
Sekarang mari kita lihat ketentuan pasal 9 Permenkum yang menurut penulis sangat menyimpangi prinsip tersebut di atas.
Pasal 9 :
Majelis Pengawas Daerah MEMBERIKAN persetujuan untuk pengambilan Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat 1 apabila :
ADA DUGAAN TINDAK PIDANA berkaitan dengan Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris;
Belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana;
ADA PENYANGKALAN keabsahan tanda tangan dari para pihak;
ADA DUGAAN pengurangan atau penambahan dari Minuta Akta ; atau
ADA DUGAAN Notaris melakukan pengunduran tanggal akta (antidatum) “
( Catatan Huruf besar ditambahkan oleh Penulis).
Pertanyaan yang timbul mampukah Majelis Pengawas Daerah membuktikan ADAnya/terpenuhinya syarat (-syarat) tersebut dalam huruf a-e hanya dalam waktu kurang dari 14 hari terhitung sejak diterimanya surat permohonan oleh MPD; dengan resiko apabila melewati waktu tersebut Majelis dianggap MENYETUJUI ( lihat pasal 12 ayat 1 dan ayat 2. ).
Disinilah hakekat permasalahannya, yang mana menurut penulis Notaris Permenkum ini sama sekali tidak memposisikan Notaris sebagaimana yang seharusnya; dalam hal ini jika ada permohonan yang hanya disertai ALASAN oleh penyidik, penuntut umum atau hakim (lihat pasal 8 ayat 3) , maka selewatnya 14 hari tidak ada jawaban dari MPD, Notaris / Minuta Akta / Protokol Notaris tersebut dianggap memenuhi syarat (-syarat) dalam huruf a-e pasal 9 tersebut di atas. Uraian mana secara mutatis mutandis berlaku juga untuk pasal 15 juncto pasal 18 mengenai Pemanggilan Notaris.
Coba bandingkan dengan tata cara Penyidikan di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada pasal 43 ayat (2) bahwa penyidikan dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan dan juga bandingkan dengan pasal 43 ayat (3) UU Informasi Teknologi yang berbunyi : “Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem elektronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat.” Ini jika ada dugaan pidana yang dilakukan oleh ORANG PADA UMUMNYA dibidang teknologi informasi. Secara singkat dapat disimpulkan komputer milik orang umum lebih sukar diperiksa oleh penyidik, penuntut umum daripada memeriksa minuta akta notaris !
Dimanakah harkat dan martabat notaris dalam menjalankan jabatannya? Penulis tidak setuju apabila dikatakan Permenkum adalah sarana perlindungan hukum bagi Notaris, dimanakah letak pemberian perlindungan hukum tersebut dalam Peraturan tersebut; alih-alih memberikan perlindungan justru dengan Peraturan tersebut harkat dan martabat seorang Notaris dalam menjalankan jabatannya dikesampingkan.
Padahal dalam Kode Etik Notaris seorang Notaris adalah seorang yang memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik. Dan dalam menjalankan jabatannya Notaris melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain namun tidak terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam :
- UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
- Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
- Isi Sumpah Jabatan Notaris;
- Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris Indonesia
( Lihat pasal 3 point 1 dan point 17 Kode Etik Notaris )
Maka jelaslah bagi seorang Notaris yang sudah melakukan tugas jabatannya sesuai dengan hal-hal tersebut, jika hanya oleh karena tidak adanya jawaban dari MPD dalam waktu 14 hari, maka Notaris tersebut dengan mudah dapat ditingkatkan statusnya dari Saksi menjadi Tersangka/Terdakwa yaitu secara serta merta ikut dalam melakukan tindak pidana yang sedang diusut, atau setidak-tidak ikut membantu terjadinya tindak pidana tersebut.
Terhadap kemungkinan inilah penulis menyatakan sikap bahwa penulis tidak dapat menyetujui keberadaan pasal 12 ayat 2 juncto pasal 18 ayat 2 Permenkum nomor 3 tahun 2007 tersebut. Dan terhadap hal itu perlu segera diambil tindakan baik preventif maupun “represif”.
Tindakan preventif dimaksud adalah mengadakan lobi-lobi/ perundingan-perundingan dengan pihak Menteri. Dan itu telah dilakukan oleh rekan-rekan Notaris di pusat yang telah mencoba menemui Menteri, namun tidak dapat ditemui oleh beliau dan melalui Ajudan Menteri disampaikan bahwa Peraturan tersebut diadakan atas usul dari rekan-rekan Notaris juga. ( Informasi diperoleh dari rekan Habib Adjie ).
Dan sepengetahuan penulis sampai sekarang tidak ada sikap resmi dari Organisasi INI baik Daerah, Wilayah maupun Pusat yang menyatakan keberatan dan permohonan kepada Menteri untuk meninjau ulang peraturan tersebut atau setidak-tidaknya merubah ketentuan pasal 12 ayat 2 dan pasal 18 ayat 2.
Oleh karena tindakan preventif tersebut tidak membuahkan hasil apapun, maka penulis mengambil sikap yaitu mendukung tindakan yang dimotori oleh rekan Habib Adjie untuk mengadakan judicial review terhadap Peraturan Menteri tersebut, demikian dilakukan oleh penulis demi ikut mempertahankan harkat dan martabat Notaris dalam menjalankan jabatannya harus mempunyai kedudukan yang istimewa dibandingkan orang lain dimuka hukum, khususnya sebagai satu-satunya Pejabat Umum yang berhak membuat alat bukti otentik dibidang hukum Perdata.
Akhirnya penulis meminta maaf apabila terdapat tulisan yang tidak berkenan dihati para pembaca, dan dengan segala kerendahan hati penulis mengakui bahwa dalam praktekpun penulis melakukan banyak kesalahan, namun sampai saat ini penulis selalu berusaha untuk menjadi yang seharusnya, dan semuanya jika dengan bantuan Tuhan Yang Maha Esa, maka pastilah kita dapat mencapainya.
Oleh karena itu penulis menghimbau kepada rekan-rekan notaris marilah kita berjuang untuk senantiasa menjadi yang seharusnya demi menjaga harkat dan martabat kita sendiri.
VIVA NOTARIUS !!

Surabaya,27 Mar 2008.
Jusuf Patrianto Tjahjono,S.H.
Notaris&PPAT Surabaya